AKU TAHU, INI TIMUR BUNG, BUKAN BARAT



@DhoKudo


Dan hanya malam yang dapat mendamaikan hati, ego, dan pikiranku. Mempersilahkan ketiganya duduk untuk kutanyai satu-persatu. Berharap dapat menilai diri sendiri. Menghantarkan pada satu cerita. Demi semua penentang takdir, aku kalap.
***
“Sudah kubilang kan, aku tidak bisa menerima kamu, ini aneh dan ini tidak seharusnya terjadi” Teguh menyerangku dengan semua murkanya.
 Bahkan ketika dia begitu, aku masih saja dapat mengagumi dia. Padahal berjuta orang di luar sana yang lebih dari sekedar tampang, lebih dari sekedar kekar, dan lebih dari sekedar besar. Tetapi Teguh dengan segala sisi nya yang biasa, dan senyumnya yang begitu saja, serta tinggi yang alakadarnya, dia mampu menutup mataku ini dari segala hal semacam dia. Hanya aroma tubuhnya saja yang luar biasa, tetap wangi walau tak mandi. Satu lagi, suaranya mampu melelehkan aku. Mencairkan hatiku yang terlanjur beku. Dan membekukan nafsuku yang selalu mencair, mudah menguap mencari yang bagus.
“Bahkan untuk sekedar menghormati rasa sukaku pun kamu tidak bisa?” aku tak kalah kuat menggertak dia.
Sejauh ini, bagiku, ini adalah hal terhebat yang pernah kulakukan. Berani mengungkapkan apa yang aku rasa pada sosok biasa yang mampu menutup mataku dari berjuta hal luar biasa di atas bumi ini. Menebalkan muka, membunuh malu, menentang norma, dan mengepalkan tinju jika dia tak menerimaku yang sudah luar biasa sanggup mengungkapkan hal gila ini. Ini Timur bung, bukan Barat.
“Kamu sadar tidak sih, apa yang kamu lakukan itu gila, kamu mau dikutuk?” Teguh kembali menamparku dengan kata-katanya yang ia ucapkan keras dan lantang. Tetap tak menyurutkan rasa suka ku terhadap dia. Justru menyulutnya hingga ia kini berkobar, siap membakar keraguan dan ketakutannya.
“Kamu? … hei kita. Kita berdua melakukan itu dengan sadar, kamu juga menyukainya bukan, oh aku salah, kamu menikmatinya, kamu tidak usah muna…” belum sempat aku melanjutkan rentetan kata-kataku, Teguh justru memotongnya.
“What??? I enjoyed that???” matanya melotot tajam. Seolah menelanjangiku. “Hei, kamu gila apa tidak waras, justru kamu yang datang dan memulai semua ini. Lagian mana ada semut yang nolak kalau diberi gula” potong Teguh.
Entah mengapa aku semakin yakin dengan apa yang aku rasa, bahwa aku tidak bisa lari lagi. Aku tidak bisa terus sembunyi seperti ini. Bukan, ini bukan sembunyi. Toh dia tahu dan seperti apa yang kukatakan tadi, dia juga menikmati apa yang kami lakukan. Aku hanya butuh kejelasan.  Dan juga butuh sedikit lagi perhatian dari dia. Cukup dari dia.
Gila, aku pikir aku memang sudah sedikit gila, demi bendera pelangi enam warna, aku juga merasa begitu terlihat murahan mengemis balasan rasa dari dia yang hanya menganggap aku meberikannya gula. Kalau begitu, mudah ditebak, lantas setelah gula itu habis, dia akan pergi mencari gula yang lain. Tak ubahnya semut seperti yang ia katakan  tadi. Tapi aku percaya, dia tidak seperti itu. Atau memang seperti itu hanya saja mencitrakan diri sebagai seorang yang setia.
Sulit aku menahan semua ini. Ketika mereka, termasuk Teguh, pada setiap kesempatan selalu mengisntal anti pelangi enam warna dan berkoar “tidak ada tempat bagi mereka yang sakit”. Tapi justru menjadi orang yang menikmati kehadiran dan sajian dari mereka yang sakit.
“Teguh, aku sudah mempersiapkan segalanya. Aku akan bahagia jika engkau menerimaku. Aku tidak megatakan aku akan sangat bahagia, karena ini Timur bung, bukan Barat. Aku masih menghormati batasan-batasan itu. Tapi untuk beberapa hal termasuk untuk membohongi rasa ini, aku tak kuasa melakukan itu. Aku membatasi diriku hanya pada apa yang dilihat dan apa yang tidak terlihat oleh orang lain saja” aku mencoba menyadarkannya bahwa aku memang sangat mengaharapkan dia.
Dia berdiri sekitar satu meter di depanku. Wajahnya memerah, menahan  entah rasa amarah atau rasa malu tak ingin dicap sama seperti aku. Tidak, kamu tidak akan dicap seperti aku. Aku saja tidak dicap sama seperti mereka yang sakit. Ini Timur bung, bukan Barat. Aku juga tidak seberani itu mengumumkan ke orang-orang di sekitarku bahwa aku ini bagian dari mereka yang sakit. Ini Timur bung, bukan Barat.
“Dan jika kamu menolakku, maka jangan salahkan aku. Aku akan memukulmu sampai aku puas. Sampai semua sakit yang kuderita lenyap. Sampai kamu berkata cukup, aku menerimamu. Nekad ataupun tidak justru itu yang harus aku lakukan. Ini bukan langkah ekstrimku. Aku tak suka hal-hal seperti itu. Tapi jika terpaksa, kucingpun bisa jadi singa.” aku kembali melanjutkan bagian dialogku, sedang dia masih berdiri satu meter di depanku.
“Aku minta maaf sudah membuat kita melangkah sejauh ini. Mencoba menikmati sesuatu yang salah. Aku minta maaf seolah telah memberimu harapan. Ini tidak bisa dilanjutkan” ia lantas membalik badan dan melangkah perlahan. Menambahkan jarak di antara kami. Satu meter kini menjadi dua meter. Sebelum tiga meter, aku harus mencegat dia, mengikat langkahnya.
“Tunggu, aku belum selesai!!!” suaraku kini parau. Ada sesuatu yang hendak keluar. Membangkitkan segala kuncup-kuncup amarahku. Entah itu apa aku tidak tahu. Apakah rasa takut kehilangan dia atau rasa akibat tertolak mentah-mentah.
Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku sudah berdiri di titik ini. Tidak mudah untuk bisa sampai di sini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Tidak bisa begitu. Ini tidak adil. Setidaknya beri aku semacam pertanda bahwa kamu hanya sedang tidak siap dengan semua kejujuranku. Kamu hanya butuh waktu untuk mampu mencerna itu. Setidaknya hal seperti itu saja. Aku sudah lega.
“Jangan pergi, jangan meninggalkan semuanya begitu saja. Seperti pengecut. Setidaknya beri aku jawaban yang sanggup membekap mulutku” aku masih terus mencoba mengikat langkahnya.
Sudah sangat terlambat untuk berhenti. Atau aku yang takut menjalani hari setelah ini. Sebab jelas saja aka nada rasa canggung yang membentengi antara kamu dan aku. Sebuah hasil dari kegilaanku mengungkapkan rasa ini dan kekejamanmu membuatku harus menelan pahitnya ditolak.
“Teguh, bantu aku. Tidakkah kamu mau menghargai semua keberanianku? Kamu pikir mudah untuk melakukan ini. Apa kamu tidak ingin menghargai sedikit saja bagaimana aku sanggup memulai untuk mengungkapkan apa yang kurasa ini padamu?” aku terus berusaha mengikat langkahnya. Dan aku harus berhasil.
Sedang Teguh  terdiam dua meter di depanku. Berdiri membelakangiku. Aku tidak habis pikir jika dia pergi begitu saja. Ingin rasanya ku cakar wajah biasanya itu. “Sudah biasa masih banyak bertingkah pula”. Bisikan-bisikan seperti itupun masih hadir menggoyang rasa sukaku padanya.
“Teguh, seperti yang aku katakan. Aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak ingin kamu pergi. Cukup beri aku satu pertanda saja bahwa kamu tidak akan lari. Bahwa kamu akan ada untukku. Bahwa kamu setidaknya menghormati rasaku. Menghormati kenikmatan yang pernah kamu raih. Menghor…” kalimatku dipotong cepat oleh makhluk biasa itu. Pada detik itu aku benar-benar takut ikatan pada kakinya lepas. Aku sangat takut kehilangan dia. Aku tidak mempersiapkan diriku untuk itu. Aku hanya mempersiapkan diriku untuk diterimanya dan jika ditolak, memukuli dia hingga akhirnya dia menerimaku.
“Piy, kumohon mengertilah” suara Teguh kini berat. Mengindikasikan kalau dia sedang menahan beratnya beban emosi pada detik itu. Tangis dan amarahnya melebur.
“Tidak ada tempat bagi rasa seperti itu. Sudahlah, jangan terlalu banyak menggunakan hati. Gunakan saja pemikiran rasionalmu. Aku tahu kamu tidak bodoh” dia lantas berhenti, sepertinya kini giliranku untuk melanjutkan dialognya.
“Mudah saja bagimu berkata seperti itu Guh, aku sudah sangat  menurunkan harga diriku di depanmu. Apa salah aku mengungkapkan perasaanku?” nada suarau kuturunkan, namun tetap menusuk.
“Salah, karena kamu tahu aku pria, begitupun kamu. Anak kecil juga tahu itu. Jadi kumohon hentikan semua ini Piyu!” Teguh nyaris menelan seluruh kekuatanku.
Apa katanya? Anak kecil juga tahu kalau sesama pria itu tidak boleh terikat dalam perasaan cinta layaknya hetero. Tapi apakah anak kecil tahu bagaimana rasanya mengalami semua ini. Ketika ada rasa ingin kelar, justru di detik itu pula semakin jauh terperosok ke dalam.
“Teguh…” aku tidak bisa melanjutkan dialogku. Butiran cair terlanjur jatuh membasahi pipiku. Panas, sepanas hatiku.
“Maaf, aku harus pergi. Aku pikir dengan kejadian ini, kamu bisa membantu dirimu untuk keluar dari lingkaran ini” Teguh semakin melepaskan ikatan pada kakinya yang susah payah kubangun.
“Teguh…” aku hanya mampu berkata lirih. Nyaris tak terdengar bahkan oleh telingaku sendiri. “Berbaliklah ke arahku. Berbaliklah kepadaku” jeritku dalam hati. Mengiba pada sosok biasa di depanku. Layaknya  dia mendengar itu.
Kini, langkahnya mulai menggeliat. Dapat kupastikan, jarak kami sudah semakin jauh. Tidak dua meter lagi, kini lebih. Ia terus melangkah pelan. Meninggalkanku sendiri yang sedang ditelan muram. Aku masih berharap sisa-sisa ikatanku pada kakinya mampu menahan dia, atau setidaknya memperlambat geraknya hingga aku mampu menariknya kembali ke arahku.
Sedang di sisi diriku yang lain. Kini tengah menerjemahkan tiap tetes adrenalin yang menghambur sedari tadi. Mempersiapkan fase selanjutnya yang kurancang jika dia menolakku. Murka.
Sejenak Teguh memalingkan wajahnya ke belakang. Semoga itu ke arahku. Tidak lama. Mungkin hanya tiga detik. Yang kulihat, wajahnya juga basah oleh linangan air mata. Teguh, kamu menangis? Kenapa? Beratkah bagimu meningggalkanku? Kuharap begitu. Aku yakin kamu berat melakukan ini.
“Jujurlah pada hatimu, atau paling tidak pada nafsumu!” aku mencoba melontarkan usaha terakhir untuk mengikat kakinya. Bahkan jika kamu tidak bisa menerimaku dengan hatimmu, aku rela kamu menerimaku karena nafsumu. Aku semakin murahan. Tidak mengapa, asal kamu masih bisa kudekap.
Dan sesuatu yang tak kusangka itupun terjadi. Sesuatu yang mampu menjawab segala tanyaku. Sesuatu yang mampu membunuh setiap sel dalam diriku. Sesuatu yang menggelapkan setiap inci jagad raya ini. Sesuatu yang jika ada kesempatan untuk mengulanginya aku akan langsung mengiyakannya. Sesuatu yang membekap mulutku. Dia menjawabnya dengan bibirnya di bibirku.
***
Dan ketika kamu memberiku pertanda, sebelah hati ini berucap syukur. Sedang sebelah lagi memaki diriku. Sadar bahwa kamu masih bersamaku. Sadar bahwa aku telah resmi menentang takdir. Dan terus memupuk kesadaranku bahwa semua ini entah harus dilanjutkan atau sebaliknya, dihentikan.
Aku kembali pada malam yang dapat mendamaikan hati, ego, dan pikiranku. Mempersilahkan ketiganya duduk untuk kutanyai satu-persatu Membentengi diriku dengan logika-logika dangkal mengapa aku harus menjadi seperti ini. Aku mencoba mendoktrin diri, untuk tidak terlalu jauh melangkah lagi. Ini Timur bung, bukan Barat.

Comments