AKU TAHU, INI TIMUR BUNG, BUKAN BARAT
Dan hanya malam yang dapat
mendamaikan hati, ego, dan pikiranku. Mempersilahkan ketiganya duduk untuk
kutanyai satu-persatu. Berharap dapat menilai diri sendiri. Menghantarkan pada
satu cerita. Demi semua penentang takdir, aku kalap.
***
“Sudah
kubilang kan, aku tidak bisa menerima kamu, ini aneh dan ini tidak seharusnya
terjadi” Teguh menyerangku dengan semua murkanya.
Bahkan ketika dia begitu, aku masih saja dapat
mengagumi dia. Padahal berjuta orang di luar sana yang lebih dari sekedar
tampang, lebih dari sekedar kekar, dan lebih dari sekedar besar. Tetapi Teguh
dengan segala sisi nya yang biasa, dan senyumnya yang begitu saja, serta tinggi
yang alakadarnya, dia mampu menutup mataku ini dari segala hal semacam dia.
Hanya aroma tubuhnya saja yang luar biasa, tetap wangi walau tak mandi. Satu
lagi, suaranya mampu melelehkan aku. Mencairkan hatiku yang terlanjur beku. Dan
membekukan nafsuku yang selalu mencair, mudah menguap mencari yang bagus.
“Bahkan
untuk sekedar menghormati rasa sukaku pun kamu tidak bisa?” aku tak kalah kuat
menggertak dia.
Sejauh
ini, bagiku, ini adalah hal terhebat yang pernah kulakukan. Berani
mengungkapkan apa yang aku rasa pada sosok biasa yang mampu menutup mataku dari
berjuta hal luar biasa di atas bumi ini. Menebalkan muka, membunuh malu,
menentang norma, dan mengepalkan tinju jika dia tak menerimaku yang sudah luar
biasa sanggup mengungkapkan hal gila ini. Ini Timur bung, bukan Barat.
“Kamu
sadar tidak sih, apa yang kamu
lakukan itu gila, kamu mau dikutuk?” Teguh kembali menamparku dengan
kata-katanya yang ia ucapkan keras dan lantang. Tetap tak menyurutkan rasa suka
ku terhadap dia. Justru menyulutnya hingga ia kini berkobar, siap membakar
keraguan dan ketakutannya.
“Kamu?
… hei kita. Kita berdua melakukan itu dengan sadar, kamu juga menyukainya
bukan, oh aku salah, kamu menikmatinya, kamu tidak usah muna…” belum sempat aku
melanjutkan rentetan kata-kataku, Teguh justru memotongnya.
“What??? I enjoyed that???”
matanya melotot tajam. Seolah menelanjangiku. “Hei, kamu gila apa tidak waras,
justru kamu yang datang dan memulai semua ini. Lagian mana ada semut yang nolak
kalau diberi gula” potong Teguh.
Entah
mengapa aku semakin yakin dengan apa yang aku rasa, bahwa aku tidak bisa lari
lagi. Aku tidak bisa terus sembunyi seperti ini. Bukan, ini bukan sembunyi. Toh
dia tahu dan seperti apa yang kukatakan tadi, dia juga menikmati apa yang kami
lakukan. Aku hanya butuh kejelasan. Dan
juga butuh sedikit lagi perhatian dari dia. Cukup dari dia.
Gila,
aku pikir aku memang sudah sedikit gila, demi bendera pelangi enam warna, aku
juga merasa begitu terlihat murahan mengemis balasan rasa dari dia yang hanya
menganggap aku meberikannya gula. Kalau begitu, mudah ditebak, lantas setelah
gula itu habis, dia akan pergi mencari gula yang lain. Tak ubahnya semut
seperti yang ia katakan tadi. Tapi aku
percaya, dia tidak seperti itu. Atau memang seperti itu hanya saja mencitrakan
diri sebagai seorang yang setia.
Sulit
aku menahan semua ini. Ketika mereka, termasuk Teguh, pada setiap kesempatan
selalu mengisntal anti pelangi enam warna dan berkoar “tidak ada tempat bagi
mereka yang sakit”. Tapi justru menjadi orang yang menikmati kehadiran dan sajian
dari mereka yang sakit.
“Teguh,
aku sudah mempersiapkan segalanya. Aku akan bahagia jika engkau menerimaku. Aku
tidak megatakan aku akan sangat bahagia, karena ini Timur bung, bukan Barat.
Aku masih menghormati batasan-batasan itu. Tapi untuk beberapa hal termasuk
untuk membohongi rasa ini, aku tak kuasa melakukan itu. Aku membatasi diriku hanya
pada apa yang dilihat dan apa yang tidak terlihat oleh orang lain saja” aku
mencoba menyadarkannya bahwa aku memang sangat mengaharapkan dia.
Dia
berdiri sekitar satu meter di depanku. Wajahnya memerah, menahan entah rasa amarah atau rasa malu tak ingin
dicap sama seperti aku. Tidak, kamu tidak akan dicap seperti aku. Aku saja
tidak dicap sama seperti mereka yang sakit. Ini Timur bung, bukan Barat. Aku
juga tidak seberani itu mengumumkan ke orang-orang di sekitarku bahwa aku ini
bagian dari mereka yang sakit. Ini Timur bung, bukan Barat.
“Dan
jika kamu menolakku, maka jangan salahkan aku. Aku akan memukulmu sampai aku
puas. Sampai semua sakit yang kuderita lenyap. Sampai kamu berkata cukup, aku
menerimamu. Nekad ataupun tidak justru itu yang harus aku lakukan. Ini bukan
langkah ekstrimku. Aku tak suka hal-hal seperti itu. Tapi jika terpaksa,
kucingpun bisa jadi singa.” aku kembali melanjutkan bagian dialogku, sedang dia
masih berdiri satu meter di depanku.
“Aku
minta maaf sudah membuat kita melangkah sejauh ini. Mencoba menikmati sesuatu
yang salah. Aku minta maaf seolah telah memberimu harapan. Ini tidak bisa
dilanjutkan” ia lantas membalik badan dan melangkah perlahan. Menambahkan jarak
di antara kami. Satu meter kini menjadi dua meter. Sebelum tiga meter, aku
harus mencegat dia, mengikat langkahnya.
“Tunggu,
aku belum selesai!!!” suaraku kini parau. Ada sesuatu yang hendak keluar. Membangkitkan
segala kuncup-kuncup amarahku. Entah itu apa aku tidak tahu. Apakah rasa takut
kehilangan dia atau rasa akibat tertolak mentah-mentah.
Aku
tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku sudah berdiri di titik ini. Tidak mudah
untuk bisa sampai di sini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Tidak
bisa begitu. Ini tidak adil. Setidaknya beri aku semacam pertanda bahwa kamu
hanya sedang tidak siap dengan semua kejujuranku. Kamu hanya butuh waktu untuk
mampu mencerna itu. Setidaknya hal seperti itu saja. Aku sudah lega.
“Jangan
pergi, jangan meninggalkan semuanya begitu saja. Seperti pengecut. Setidaknya beri
aku jawaban yang sanggup membekap mulutku” aku masih terus mencoba mengikat
langkahnya.
Sudah
sangat terlambat untuk berhenti. Atau aku yang takut menjalani hari setelah
ini. Sebab jelas saja aka nada rasa canggung yang membentengi antara kamu dan
aku. Sebuah hasil dari kegilaanku mengungkapkan rasa ini dan kekejamanmu
membuatku harus menelan pahitnya ditolak.
“Teguh,
bantu aku. Tidakkah kamu mau menghargai semua keberanianku? Kamu pikir mudah
untuk melakukan ini. Apa kamu tidak ingin menghargai sedikit saja bagaimana aku
sanggup memulai untuk mengungkapkan apa yang kurasa ini padamu?” aku terus
berusaha mengikat langkahnya. Dan aku harus berhasil.
Sedang
Teguh terdiam dua meter di depanku.
Berdiri membelakangiku. Aku tidak habis pikir jika dia pergi begitu saja. Ingin
rasanya ku cakar wajah biasanya itu. “Sudah biasa masih banyak bertingkah
pula”. Bisikan-bisikan seperti itupun masih hadir menggoyang rasa sukaku
padanya.
“Teguh,
seperti yang aku katakan. Aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak ingin kamu
pergi. Cukup beri aku satu pertanda saja bahwa kamu tidak akan lari. Bahwa kamu
akan ada untukku. Bahwa kamu setidaknya menghormati rasaku. Menghormati kenikmatan
yang pernah kamu raih. Menghor…” kalimatku dipotong cepat oleh makhluk biasa
itu. Pada detik itu aku benar-benar takut ikatan pada kakinya lepas. Aku sangat
takut kehilangan dia. Aku tidak mempersiapkan diriku untuk itu. Aku hanya
mempersiapkan diriku untuk diterimanya dan jika ditolak, memukuli dia hingga
akhirnya dia menerimaku.
“Piy,
kumohon mengertilah” suara Teguh kini berat. Mengindikasikan kalau dia sedang
menahan beratnya beban emosi pada detik itu. Tangis dan amarahnya melebur.
“Tidak
ada tempat bagi rasa seperti itu. Sudahlah, jangan terlalu banyak menggunakan
hati. Gunakan saja pemikiran rasionalmu. Aku tahu kamu tidak bodoh” dia lantas
berhenti, sepertinya kini giliranku untuk melanjutkan dialognya.
“Mudah
saja bagimu berkata seperti itu Guh, aku sudah sangat menurunkan harga diriku di depanmu. Apa salah
aku mengungkapkan perasaanku?” nada suarau kuturunkan, namun tetap menusuk.
“Salah,
karena kamu tahu aku pria, begitupun kamu. Anak kecil juga tahu itu. Jadi
kumohon hentikan semua ini Piyu!” Teguh nyaris menelan seluruh kekuatanku.
Apa
katanya? Anak kecil juga tahu kalau sesama pria itu tidak boleh terikat dalam
perasaan cinta layaknya hetero. Tapi apakah anak kecil tahu bagaimana rasanya
mengalami semua ini. Ketika ada rasa ingin kelar, justru di detik itu pula
semakin jauh terperosok ke dalam.
“Teguh…”
aku tidak bisa melanjutkan dialogku. Butiran cair terlanjur jatuh membasahi
pipiku. Panas, sepanas hatiku.
“Maaf,
aku harus pergi. Aku pikir dengan kejadian ini, kamu bisa membantu dirimu untuk
keluar dari lingkaran ini” Teguh semakin melepaskan ikatan pada kakinya yang
susah payah kubangun.
“Teguh…”
aku hanya mampu berkata lirih. Nyaris tak terdengar bahkan oleh telingaku
sendiri. “Berbaliklah ke arahku. Berbaliklah kepadaku” jeritku dalam hati.
Mengiba pada sosok biasa di depanku. Layaknya
dia mendengar itu.
Kini,
langkahnya mulai menggeliat. Dapat kupastikan, jarak kami sudah semakin jauh.
Tidak dua meter lagi, kini lebih. Ia terus melangkah pelan. Meninggalkanku
sendiri yang sedang ditelan muram. Aku masih berharap sisa-sisa ikatanku pada
kakinya mampu menahan dia, atau setidaknya memperlambat geraknya hingga aku
mampu menariknya kembali ke arahku.
Sedang
di sisi diriku yang lain. Kini tengah menerjemahkan tiap tetes adrenalin yang menghambur
sedari tadi. Mempersiapkan fase selanjutnya yang kurancang jika dia menolakku.
Murka.
Sejenak
Teguh memalingkan wajahnya ke belakang. Semoga itu ke arahku. Tidak lama.
Mungkin hanya tiga detik. Yang kulihat, wajahnya juga basah oleh linangan air
mata. Teguh, kamu menangis? Kenapa? Beratkah bagimu meningggalkanku? Kuharap
begitu. Aku yakin kamu berat melakukan ini.
“Jujurlah
pada hatimu, atau paling tidak pada nafsumu!” aku mencoba melontarkan usaha
terakhir untuk mengikat kakinya. Bahkan jika kamu tidak bisa menerimaku dengan
hatimmu, aku rela kamu menerimaku karena nafsumu. Aku semakin murahan. Tidak
mengapa, asal kamu masih bisa kudekap.
Dan
sesuatu yang tak kusangka itupun terjadi. Sesuatu yang mampu menjawab segala
tanyaku. Sesuatu yang mampu membunuh setiap sel dalam diriku. Sesuatu yang
menggelapkan setiap inci jagad raya ini. Sesuatu yang jika ada kesempatan untuk
mengulanginya aku akan langsung mengiyakannya. Sesuatu yang membekap mulutku.
Dia menjawabnya dengan bibirnya di bibirku.
***
Dan ketika kamu memberiku pertanda,
sebelah hati ini berucap syukur. Sedang sebelah lagi memaki diriku. Sadar bahwa
kamu masih bersamaku. Sadar bahwa aku telah resmi menentang takdir. Dan terus
memupuk kesadaranku bahwa semua ini entah harus dilanjutkan atau sebaliknya,
dihentikan.
Aku kembali pada malam yang dapat
mendamaikan hati, ego, dan pikiranku. Mempersilahkan ketiganya duduk untuk
kutanyai satu-persatu Membentengi diriku dengan logika-logika dangkal mengapa
aku harus menjadi seperti ini. Aku mencoba mendoktrin diri, untuk tidak terlalu
jauh melangkah lagi. Ini Timur bung, bukan Barat.
Comments