Bangsawan Keraton Solo Menggugat
Judul : Tak Ada Nasi Lain
Penulis : Suparto Brata
Penerbit : Kompas
Tahun Terbit : 2013
Halaman : 548 Halaman
Bagaimana
jika Anda adalah anak dari keturunan bangsawan dan Pewaris tahta kerajaan?
Namun sedari kecil dibuang dan pada akhirnya tidak menyicip lezatnya darah biru
yang mengalir dalam diri Anda. Kira-kira begitulah awal kisah hidup Saptono,
seorang pangeran pewaris tahta Keraton Solo. Namun saat ia masih dalam
kandungan ibunya, mereka diusir dari lingkungan kerajaan. Tak sampai di situ,
setelah lahiria dititipkan sang ibu ke rumah Bulik-nya. Tak pernah dijenguk hingga ia berusia belasan tahun.
Sejak
kecil, Saptono merasa tidak dianggap di keluarga bulik-nya. Acap kali menjadi pelampiasan amarah seisi keluarga,
kecuali oleh Dimas Dandi, sepupunya. Dengan segala tekanan yang ia terima,
Saptono pun menjadi sosok yang tegar dan pemikir ulung. Apapun yang ia kerjakan
selalu ia pertimbangkan. Selalu sesuai aturan Jawa dan Katolik.
Beruntung,
Saptono yang hidup di akhir rezim Belanda sempat duduk di bangku sekolah.
Hingga akhirnya muncul Jepang dengan segala janji manis untuk menjadikan
Indonesia merdeka dan penghapusan kasta-kasta dalam feodalisme Jawa yang sangat
ia benci. Lalu, kagum atas kesetiaan pasukan Kamikaze Kogegitai, suatu kelompok pasukan angkatan udara Jepang
yang penerbangnya rela mati menabrakkan pesawatnya ke kapal musuh. Istilahya
“berjibaku” (halaman 116), Saptono pun mulai mempelajari taktik-taktik perang
lewat apapun yang ia lihat dan dengar.
NICA
menembak mati Dimas Dandi. Saptono pun geram. Mengandalkan taktik dan
pemikirannya tadi, Saptono yang belum genap 17 tahun menjadi sosok yang
ditakuti Belanda. Ia menyumbangkan ide penghancuran Belanda kepada Tentara
Indonesia yang memang dekat dengan suami Bulik-nya
yang juga gugur oleh NICA. “Operasi Siasat Saptono Cilik”, begitu Tentara
Indonesia menyebutnya, dengan cara
bergerilya, Indonesia berhasil menyeret Belanda ke meja Perjanjian Renville dan
munumpasnya.
Kondisi sosial Indonesia di akhir penjajahan
Belanda, pedihnya saat Jepang berkuasa, munculnya kembali Belanda yang dibantu
NICA, sampai penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditulis secara apik oleh Suparto Brata. Ia menggambarkan
bagaimana akhirnya pengaruh Keraton Solo luntur sedikit demi sedikit ditelan
kemiskinan.Lalu, kebiasaan masyarakat Solo tempo dulu, perkembangan mode busana,
kendaraan, gedung dan peradaban Solo. Di luar itu, muncul pula gerakan anti
perbudakan yang dipelopori keturunan Abdi
Dalem (orang dekat kerajaan).Tak ada nasi lain, tak ada pilihan lain.
Membaca novel ini, Anda akan disuguhkan
dengan sajian sastra yang kuat. Bagaimana setiap kalimat ditulis dengan
deskripsi yang jelas dan tegas.Penyisipan rima dalam beberapa bagian novel juga
menambah kesan sastrawi. Namun, pengulangan-pengulangan kisah cukupmembosankan, sebetulnya pengulangan tersebut semakin
memantapkan deskripsi dan alur cerita.Sangat
cocok dibaca untuk Anda yang menyukai sastra.
Jika Anda pernah membaca karya Suparto Brata Mencari Sarang Angin (2005) maka akan
ditemui latar belakang waktu yang mirip. Sama-sama akhir penjajahan Belanda,
pendudukan Jepang, NICA, hingga pecahnya konflik PKI. Pun tokoh utamanya
Darwan, lebih memilih menjadi jurnalis ketimbang megahnya singgasana Keraton
Solo. Seperti Saptono yang berusaha menghapus pengkotakan derajat sosial.
Bedanya, jika Saptono berlatar tempat Kota Solo, maka Darwan dikisahkan di
Surabaya.
Penulis juga berhasil membangun emosi lewat
rekaan karakter dalam cerita. Sosok Bulik
betul-betul digambarkan sebagai perempuan Bangsawan Jawa keturunan Keraton Solo
yang memperhatikan detail bertingkah laku sesuai tata krama kerajaan dan angkuh
dalam bebicara. Atau lewat getirnya cerita hidup Joki, seorang pelaut, anak Abdi Dalem keluarga Bulik yang membawa beragam kisah dari berbagai negeri di dunia. Ia
serta saudaranya, Pusak dan Jajak menolak segala bentuk penindasan bangsawan
terhadap rakyat jelata (halaman 447).
Tak lupa, kisah asmara Saptono yang terbilang
rumit. Ia menyukai sepupunya sendiri Ndramas
Peni, putri tertua Bulik, kakak
Dimas Dandi. Namun, ia tak pernah menyatakan cintanya hingga akhirnya Peni
disunting pria lain. Tak ingin lama membujang, ia pun menikahi adik Peni, Ndaramas Parti yang kelakuannya mirip
ibunya, Bulik. Walau tak cinta,
Saptono tetap mempertahankan kehidupan rumah tangganya. Ia tak ingin
anak-anaknya seperti dia, hidup tanpa kasih sayang orang tua.
Pada
awalnya, Anda akan mengira kisah hidup Saptono –dengan prinsip melakukan apapun
sesuai aturan- akan tenang-tenang saja. Justru Saptono sempat melakukan aksi
bunuh diri. Alasan ia bunuh diri sebetulnya menyindir kondisi pemerintahan saat
itu dan kini. Bagaimana seorang yang berjasa untuk bangsa ini tidak diharagai.
Hidup dalam kemiskinan. Sangat relevan bukan dengan Indonesia hari ini.
Contohnya saja, kesejahteraan guru, buruh, dan mantan atlit yang masih jauh
dari harapan. Sebut saja Wempi Wungau mantan atlit tinju peraih perak SEA Games
2001 di Busan, Korea Selatan yang tak sanggup menebus biaya melahirkan
istrinya. Atau Hasan, mantan atlit tinju nasional yang hidup menggelandang di
Jakarta. Lewat tokoh Saptono, Suparto Brata coba menyentil telinga Indonesia.
Selain
itu, Anda akan banyak menemukan kata-kata dalam Bahasa Jawa, baik Krama Inggil maupun Krama Ngoko. Namun tak perlu khawatir, penulis berbaik hati
memberikan penjelasan langsung setelah kata atau kalimat tersebut. Tidak
membuat penjelasan dalam bentuk catatan kaki atau glosarium di bagian belakang
buku. Sangat memudahkan pembaca.
Novel
Tak Ada Nasi Lain ini sebelumya
pernah dimuat dalam bentuk cerita bersambung di Harian Kompas pada dekade
90-an.Tak Ada Nasi Lain memang novel
pertamanya (1958), namun baru diterbitkan tahun ini. PenerimaThe S.E.A Write Awards dari kerajaan
Thailand ini memiliki puluhan karya sastra yang sudah diterbitkan. Seperti Surabaya Tumpah Darahku(1978), Mencari Sarang Angin(2005), dan trilogi Gadis Tangsi(2004), Kerajaan
Raminem (2006), serta Mahligai di Ufuk
Timur(2007).
Comments