Memesan Kamar di Surga
“Cok, itu kamu kan nak?.”
“Sedang apa kamu Cok. Ini masih
pagi buta bukan?”
Aku bungkam. Tak menjawab apapun
pertanyaan perempuan paruh baya yang kupanggil Umak itu. Bahkan tak memalingkan
pandanganku ke arah tempat dimana ia berada. Aku sibuk mempreteli tali temali yang
tergantung di dapur. Ruangan tempat masak memasak itu dibatasi dinding anyaman
bambu dengan kamar Umak. Alasan mengapa sekecil apapun suara yang kau hasilkan
akan mudah didengar, bahkan oleh perempuan paruh baya seperti dia.
“Cok, jawab Umak jika itu kamu,”
perempuan paruh baya itu tetap tak lelah memastikan keberadaanku di dapur. Ia
memang gigih, lagipula cenderung menyebalkan. Terlalu ingin tahu apapaun yang
kulakukan.
Kupandangi sudut ruang dapur itu.
Hitam oleh bekas kepulan asap selama
bertahun-tahun. Baunya khas, bau asap, pernah kau cium ikan sale?
Begitulah kira-kira baunya. Dengan mudah kau temui sarang laba-laba di atas
langit-langitnya. Entahlah, mereka gemar bersarang sejak dapur ini tak lagi
mengepulkan asap.
Tali temali ini sungguh
menyebalkan. Tak mudah memilinnya. Hanya ini yang kutemukan di ruangan mirip
kandang babi ini. Tak sudi aku mengatakannya rumah. Bukanlah rumah dengan tanah
sebagai lantai. Langsung tanah. Pagi hari kau akan temui gunungan-gunungan
kecil. Aku menyebutnya asal sesuka hatiku, “Gunungan berak cacing,”.
“Cok, kamu lapar ya nak? Itu kamu
kan Cok?”
Menimbang adalah kebiasaanku.
Selalu memperkirakan banyak hal sebelum melakukan satu hal. Sesederhana apapun
itu. Mungkin segala keterbatasanku ini yang melatih diri ini untuk tak ceroboh,
tak teledor, dan tak boros bahkan untuk sekedar bernapas. Berpikir maju ke
depan. Bagaimana tidak, aku harus melakukannya agar bisa makan. Seperti tidak
sekolah lagi supaya bisa cari uang di hutan. Atau memukul-mukul pohon nira
untuk mendapatkan air bahan tuak. Kujual, dapat uang. Hiduplah aku. Cerdas
bukan?
“Jawablah Umak Cok,” suaranya
jelek sekali.
Aku butuh kursi, atau semacamnya
lah, yang penting bisa kunaiki. Aku ahli dalam memanjat. Pohon nira belasan
meter bisa kupanjat dengan tangan kosong. Atau bahkan ketika harus membawa
parang, galah, dan bambu tempat air nira dituangkan. Tapi saat ini aku butuh
kursi. Aku juga tidak tahu apa alasannya. Bolehkan aku memanjat menggunakan
kursi? Aku tahu rumah ini tak memiliki banyak kursi. Hanya satu, satu tak bisa
disebut banyak bukan. Ia tunggal, esa. Dan ada di kamar Umak.
Umak terlihat kerdil. Saban hari
tubuhnya seolah mengecil. Berbaring di atas kasur penuh tungau. Setiap hari,
ini bulan ke 48 sejak kedua kakinya tak sengaja kupatahkan. Itu bukan
sepenuhnya salahku. Naas saja Umak tiba-tiba harus melintas di markasku. Wajar
saja kalau kakinya terkena ranjau. Bukan salahku ya Umak.Aku berniat menjerat
babi hutan atau rusa. Bukan Umak, makanya jangan teledor. Hati-hati.
Matanya bergerak-gerak seperti hantu.
Tak kutemukan sisi cantiknya. Berbaring layaknya mayat. Aku dulu punya teman
yang kerja di kamar mayat. Ia senang apabila banyak stok mayat yang harus ia
urus. Semakin busuk dan tak berbentuk, semakin senang hatinya. Nanti, akan
kuberikan kau kejutan teman. “Kujamain kau pasti suka dengan kejutanku,” itu
janjiku dan Rp 50 ribu kau berikan padaku sebagai balasannya saat itu. “Ini
janji pria,” kubisikkan ke telinga temanku.
“Cok, itu kamu kan? Iya, aku bisa
mengenali baumu nak. Syukurklah,” suara umak memancarkan rasa lega. Oh ternyata
si Ucok anakku, bukan si Ucok lain yang bisa saja mencelakakanku. Berlebihan.
Kusapukan pandanganku dari bawah
hingga kepalanya yang beruban jarang-jarang. Cepat kugerakkan kedua kaki ini.
Melangkah keluar meninggalakan Umak dan tungau-tungau kasurnya. Aku harus
lakukan ini. Bulat-bulat.
Maka, idealis macam apa yang akan
kau pertahankan jika perutmu meraung-raung minta makan? Adalah ngeri jika tak bisa
kau penuhi setiap jengkal mau cacing dalam ususmu, bahkan dengan mencuri
sekalipun. Idealis macam apa yang kau pertahankan? Sanggup hidup tanpa
kehormatan saat ini?
Aku adalah pemikir ulung. Sudah
kukatakan setiap langkah yang kuambil tak akan salah. Penuh perhitungan dan
selalu berorientasi pada kebahagian kelak. Maka apapun yang kulakukan saat ini
adalah usahaku untuk mengejawantahkan kemampuan timbang-menimbangku.
Sudah saatnya, meninggalkan macam
rupa idealis gampangan yang kupegang selama ini. Tiba saatnya, menyambut
kehidupan baru, saat Tuhan tersenyum kepadamu.Apakah Tuhan senang saat kami
hambaNya senang? Atau dibalik, apa tuhan sedih, kalu hambaNya kelaparan?
“Cok, itu kamukan,?” Umak masih
bertanya.
“Ia Umak, Ini Ucok,” aku
mendekati tubuhnya yang selau terbaring. Memandangnya lamat-lamat. Tak ada yang
kupikirkan saat itu. Hanya menatap perempaun paruh baya yang kupanggil Umak.
“Kamu sedang apa Cok? Mau makan,
kamu lapar Nak?” Umak terus menyesakiku dengan pertanyan takberguna semacam
itu. Tak ada yang bia dimakan di dapur itu. Untuk berjalan saja kau tak mampu
Umak, bahkan matamu saja buta.
“Aku bawakan air, Umak harus
mandi dulu. Dilap saja,” dingin aku menanggapinya. Langsung saja, air itu
kuoleskan sekujur tubuh Umak. Bagian kepalanya sengaja kuperbayak. Ini akan
menjadi pertunjukan spektakuler.
“Bau apa ini Cok,?” Umak
bertanya, aku diam tak menggubris
sedikitpun pertanyaannya. Setelah Umak basah kuyup. Aku berjalan kembali ke
dapur. Menaiki kursi dan memegang pilinan tali. Dinding dapur dan kamar umak
kurusak. Tubuh basah kuyup Umak terpampang di depan mataku.
Kini saatnya pertunjukan, aku
sudah memikirkan ini. Kamu pasti bahagia Umak. Mau ya aku bakar hidup-hidup.
Kan sudah basah kuyup sama bensin. “Clerkkkk,” aku memantik korek api. Dan kulemparkan
ke tubuh Umak. Seketika kamar berubah terang. Umak menjerit. “Aaahhhh,
sakittt.”
Kamu akan bahagia Umak, tak akan
kelaparan lagi. Kamu akan dipangku Tuhan. Pasti bisa jalan dan sembuh. Bukannya
dekat dengan tempat tuhan itu akan memudahkanNya mendengar suaramu? Bagus,
tubuh mungilmu memudahkan api melahapmu Umak.
Kini giliranku. Tali sudah
dipilin, kursi sudah dinaiki, dan Umak sedang dibakar. Kuikatkan pilinan tali
itu di leherku. Bertopang pada tali yang digantung di langit-langit. Menendang kursisehingga
aku tergantung. Dan mati.
Kisahku melawan lapar dengan
segala pikiran rasionalku. Maka, bunuh diri adalah yang terbaik. Penista agama?
Aku pikir tidaklah serumit itu. Kapanpun aku mati, bakal tetap kembali kepadaNya
bukan. Hanya masalah waktu dan pilihan cara. Dan inilah cara yang aku pilih. Hai
Tuhan, aku Ucok baru saja meninggal dan itu Umakku, dia mati kubakar. Ada kamar
kosong untuk kami? Satu kamarpun jadi, Umakku bisa tinggal di terasnya saja.Kamar
di surga ya Tuhan.
Comments