Tanda Berwarna Coklat
Ridho Nopriansyah
Hanya sebentar, sampai aku tak
tahu warna matamu. Padahal hampir saban malam kau datang ke tempatku. Bercerita
tentang mimpi-mimpimu, tentang bagaimana kamu bertahan dengan prinsipmu, atau
tentang ceritamu pertama kali bercinta. Kamu sempat bilang, “Cerita ini hanya
kamu yang tahu,”.
Melihat bibirmu terbuka untuk
memulai ceritamu adalah saat-saat sakral. Sebab, akan selalu banyak hal yang
akan terlontar dari celahnya. Mataku akan selalu menatap bibirmu. Sampai kusadari,
setelah kamu pergi, aku tidak tahu apa warna bola matamu.
Hingga satu malam, seperti malam
ini, saat bayangmu muncul- malangnya hampir selalu muncul di benakku- kusadar aku tidak mengenalmu. Hanya bibirmu yang terbayang. Pun kucoba untuk menerka,
selalu aku ragu. Apa warna matamu.
***
“Hei, apa aku menggangu?,”
Kulihat jam yang menggantung di
sebelah kiri. Pukul 00.00, pantas. “Aku tidak terganggu,” aku menjawab
sekenanya. Kini mataku kualihkan sebentar padamu, sebelum akhirnya pada buku setebal 700 halaman di tanganku.
Kamu lantas naik ke tempat
tidurku, melompat bak pahlawan super. Jantan sekali. Dan ada yang aneh malam
ini, kamu...
“Kenapa pakai boxer? Dingin loh,”
aku bertanya. Dengan ekspresi biasa saja. Kamu menjawab singkat. Kamu bilang
gerah. Padahal kamu selalu bilang, jangan mengumbar aurat. Ada-ada saja. Suara kita
ditingkahi teriakan jangkrik. Sesekali truk besar membuat gaduh saat melintas,
memang tempatku ini di pinggir Lintas Sumatera. Sudah pasti truk atau mobil
raksasa lainnya kerap lewat.
“Belum ngantuk?” Kamu selalu
bertanya. Dan juga selalu memberiku roti selai. “Ini malam hari bukan pagi,”. Selalu
kubilang begitu. tapi persediaan roti selaimu memang kelewat banyak. Dan hanya
kau bagi untukku seorang. Aku selalu penasaran kamu menyimpannya dimana.
“Belum, masih baca-baca. Ada materi
yang belum bisa aku kuasai,” pandanganku malah tertumpu ke bibirnya yang sesekali
monyong mengunyah roti selai. Ia memang berparas rupawan. Ada darah Belanda
yang mengalir dalam dirinya. Ia putih bersih, warna mukanya merah. Sedap dipandang.
“Kalau aku mau cerita, apa itu akan mengganggumu?”
“Bukannya hampir setiap malam,
selain malam Minggu, kau selalu begitu. Datang kemari dan bercerita?,” aku
tahu, itu lebih kepada penegasan atas sebuah kenyataan. Bukan pertanyaan yang
musti dijawab. “Aku tak pernah keberatan,” kini buku tebalku kusingkirkan. Kuambil
buku tulis 100 lembar berwarna biru. Aku selalu tak ingin kehilangan momen
bersamamu. Kurekam ia acap kali kamu berkisah apapun. Dan malam ini aku akan
coba menangkap jejakmu. Walau aku tak tahu apa warna matamu.
“Apa kamu pernah takut dalam
hidup ini? Maksudku ketika kamu justru sudah melakukan banyak hal, namun
tiba-tiba kamu takut. Apa kamu pernah merasa begitu?” kamu bertanya, mulutmu
mengunyah, dan tanganmu membuat dua lapis soti selai, untukmu dan tak lupa
untukku.
Aku diam, dan kutahu kamu belum
selesai bercerita. Yang justru ingin kutanya adalah, mengapa kamu selalu
membenamkan aku dalam cerita-ceritamu. Mengapa kamu pilih aku untuk
mendengarkan bagaimana kamu tertawa, menangis, atau kala jatuh cinta. Namun,
dengan semua kespesialanku, aku jutru tidak mengenalmu. Tak lebih dari cerita,
roti selai, dan bibirmu yang mampu melambungkanku. Malam ini, aku justru takut.
Saat ini, saat aku tak tahu sedang menghadapi siapa di depanku ini. aku tak
mengenalmu.
Kamu melanjutkan ceritamu. “Aku
takut, takut pada kehampaan kemudian hari. Aku punya mimpi. Sudah kubilang
sebelumnya padamu, bukan? Aku sangat takut tak mampu mewujudkannya. Walau sedang
dalam proses menuju ke sana. Tapi tak bisa kupingkiri aku takut. Takut mengecewakan
keluarga,”
Tiba-tiba kristal bening jatuh
dari kedua matamu. Aku hanya menangkap ujung air matamu. Kamu lantas memuntup
matamu. Aku tak dapat melihat warnanya. Tangismu tak bersuara, menyiratkan
besarnya bebanmu.
Kupegang tanganmu. Meletakkannya di
dadaku. Kualirkan hangatnya tubuhku kepadamu. Kamu butuh itu. Kuberi lebih,
kuajak kamu masuk dalam pelukanku. Kamu bilang “Hangat,”. Bagiku, justru aku
sangat takut. Namun kupendam. Aku tak akan menambah berat bebanmu. Biar saja
kurekam semua ketakutanku pada buku biru 100 lembarku. Kamu mengeratkan
pelukanmu. Besar nian penderitaanmu, maksudku kekhawatiranmu.
Sebuah lagu lantas mengalun untukmu,
lebih tepatnya kubisikkan ke telingamu yang berwarna merah.
Takkan ada perih
Bila kamu bersamaku
Kudekap dukamu, laramu,
sakitmu
Kuberi kamu bahagia
Takkan ada
petaka
Merintangi jalanmu
Kutelah bersihkan
jalanmu yang terang
Kuberi kamu
bahagia
Malam-malam kuterbang
Kumpulkan para peri
Tak akan kubiarkan kau sedih
Ada aku di sini
Selalu kudekap
Kamu sayangku
Kamu sayangku
Jangan kamu
takut
Tumpahkan saja laramu
Hati ini luas sayang
Tak perlu kau takut
Usah kau pikirkan
Kuberi kamu bahagia
***
Dan sejak malam itu, aku tak pernah
melihatmu lagi. Entah apa yang salah, namun benar adanya. Ketakutanku terjawab sudah. Malam
itu aku sangat takut, rupanya kamu akan pergi. Dan tak ada lagi yang tersisa
dari malam-malam panjang kita. Pun roti selaimu, pun senyummu, pun suaramu. Kini
kuhanya bisa memnadaingimu dari jauh. Tak tahulah apa kamu masih mengenang
malam-malam panjang kita. Tanpa ritual malam bersamamu, kudapati kekosongan menamparku.
Malam waktu itu, setelah kubisikkan nanyianku, kumemintamu membubuhkan tandamu di buku biru 100 lembarku. Dengan sigap kau memahat tandamu di situ, coklat. Hingga hari ini aku tetap tak tahu apa warna matamu. Karena tandamu coklat, kupikir pun matamu coklat.
Sepertinya halnya cerita ini yang
menggantung, aku belum bisa rampungkan sebab masih ada kabut yang tak bisa kusibak di
antara kita. Suatu hari ingin kubuka tabir itu. Rahasia mengapa kamu tiba-tiba
pergi. Tak pernah menghubungiku. Dan rahasia apa sebenarnya warna matamu.
Medan, Oktober 2013
Comments