Teh dan Sesuatu Darimu Yang Sungguh-Sungguh



@DhoKudo
Begitukah kau? Sanggup mendiamkanku di sini. Sering aku malah berpikir: semoga semua orang ada di sini, mengelilingi kita. Sebab saat itu kau akan banyak berbicara kepadaku atau berkomentar terhadap segala hal. Sedangkan saat kita berdua saja, kita lebih memilih untuk saling mendiamkan. Membiarkan satu sama lain larut dalam pikiran kita masing-masing. Walau gelombang besar kuhantamkan untuk mengecohmu: kau masih saja bungkam.

Layaknya malam ini, kau datang kembali setelah sekian malam tak mengunjungiku. Aku tak menanyakan apapun. Termasuk bagaimana kabarmu dan keluargamu. Aku, sebenarnya malas mengakui ini, gengsi bertanya. Mengapa harus selalu aku yang lebih dulu memecah kekakuan ini. Lihat dirimu, kalau kau terus-terusan begini berarti kau memang menikmatinya.

Terkadang aku berpikir apakah ini dirimu yang asli. Mewujud dalam sosok dingin dan tak tembus pandang. Sesuatu darimu yang sungguh-sungguh, bukan sesuatu darimu yang tidak sungguh-sungguh. Jika begitu, maka sesuatu darimu yang sungguh-sungguh ini akan tetap begini. Aku menghormati kejujuran.

Lantas, bagaimana aku tahu itu sesuatu darimu yang sungguh-sungguh? Kalau aku, semua yang tampil saat ini memang bukan sesuatu dariku yang sungguh-sungguh. Sebab sesuatu dariku yang sungguh-sungguh adalah tak kuasa mendiamkanmu atau tak kuasa menolak tiap titahmu. Aku hanya mencoba terlihat tegar: tanpa dirimu.

Biarkan aku melihatmu telanjang. Akan selalu ada celah untuk membuktikan mana yang bisa diartikan atau tidak bisa diartikan sebagai sesuatu darimu yang sungguh-sungguh. Bohong sekali  jika kau tidak kepikiran dengan interaksi ganjil kita. Yeah, setidaknya begitulah yang kupikirkan.

Betul, bukan? Kau juga ingin mencairkan suasana di antara kita. Hanya saja kau, apa boleh buat, kuartikan sebagai seseorang yang gengsian juga untuk menunjukkan perasaanmu padaku. Bodoh sekali kalau kau masih menganggapku orang lain. Saat aku sudah leleuasa menumpahkan lubang hitamku padamu – lihatlah itu sebagai sesuatu dariku yang sungguh-sungguh –kau malah belum bisa berlaku sama. Pekalah sedikit dengan hatimu.

Maafkan aku, hatimu sungguh sangat peka. Kau bisa merasakan semua yang melenceng dari jalurnya. Lalu kau lontarkan ke orang-orang, pada akhirnya membuatmu tenar sebagai orang yang sangat teliti. Sifatmu yang selalu ingin tahu urusan orang lain juga melejitkanmu. Kau bilang itu untuk mencari solusi kinerja bersama. Baiklah, aku akui berarti kamu memang dinilai baik oleh orang, termasuk aku, sebab banyak yang pada akhirnya mau membuka diri padamu. Tapi tak satupun dari mereka tahu tentang dirimu yang asli: termasuk aku.
                                                                          
  ***      

Pagi-pagi sekali aku sudah menarik kerai di kedai. Aku membiarkan sinar matahari menembus kaca-kaca gelap ini. Tak lupa aku menyalakan pemanggang roti, oh  sosis juga kupanggang di atasnya. Padahal  biasanya kedai baru dibuka pukul 10 pagi. Ada rasa nyaman yang merasukiku tiap kali memulai rutinitas di kedai.

Dari kedai ini biasanya aku melihat semuanya. Merangkul dan menikmati ragam cerita pengunjung kedaiku. Dari kedai ini juga aku menguasai kotaku. Bukankah seseorang yang mengetahui informasi layak disebut penguasa, ha-ha-ha. Bukalah kedai atau kafe, maka akan kau rasakan gosip-gosip merangkak sendiri ke kaki-kakimu, tanpa perlu kau pancing.

Bunyi gemerincing lonceng mengalihkan pandanganku ke arah pintu. Sesosok pria berjaket kulit masuk. Ah, dia rupanya.

“Wohoo, tumben pagi ini bukanya cepat,” pria itu langsung menuju meja order.

“Hai, ada sedikit yang harus diberein dulu sebelum kedai  betul-betul dibuka,” aku menjawab sekenanya. Sesuatu dariku yang  tidak sunggu-sungguh.

“Oh, berarti belum bisa pesan burger dan teh, bukan. Aku dengar Alif lagi deketin Oniy. Sebetulnya kurang cocok sih, tapi aku berharap mereka jadian,”

Tanpa kusadari kedua tanganku menegang. Sesuatu dariku yang sungguh-sungguh seperti bangun. Gosip pagi darinya seakan menamparku. Aku sudah dengar desus-desus itu. Namun belum sejernih ini. aku bingung harus merespon apa. Hanya gumaman tak jelas yang berhasil kutunjukkan.

“Aku enggak yakin sama  Oniy. Tahu sendirilah dia perempuan seperti apa. Aku yakin Alif sudah nidurin dia. Cewek parlente macam Oniy kenapa bisa ya ditaklukkan Alif,” pria sialan itu masih saja mengoceh.

“Kok kamu diam aja sih Mia, atau kau cemburu ya. Kudengar diam-diam Alif juga suka mengunjungimu. Astaga atau kalian sudah berhubungan sebelumnya?” pria sialan. Ocehanmu keterlaluan. Walau itu benar.

“Anjing kau, suka-suka aku lah. Kau suka kali ngegosip pagi-pagi. Pergi sana, ganggu aku aja.”

“Keliatan lagi dari mata kamu.”

“Gilbert...”                                                                                             

“Baiklah, kalau kamu betul-betul cinta, show him. Kalau diam aja bisa mampus kau butet. Jual lah teh, ia menyegarkan

Begitu saja, Gilbert lantas meninggalkanku di kedai. Pria sialan itu memang selalu begitu. Ia bisa saja mengendus perasaanku terhadap Alif. Puas menggodaku baru ia berlalu. Stok gosipnya banyak sekali tentang Alif. Mau tak mau perkataan Gilbert membebaniku juga. Satu lagi, kau juga tahu aku enggak jual teh. Bagiku teh adalah sesuatu yang sakral.


***

Teh adalah Alif. Tidak diperjualbelikan.

 ***

Ada 16 toples teh beraneka rasa dijejerkan di atas meja berbentuk tanda tambah. Setiap tangan meja memegang 4 toples. Alif tak menerangkan rasa atau pembeda di antara 16 jenis teh itu saat tangan-tangannya dengan cekatan meraih gelas porselen. Sedang Mia, diam dengan tangan membekap lehernya sendiri, menahan terpaan dingin yg tak kunjung menguap. Lalu Alif menatapnya.

"Toples yang mana?" Alif tak melihat ketertarikan apapun di mata Mia, "Bagaimana kalau Teh Putih? Baik untuk kekebalan tubuh.".

"Apa aku terlihat seperti orang sakit?" Mia menimpali tawaran Alif, "Aku mau teh di toples dengan penutup merah.".

"Teh Genmaicha," Alif menyahut pelan.

Lalu Mia bertanya, "Apa khasiatnya?"

Alif menghela napas, "Jangan menghiburku, Mia".

Mia terhenyak. Tampaknya Alif menangkap kilatan enggan di matanya. Ia tak mampu melanjutkan satu katapun. Pandangnya jatuh.

"Genmaicha, campuran teh hijau dan beras yang dipanggang. Akan kubuatkan."
 Lalu Mia berujar pelan, "Tambahkan gula".

 "I will."

Sesuatu menggerakkan lidahnya meminta Alif menambahkan gula. "Lidahku tak dapat menikmati rasa teh tanpa gula," masih Mia.

"I will," sahut Alif lagi. Mia tak mendengar penyanggupan pertama Alif.
Alif menambahkan irisan kayu manis, "Silakan minum.” 

"Kamu pilih teh Genmaicha, pilihan bagus. Tapi, untuk menikmatinya, siang adalah waktu terbaik. Aku ragu," ujar Alif dalam hati. 
 
"Tambah gula lagi Man, tehnya enak," Mia menyodorkan gelasnya. "Ini teh paling enak yang pernah kuminum," sesumbar Mia lagi.

Pagi hari, saat Mia bangun. Alif menyuguhkannya secangkir teh lagi. "Teh Putih, bantu jaga kekebalan tubuhmu.".

Sebelum berpisah, Alif memberikan Mia Teh Putih setengah toples dan teh Hitam dua toples. "Diminum ya. Putih dulu, baru Hitam.

"Genmaicha...?" Mia spontan bertanya.

"Kuseduh setiap kamu kemari. Sekarang pulanglah. Bawa tehmu," ujar Alif pelan.

"Teh adalah Alif. Tidak diperjualbelikan," gumam Mia.

***

Mia tak kuasa menahan sesak di dadanya. Ada panas yang kian merambat ke atas hingga air matanya tumpah ruah. Ia tak bisa menahan diri untuk tak menghiraukan Alif. Seperti malam itu, ia datang begitu saja ke tempat Alif. Ia sudah bulat, toh Alif juga sering mengunjunginya. Tak mungkin Alif tak menyimpan rasa suka untuknya.

Sementara Mia berlalu, seseorang juga memunguti jejaknya di belakang. Seseorang itu selalu bersembunyi dalam gelap. Ia tak berani menunjukkan dirinya. Bukan sesuatu darinya yang sungguh-sungguh.

Langkah Mia terhenti, ia menimbang lagi alasan dia menemui Alif. Kalau dia butuh, dia yang akan datang menemui Mia. Perdebatan sengit terjadi di kepalanya. Sedangkan seseorang di belakang Mia juga menghentikan langkahnya. Ia menatap dari kegelapan.
Mia putar badan. Ia pulang ke rumah.

***

Begitukah kau? Terus saja diamkan aku. Kadang aku berpikir, siapa aku dibanding perempuan parlentemu? Tapi kau terus datang padaku.

***
Aku Alif, dan aku bingung harus bagaimana terhadapmu Mia.
 ***
Maafkan aku, sesuatu dariku yang sungguh-sungguh tak bisa menyeruak. Ia diam tak menggigit. Aku bisa mengendus maumu padanya. Tapi aku tak bisa mengendus maumu padaku. Walau tak cukup puas menikmatimu dari gelap, aku tetap bertahan. Mencoba memasukkan teh ke dalam daftar menu kedaimu. Artinya: sesuatu dariku yang sungguh-sungguh.

Teh bukanlah Alif. Teh adalah aku, dan ia diperjualbelikan.

Comments