#2 Tentang Rasa: Petuah Memukau Seorang Teman



@DhoKudo
Jangan pernah mengumbar janji atau gelagat semacam itu. Kalau memang tak akan memenuhinya bilang saja. Jangan berlaku seolah kamu ingin menyenangkanku. Sebab yang kubutuhkan bukanlah kebagusan katamu atau bagaimana kamu meyakinkanku akan kehadiranmu yang berulangkali tak dipenuhi. Kalau bisa tidak usah bicara apapun, agar hati di depanmu tak mengartikannya sebagai isyarat untuk menunggumu.

Aku sudah memesan gelas ke enam dan segera memesan satu gelas lagi. Jika dihitung ini adalah kali ke empat aku melakukannya di satu bulan yang sama. Meredam praduga di bawah rasa percaya. Sebuah optimisme yang terus kupupuk agar ia hidup. Seperti memberi banyak listrik kejut agar jantung kembali berdenyut. Aku tengah menunggumu seseorang yang kukira kumengerti.

Seorang teman pernah mengatakan jika sabar menunggu ialah setia. Kesetiaan yang nyata mewujud dari sebuah kesabaran. Kucoba untuk mempercayai petuahnya yang memukamu. Makanya aku di sini, seperti di banyak siang dan malam sebelumnya.

Kamu selalu menggunakan pekerjaan sebagai pengelak jitu. Kamu jejalkan aneka situasi, nama, dan cerita asing yang membuatku mual. Aku tak mengerti kesibukanmu padahal dulu kupikir ini akan menjadi hal yang sederhana. Sesederhana menanti uang kembalian.

Pada mulanya aku juga menikmati peranku yang lebih sering menunggumu. Aku meletakkan sebongkah rasa percaya pada kakimu. Ia bakal menggerakkanmu kemari. Seperti optimisme kalau  besok matahari akan tetap muncul.

Kutenggak minuman di gelas ke delapan dan aku rasa cukup. Terlalu banyak minum membuat perutku begah. Sehingga sesak bernapas dan mengurai rasa sakit yang dikeluarkan sedikit-sedikit hingga terasa begitu menyiksa.

Apakah aku harus terus berada di sini? Menguji kesetiaan? Tiba-tiba aku merasa petuah teman yang memukamu itu berubah jadi sesuatu yang bodoh. Mengapa aku memerercayainya? Ia bukanlah sesuatu yang senyata persinggungan partikel. Melainkan tak lebih dari omong kosong calon sarjana.

Tapi aku juga tak kuasa untuk keluar dari petak yang telah kita buat. Tanahnya penuh duri yang menusuki kaki, tapi atapnya seperti punya tali-temali yang mencegahku untuk jatuh dan keluar. Kadang aku berpikir itulah wujud setia. Sesuatu yang mengendalikan untuk sesuatu yang menguatkan. Sesuatu yang tak selalu zahir, lebih sering berupa tumpukan semagat sendiri.

Aku bercerita kepada temanku yang punya defenisi memukamu soal kesetiaan setelah kamu tak datang lagi malam itu. Padahal aku memaksakan diri untuk memesan gelas ke sembilan walau tak kuminum pada akhirnya. Aku mengulur waktu agar tak diusir pelayan kafe.

Temanku bilang yang kubutuhkan adalah keberanian memilih: untuk tetap bersamamu atau berhenti. Ia punya teori jenius soal melawan kendali tali-temali dalam petak kita: sebuah gunting. Katanya kupotong saja tali kendalinya dengan itu.

Tentang keberanian, temanku itu berkata aku harus memainkan peran itu. Sebab tempat cinta bukan di hati. Tak ada manusia yang mampu mengurung cinta. Cinta adalah ledakan dahsyat, sesuatu yang sudah hancur dan kamu hanya terima serpihannya.

Kata temanku, cinta adalah serpihan yang sampai ke hati kita. Layaknya komet, apabila ia bergesekan dengan atmosfer, ia menyala, dan jika ada sedikit saja bongkahan komet itu yang jatuh ke permukaan planet, sebut saja bumi, itulah cinta. Sisa-sisa ledakan, sesuatu yang... aku ingin katakan kuat, tapi temanku bilang: lemah.

Aku mulai mempertanyakan rasaku padamu. Bukan sebuah penolakan atau sebuah manifestasi. Tetapi lebih kepada sikap, seberapa laik aku untukmu.

Perasaan itu.





               

Comments