Hati Setelah Bara yang Menyala
@DhoKudo
Rentetan suara itu kian mendekat, suara yang didominasi lolongan
keras. Ramai teriakan, seluruh warga kampung serempak panik. Menyelamatkan
keluarga dan diri masing-masing. Aku mendongakkan pandangan ke luar jendela,
dan dari rumah panggung ini dengan jelas kulihat ibu-ibu menangis lengkap
dengan anak yang didekap dan bayi yang digendong. Atau manusia tua renta yang
harus dipapah dan tak kalah histerinya. Lari ke hutan dengan barang seadanya.
Seketika dadaku bergemuruh, ada sesuatu yang seperti akan meledak.
Gemuruh itu memicu panas di kedua mataku. Tak ayal lagi, menetes air mata ini,
aku yang kecil tak kuat menyaksikan kepanikan semesta di hadapanku.
Aku ingat, kakiku kecil, masih pendek. Aku berlari dari muka
jendela ke kamar Kakek. Hanya dia yang mampu melindungiku. Lagian hanya ia pula
keluargaku. Tak ada lagi yang tersisa. Kakek tak pernah bercerita mereka
dimana.akupun tak memicu rasa ingin tahuku lagi. Toh dari kecil, bahkan ingatan
pertamaku hanya Kakek. Tak ada yang lain.
Tapi tak kudapati sosok Kakek di kamar. Segera kuperiksa ruang
tengah, dapur, dan lumbung padi di atas. Aku tak melihat Kakek. Sementara tubuh
kecilku sudah dari tadi panik. Menangis walau tak keras, aku ketakutan tak tahu
harus berlindung kemana.
Tiba-tiba saja aku merasa begitu kesepian. Bingung menentukan
langkah selanjutnya. Aku tak mau berteriak. Saat terdengar pintu depan
didobrak, darahku berdesir hebat. Lantas aku bersembunyi di kolong meja.
Kuharap kemurahan hati meja melindungiku dari siapapun yang mendobrak pintu
itu. Walau jelas-jelas aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku takut.
Sebelumnya, aku hanya takut pada tiga hal; pada Tuhan yang
disembah, pada hantu pemenggal kepala anak kecil. Oleh sebab itu, aku selalu
rajin beribadah setiap Minggu ke gereja. Mengikuti sekolah Minggu dengan tekun
dan sebisa mungkin tidak berlaku nakal. Aku tidak membantah Kakek, tidak
merokok, dan tidak pernah bolos sekolah.
Aku juga takut Si Gotap Ulu. Hantu pria pemenggal kepala anak kecil
untuk dijadikan tumbal penyangga jembatan. Katanya sebuah jembatan akan
dibangun di kali pinggir kampung agar masyarakat kampungku tak lagi menggunakan
getek untuk menyeberang. Agar perekonomian kami lancar. Begitu yang kudengar
dari Kakek usai ia menghadiri pertemuan akbar. Umurku 6 tahun dan aku tak
mengerti apa yang Kakek katakan.
Mendengar niat pembangunan jembatan yang katanya dari beton nan
kuat itu, darahku berdesi-desir. Kampungku niscaya menjelma menjadi kampung
dengan perekonomian canggih. Oh, entah apa itu. Tapi kata ekonomi sontak
menambah rasa percaya diriku. Ia seperti asupan susu yang jarang kuminum.
Mendengarnya saja terbit seleraku.
Berbeda di kalangan orang dewasa yang mengaitkan jembatan dengan
naiknya perekonomian, di kalangan anak-anak tersiar kabar yang membuatku ngeri.
Untuk membangun jembatan beton nan kuat katanya butuh beberapa potong kepala
anak kecil. Dicor dengan beton jadi penyangga juga sebagai tumbal agar jembatan
tak mudah ambruk. Jauh dari segala kesialan.
Kabar tersebut santer dan meresahkanku. Aku tak berani lagi
sendirian ke sungai saat mandi. Aku juga tak berani lagi menengok Kakek ke
ladang sepulang sekolah. Takut tahu-tahu Si Gotap Ulu menghadangku di tengah
jalan dan memenggal kepalaku.
Umurku delapan tahun dan ketakutanku bertambah satu: pada penggaduh
kampung ini. Aku telungkup dalam-dalam agar tak terlihat. Sedangkan orang yang
mendobrak pintu memukul apa saja. Suaranya piring pecah, lemari jaduh, dan
kursi dilempar membuatku kan takut.
Kukatupkan kuat-kuat gigiku menahan isak.
“Di situ kau sembunyi, hah,” suara itu membuatku terperangah.
Seketika kau menangis keras, dua tangan besarnya mengangkatku dan
menendangku ke luar rumah. Aku diseret ke tengah kampung. Tangisku kian
lantang, sungguh aku sangat takut. Yang ada di pikiranku hanya Kakek, Kakek,
dan Kakek.
Tubuh kecilku dilempar begitu saja ke kerumunan di pinggir
lapangan. Ada banyak anak dan perempuan di situ. Seorang perempuan, ibu teman
sekelasku, menghambur dan menarikku ke pelukannya. Ia menyeka kedua mataku dan
mengelusi kepalaku yang bengkak akibat terbentur. Kedua lututku yang merah oleh
darah pun disekanya. Ia membekap mulutku yang kian kencang menangis. Ia suruh
aku diam, supaya penggaduh tidak terpancing ke arah kami.
Aku menurut, kulihat Arum, teman sekelasku, disamping ibunya yang
tengah mendekapku. Napasnya satu-satu, ia juga habis menangis. Lalu kulihat ke
tengah lapangan. Di sana juga ada kerumunan laki-laki besar. Abang Arum berusia
18 tahun dan ayahnya juga ada di situ. Tangan dan kakinya terikat dengan mulut
mengeluarkan darah.
Mataku membelalak ingin rasanya teriak. Tapi sudah diperingati ibu
Arum agar diam saja. Kakek juga di kerumunan itu, kondisinya sama saja dengan abang
dan ayah Arum. Mereka dikelilingi banyak penggaduh yang mencambuki. Terdengar
rintihan dan teriakan dari sarah sana, memilukan sekali. Kami anak-anak juga
terus menangis walau tertahan.
Tiga orang penggaduh berjalan ke arah kami. Kulihat tangan ibunya
meraih Arum. Kami bertiga saling berdekapan. Tiga lelaki penggaduh itu menampar
ibu Arum, juga perempuan dewasa lain di sini. Semua anak-anak menjerit, aku dan
Arum menjerit.
Kami berbaris melingkari abang, ayah, suami, kakek, sepupu, dan
keluarga masing-masing dari kami. Sedangkan mereka, lelaki besar, didudukkan di
tengah lapangan, di tengah-tengah kami. Tangan kanan ibu Arum menggenggam
tangan anaknya, sedangkan tangan kirinya menggenggam tanganku.
Kemudian para penggaduh menyirami air ke arah lelaki besar. Aku
diam saja, air mataku sudah kandas tinggal isakan yang belum lenyap. Sedangakan
ibu Arum hanya diam. Tak sedikitpun air matanya tumpah.
Termasuk saat para penggadung melemparkan nyala api ke tegah lelaki
besar yang seketika menjadi merah menyala. Lolongan mereka memilukan. Kurasakan
genggaman tangan ibu Arum menguat. Tangannya begetar hebat. Ia tidak menangis,
tapi aku tau ia terguncang. Siapa yang tak gusar melihat anak dan suaminya
dibakar hidup-hidup di depan mata sendiri.
***
Kini, setelah 20 tahun berlalu: aku pulang. Menengok ibu Arum.
Natal tahun ini adalah Natal pertamaku setelah menikah. Kubawa Arum pulang,
bersama Arum kecil di perutnya. Sebelum sampai di kediaman Ibu Arum, mertuaku,
kami harus melewati bekas lapangan tempat lelaki besar dibakar yang kini sudah
menjadi kuburan. Ada tugu yang bupati bangun di situ. Kudengar setelah didesak
para aktivis HAM dari Jakarta.
Sesampainya di bekas lapangan, seketika bayangan kelam itu datang
lagi. Arum mempererat gamitannya di lenganku. Kupikir ia juga rasakan yang
sama. Masih jelas terekam, di sela lolongan para lelaki besar, jeritan kami yang
menyaksikan dengan pilu. Para penggaduh berteriak riang.
“Demi kehormatan gadis kami.”
“Demi kehormatan ajaran kami.”
“Demi binasakan kafir.”
“Allohu Akbar.”
Sesungguhnya ingatan anak kecil sangatlah kuat. Sekali ia
dihadapkan pada satu hal yang membuatnya terngiang-ngiang, laksana ingatan
gajah, ia masih akan ingat. Pun berpuluh tahun berlalu.
Comments