Sepasang Berdialog, Sepasang Bermonolog
@DhoKudo
Malam baru sejengkal menyapa saat
Biru masuk ke aula tempat diadakannya kebaktian. Jemaat yang datang pun masih
satu-satu. Biru mengambil tempat duduk di sisi kanan, di barisan tiga terdepan.
Memeriksa kembali apakah ia tak lupa membawa Injil. Setelah yakin, ia
meletakkan tas berisi Injilnya di samping.
Biru kemudian memutar tubuhnya,
pandangannya menyapu seluruh aula menikmati dekorasi khas jurusan mereka:
sketsa.
Setelah menandai kursinya, Biru
beranjak ke luar aula sekadar membunuh sepi. Pandangannya tunduk pada Alya,
adik kelasnya yang tengah jadi panitia. Alya memang muslim tapi ia tak
keberatan ikut ambil bagian sebagai panitia Natal. Ia sudah lakukan ini sejak
tahun pertama kuliahnya.
Keduanya hanya saling membalas
senyum. Alya larut dalam kesibukannya menyambut kedatangan jemaat, sedangkan
Biru menghirup udara malam dalam diam.
***
Matanya lekat menikam sosok di
atas panggung yang kadang meliuk, diam, atau berterik lantang. Ia tak habis
pikir bagaimana bisa ada keindahan sebegitu besar di dekatnya. Dan ia tak
pernah sadar akan hal itu. Biru awalnya hanya mengantar temannya menonton
pementasan teater jadi larut dalam pikat sang artis.
Perempuan di atas panggung itu
berjilbab dan hanya sendiri. Sorot lampu yang cenderung berwarna sendu hanya
menyorot ia dan latar belakang berbentuk kubus sehingga terbatas ruang
geraknya, fokuslah mata melihat penampilannya. Ialah sang artis yang tengah
bermonolog. Memaku pantat Biru hingga ia tak bergerak.
Saat Biru datang, perempuan itu
tengah mematut diri di depan cermin. Ia bercakap-cakap meminta pendapat
bagaimana mempertahankan hubungan rumah tangganya. Nafasnya berat bergetar seperti
bibirnya yang bergetar acap kali ia bertutur. Biru tak dapat mendefenisikan
ketertarikannya. Apakah pada cerita atau perempuan pemeran: sang artis.
Tiba-tiba gelap, perempuan itu
seperti hilang di tengah malam. Ada seberkas kerinduan yang dirasakan Biru. Biru ingin terus melihat perempuan itu
bermonolog, bercakap-cakap dengan bibir bergetar.
Cahaya lampu menyorot sisi lain
panggung. Sesosok pria bermonolog dengan latar belakang kubus juga. Pria itu
suami sang perempuan yang juga mengumbar kekalutan hatinya. Sepertinya Biru
memang hanya tertarik pada cerita, bukan pada perempuan tadi. Sebab ia tetap
dapat menikmati monolog meskipun sang artis kini pria.
Sang pria pun hilang, sorot lampu
menampakkan perempuan itu kembali. Mengeluarkannya dari mulut kegelapan. Kelegaan
dapat dirasakan Biru, ia tersenyum tipis seperti merasakan sesuatu yang
dikhawatirknnya telah menguap. Jangan-jangan ia memang menyukai perempuannya,
buka cerita monolognya.
***
Kidung-kidung Ilahi mengalun
merdu dari aula. Perangkat-perangkat doa dimainkan demi membujuk Tuhan untuk
menurunkan kebaikan hatinya ke Bumi. Menyelamatkan jika Ia diminta menyelamatkan,
menyembuhkan jika Ia diminta menyembuhkan, atau menghapuskan jika Ia diminta
menghapuskan. Walau terkadang Ia punya cara-Nya sendiri untuk menunda doa-doa
tertentu. Menyibukkan hamba-Nya dengan satu perkara.
“Selamat Natal, Bang Biru,” Alya
mengulurkan tangannya ke Biru usai kebaktian.
“Terimakasih Dik. Nanti kamu kafir
kalau ngucapin selamat Natal.”
“Oh ya? Padahal Kafir dari Bahasa Arab yang artinya
di luar muslim, Bang Biru itu Kafir. Berbeda pengertian dengan KBBI. Kok Abang
belum pulang?”
“Pertanyaanmu bukan berarti
mengusir Abang, kan?”
“Tentu tidak, janganlah
berprasangka buruk. Di sini kan banyak panitia yang lagi beres-beres. Nanti
Abang terganggu.”
Biru pun membantu Alya dan panitia
lain berkemas malam itu. Ia merasa dekat dengan Alya, kedekatan yang tak
dibuat-buat. Melakukan percakapan yang bukan hanya direspon agar tak terjadi
kekosongan. Supaya tetap mewujud dialog.
Malam sudah beranjak larut saat
Alya menerima tawaran Biru untuk mengantarnya pulang. Ia menerima tawaran itu
sebab ia merasa dekat dengan Biru, kedekatan
yang tak dibuat-buat. Melakukan percakapan yang bukan hanya direspon
agar tak terjadi kekosongan. Supaya tetap mewujud dialog.
Alya menikmati tiap tarikan nada
Biru saat berbicara, desahan nafas Biru yang menyelip di antara candanya. Alya
merasa hidup, sehidup saat ia bermonolog.
Biru menanyai Alya, mengapa ia
suka bermain teater. Alya dengan senang hari menjawabnya. Baginya bermain
teater adalah mencari katup pengait kehidupan. Ia begitu menyukai kehidupan. Baginya
kematian adalah sesuatu yang gelap. Ia tak habis pikir mengapa ada orang yang
mau mati muda, lebih konyol lagi mendeklarasikan diri ingin mati muda. Bagi Alya,
mati muda adalah sebuah musibah, penanda pengecut sebab takut mengambil resiko
untuk hidup lebih lama. Takut berjudi apakah kelak mati sebagai anak emas Tuhan
atau pembangkang.
Bagi Alya, teater adalah tempat
ia bisa mengaitkan tali hidupnya. Pada teater lah ia mencoba menjajakan diri. Merancang
monolog dan dialog. Baginya monolog adalah bentuk paling jujur dari manusia. Ia
percaya, dan berkatnya Biru juga mengamini hal itu, monolog adalah cara manusia
berbicara dengan semesta. Pun saat sesama manusia berbincang satu sama lain,
berdialog satu sama lain.
Kebanyakan dari dialog antara
sesama manusia bukankah hanya basa-basi? Menimbrungi pembicaraan agar terkesan
menyimak. Nyatanya semua manusia larut dalam monolognya masing-masing,
mencitrakan dialog-dialog: dialog imajiner.
Terkecuali bagi mereka yang merasakan
daya pikat pada dialog-dialog yang dilakukan. Sebab ada kekuatan tak kasat mata
yang timbul dari dialog yang benar-benar dialog. Ia muncul dan bertahan dalam
senda gurau, tangis, simpati, juga pada rasa-rasa humanis lainnya. Bedanya
hanya pada di kekuatan tadi. Hanya yang murni berdialog– bukan berdialog
imajiner –yang bisa merasakan daya pikat dialog, sebuah kedekataan.
Mudah saja untuk membuktikannya. Penguji
kedekatan adalah dialog. Mungkin saat berdialog dengan banyak orang dalam waktu
yang sama akan terasa menyenangkan dan ringan. Sebab kita merasa akan selalu
ada orang yang mengisi runag-ruang dimana kita tak ingin muncul di situ.
Maka saat berdua saja dan
melakukan dialog. Perhatikanlah, apakah yang muncul kemudian respon-respon
sekadar untuk menimpali percakapan, membuat percakapan hidup, seolah-olah ia
berisi. Atau memang bukan respon-respon penimpal percakapan, bukan membuat
percakapan hidup, sebab ia berisi.
Saat muncul perasaan ingin
mengakhiri dialog berdua, dapat dipastikan kedekatan itu semu. Sebab beban
berat yang muncul saat berdialog patutkah disebut buah kedekatan?. Terpujilah mereka
yang sukses berdialog, bukan larut dalam monolog-monolg saat berdialog.
Pada poin itu Biru menimpali,
menurutnya Alya tak dapat mengeneralkan manusia serempak dalam berdialog. Sebab
bisa saja muncul faktor lain saat berdialog. Misalnya rasa suka yang kepada lawan
berdialog hingga menumpulkan kemampuan berdialektika. Sebuah pembiaran membuka
pintu ruang-ruang kosong. Sebab tak sanggup menggapai titik nyaman yang telah
lenyap.
***
Menahun berlalu, Biru masih
sepakat pada uji kedekatan versi Alya. Baginya kulitas kedekatan terbukti saat berdialog
berdua. Ia rasakan kemantapan saat berdialog dengan Alya. Ia pun menebak dari
respon yang dilontarkan Alya, dari gerak tubuh yang ditampilkan Alya, dari
mimik yang dicitrakan Alya, sepertinya Alya juga rasakan kedekatan yang sama. Mewujud
dalam sebuah kenyamanan.
Alya pun rasakan yang sama. Ia rasakan
kemantapan saat berdialog dengan Biru. Ia pun menebak dari respon yang dilontarkan
Biru, dari gerak tubuh yang ditampilkan Biru, dari mimik yang dicitrakan Biru,
sepertinya Biru juga rasakan kedekatan yang sama. Mewujud dalam sebuah
kenyamanan.
Bagi Biru, ia tetap tak berani
beranjak lebih jauh. Seperti kemungkinan munculnya faktor lain saat berdialog
yang melemahkan uji kedekatan versi Alya, rasa nyaman yang ia peluk masihlah
satu faktor dari banyak faktor yang harus ia temukan pada Alya.
Biru terus saja
diam. Ia bermonolog.
Sedangkan Alya
menunggu dan tak mau mengungkapkan. Ia bermonolog.
Comments