#Bellaxxx 2: Sesuatu yang Mengusik dari Dalam
Pagi masih membayang saat pesawat yang ditumpangi Bella tinggal landas dari Glasgow menuju London. Dari atas, matahari musim dingin terlihat pontang-panting menyemburkan sinarnya. Mengalahkan kabut yang bergulung-gulung.
Dia teringat kejadian dari semalam, rencana jalan kakinya di pusat Kota Glasgow yang berakhir dengan duduk makan sesorean di kafe, William yang meneleponnya, dan riuh Manchester di televisi kafe yang entah mengapa membulatkan tekadnya menemui Wlliam.
Selain beberapa urusan pribadi ke Manchester, ia juga merasakan deburan semangat saat mengingat William. Seperti ada puluhan kupu-kupu mengepakkan sayap di perutnya.
***
Bella tak perlu berlama-lama di bandara. William dengan senang hati menjemputnya. Ia tersentuh dengan keringanan langkah model seksi itu. Di tengah kesibukannya, masih sempat memberikan pelayanan menyentuh untuk Bella.
Bella tak perlu berlama-lama di bandara. William dengan senang hati menjemputnya. Ia tersentuh dengan keringanan langkah model seksi itu. Di tengah kesibukannya, masih sempat memberikan pelayanan menyentuh untuk Bella.
William kemudian membawa Bella membelah jalanan London yang bersalju. Hamparan putih sedari tadi menyelimuti tiap jengkal London sepandangan Bella.
Mobil William berhenti tepat di depan sebuah rumah yang berdempetan. Bentuknya memanjang ke samping dengan sedikit lengkungan di tengah, mengikuti lengkungan jalan beraspal di depannya.
Inilah kali pertama Bella menginap di kediaman William. Bella takjub atas flat William atau apapun itu.
Dari luar, bentuknya seperti hunian yang dibangkitkan kembali dari zaman George. Terlihat kokoh, antik, berselera. Anehnya modern sekaligus. Mungkin karena mobil-mobil mewah yang parkir lurus-lurus di depannya.
Setelah menaiki lima undakan anak tangga, William membukakan pintu. Udara hangat langsung menerpa wajah Bella. Ia bersyukur dan masuk meninggalkan kejamnya musim dingin di jalanan London.
Setelah William menggantungkan mantel mereka, keduanya duduk di salah satu kursi tamu dari kulit dan ukiran yang sangat rumit. Sempat mengingatkan Bella akan satu jenis ukiran di Asia yang sempat akrab dengannya.
Sesaat keduanya diam. Bella sebetulnya sangat ingin menghampiri William dan mengenyahkan semua canggung ini. Namun dia merasa kecil setelah melihat William membawa
nya ke Egerton Crescent. Orang bodoh pun tahu harga satu propertinya termasuk paling mahal di planet ini.
nya ke Egerton Crescent. Orang bodoh pun tahu harga satu propertinya termasuk paling mahal di planet ini.
Belum lagi perabotan William yang seolah tak mengenal cela. Dari tempatnya duduk, Bella dapat mencium aroma kayu manis dan percikan aroma hutan, yang membuatnya merasa hangat.
Bella masih diam, sementara William tampak memilin senyum.
"Terimakasih sudah memenuhi undanganku, nona," ucapnya disusul tarikan napas yang aneh setelah itu.
"Sama-sama, Will. Saya merasa terhormat dan tersanjung dengan semua ini." Bella juga menyumbangkan senyum tulus. Ia berusaha keras menyembunyikan keterpukauannya.
"Bagaimana Glasgow? Walaupaun aku tahu musim dingin di sana cukup hangat. Saya rasa tetap tidak mudah untuk di luar rumah."
"Yeah, begitulah." Bella hanya mampu mengatakan itu. Nampak enggan membahas Glasgow. Namun William tak mengetahui itu.
"Aku dengar aktivis-aktivis konyol di sana semakin gencar mendorong Glaswegians untuk berpisah dari Inggris Raya. Saya rasa itu pilihan yang buruk," ucap William sambil menyalakan rokonya. Ia terlihat menggelikan saat berbicara soal politik.
Walaupun Bella tahu pastilah William memperoleh pendidikan yang bagus. Apalagi keluarganya adalah politikus ternama.
Walaupun Bella tahu pastilah William memperoleh pendidikan yang bagus. Apalagi keluarganya adalah politikus ternama.
"Begitulah, aku dengar tahun 2014 nanti akan diadakan referendum. Semoga warga Skotlandia mendapatkan yang terbaik." Bella tak lagi menutup-nutupi kebosanannya dengan topik pembicaraan itu.
William sepertinya menangkap gelagat itu dan permisi untuk memgambil sebotol anggur ke ruangan penyimpanan.
Kesempatan itu dimanfaatkan Bella untuk mengendurkan ketegangan ototnya sambil mengamati sekeliling.
Ruangan itu cukup luas namun terasa sempit karena menampung banyak perabotan. Ditata rapi mulai dari guci-guci raksasa, kepala cheetah yang digantung, atau kandeliar yang menyala redup. Semuanya membuat Bella merasa nyaman dan kecil sekaligus.
Dari jendela yang sangat besar, gordennya tak menutup sempurna, Bella bisa melihat salju menggulung-gulung di luar. Dari prakiraan cuaca, hampir sepanjang hari London akan diguyur salju.
William kembali lagi dengan sebotol anggur dan dua gelas kristal.
"Aku pikir depan rumahmu selalu dipenuhi paparazi, you know, kamu kan bintang model terkenal," ucap Bella memulai lagi percakapan.
Willian tampak tak terusik dengan pertanyaan Bella. Ia santai menjawab.
"Biasanya begitu, tak tahu apa yang membuat mereka hilang hari ini. Mungkin karena salju, siapa yang tahu. Lagian lebih baik tidak ada mereka."
"Ya," gumam Bella.
"Apa yang akan kamu lakukan di Manchester? Maaf kalau aku terdengar lancang."
Bella hampir tidak siap dengan pertanyaan itu. Bukan karena tak tahu harus menjawab apa, lebih kepada harus memulai dari mana dan apakah ini bisa diterima William.
Tapi untuk yang kedua mungkin William bisa menerimanya, toh saat ini William sudah mengundangnya. Tak mungkin William tak tahu siapa Bella. Apalagi pertemuan mereka tiga bilan lalu di Milan cukup membuat William tahu pekerjaan Bella.
"Ya, sebetulnya aku tak cukup berani untuk ke sana, you know, terkadang masa lalu bisa begitu tidak menyenangkan untuk dikunjungi," jawab Bella sambil menyeruput anggurnya.
"Ya, kalau kamu belum siap untuk menjawabnya juga tidak masalah. Aku menghormati itu. Lagi pula semakin lama kita bersama semakin baik."
William kini tidak menutup-nutupi hasratnya lagi. Mungkin pengaruh anggur atau, ah, tak masalah.
Keduanya juga tak berusaha menolak saat simpul-simpul mereka membuka dan bertautan.
Yang kemudian diingat Bella adalah tangannya mencengkram punggung William disusul kebahagiaan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Padahal sudah ratusan kali ia melakukan ini. Namun bersama William, semunya terasa berbeda.
Sejenak Bella bisa melupakan segalanya. Manchester, perkebunan di Asia, salju di jalanan London, dan jadwal pengambilan gambarnya yang padat di Eropa sebulan ke depan.
William mampu menenggelamkan itu semua dengan rengkuhan, pagutan, dan peluh yang hangat.
***
Ada ratusan, mungkin ribuan kalong yang terbang di atas sana. Semuanya mengarah ke barat laut. Kepakan sayap mereka memantul-mantul di atas telaga. Bergelombang seperti gambar di televisi rusak.
Bella menikmati pemandangan senja itu. Matahari tak lagi pongah dengan cahayanya. Bella bisa dengan leluasa menatap migrasi kalong yang sudah terjadi saban senja seminggu ini. Ayah Bella mengatakan, sebelum subuh, kalong itu kembali ke gua-guanya, atau pohon-pohon tinggi di belantara timur dan tenggara.
Ada kecemburuan yang menyeruak masuk saat Bella memandangi mereka. Nyaman rasanya dapat bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan mudahnya. Terbang dan melihat banyak hal dan tempat dari atas sana.
Kaki-kaki Bella yang menggantung menendang-nendang permukaan air di telaga. Sebelum tiba-tiba ia merasakan hujan deras jatuh. Bertubi-tubi dan tak memberinya ampun.
Anehnya langit tidak menumpahkan air, melainkan benda berbau menjijikkan. Lengket dan berair, membuat lambung Bella bergejolak.
Ia kemudian sadar jutaan kalong di atas sana sedang membuang kotoran. Jatuhnya kemudian bergulung-gulung, menyatu membentuk bulatan-bulatan sebesar tiga kali ukuran bola kaki. Menghujam permukaan telaga tanpa ampun.
Air beraroma menjijikkan berhamburan ke segela arah. Saat bola kotoran kalong menghantam kepala Bella, ia pun tersadar dari mimpinya.
Napasnya satu-satu dan besar. Ia bisa mengingat detail mimpinya. Biasanya ia langsung lupa bahkan sebelum tarikan napasnya yang pertama selesai.
"Menjijikkan," desisnya.
"Ada apa?" William yang berbaring di sampingnya duduk dan membelai rambut dan wajah Bella yang berkeringat.
"Tidak apa-apa. Aku hanya mimpi buruk," jawab Bella. Tak terbit seleranya untuk membagi cerita dalam mimpinya. Sepertinya William juga enggan bertanya.
"Tak perlu khawatir. Kamu akan segera lupa. Aku juga sering begitu."Kemudian William menciuminya.
Tak ingin ciuman itu meningkat ke level yang lebih mendebarkan, bukannya tidak ingin, tapi suasana hati Bella sedang tak enak, Bella segera mendorong pelan dada William.
"Sebaiknya kita makan siang dulu. Kamu pasti punya sesuatu yang konyol untuk dimakan," potong Bella.
William hanya tersenyum. Mungkin ia menyadari perutnya butuh makanan. Tenaga baru untuk bersenang-senang dengan Bella.
Lelaki itu tersenyum dan membelai, mencium Bella sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Bella menatap punggung telanjang William sebelum akhirnya menghilang, mungkin ke arah dapur.
Bella saja tak ingat kapan mereka berpindah dari ruangan dengan sofa dan guci-guci raksasa saat ia menginjak rumah William beberapa jam lalu ke kamar yang sangat nyaman ini.
Dari jendela atau pintu kaca ia bisa melihat balkon penuh tanaman. Salju bergulung-gulung di sana. Ia tentu tak percaya jika William sempat mengurusi mereka.
Sejenak lamunannya kembali ke soal mimpinya. Sepertinya alam sadarnya mengisyaratkan dirinya lebih lantang. Sesuatu yang ia tutupi rupanya begitu ingin menyeruak. Ia bahkan sangat ingin melupakan semua itu. Namun mimpi tadi betul-betul mengusiknya.
Ia tersadar dari lamunannya saat mendengar William mendesis keras dari satu ruangan di rumah itu.
Kemudian disusul suara seperti spatula atau wajan yang jatuh. Bella kemudian berlari keluar. Mengenakan pakaian dalam seadanya. Buru-buru mengecek apa yang terjadi pada William.
[Lanjut membaca Eps 3]
Comments