Kau Bajingan Sialan!

Pandanganku terpaku pada jejeran foto yang tergantung di dinding. Entah sudah berapa banyak foto yang dijepit di tali-temalinya. Selalu mataku terpaku pada satu foto itu. Foto yang akhirnya berhasil kita buat untuk merayakan gelar mahasiswa kita.

Saat itu aku sangat bahagia, melebihi bahagianya kala pertama akhirnya kita bersatu. Tetapi ketakutanku juga sangat besar, entah apa yang akan kita hadapi saat kebebasan sudah hampir penuh kita genggam.

Tak pernah bosan aku memandangi foto kita, selalu ada sihir yang membuatku terpukau acap melihatnya.

Walau selalu ada satu pertanyaan yang terus saja menyeruak ingin dijawab, namun selalu kutepis, menganggap seolah rasa penasaran itu hanya ilusi. Berimajinasi pun aku tak kuasa.

Aku ingin mempertanyakannya, bukan kepadamu, justru kepada diriku sendiri.

Mengapa?

                                    ***

Momen begini biasanya muncul begitu saja, sangat natural, berjalan apa adanya. Tak ada kaget yang berlebihan. Tak ada peluk yang erat mencengkram, hanya senyuman lebar dan sebuah sikutan kecil.
Peluk, aku selalu ingin memelukmu.

Padahal aku sering berandai seperti apa rasanya kalau pada akhirnya kita berdua bertemu.

Apa yang akan aku lakukan terhadapmu? Apakah akan sangat memalukan, apakah akan sangat ekspresif?

Sebab saat aku begitu ingin, kau tak pernah menyambutnya. Selalu banyak cerita dan kejadian dengan selipan penolakan yang sangat bisa aku raba.

Saat aku betul-betul membutuhkanmu dan kutahu kamu tak mungkin sesibuk itu; di malam-malam dinginku; di sepi hariku, entah mengapa kau tak kunjung hadir.

Batang hidungmu entah di mana, tapi jejakmu, responmu, menuntunku-menyuruhku untuk terus berharap.

Kau tak pernah menolakku!

Kau tak pernah memutuskan apapun yang pernah terjadi di antara kita.

Seperti saat momen ini terjadi lagi, aku begitu bahagia. Walau hanya senyuman dan sikutan kecil aku begitu terpuaskan.

Kebetulan aku sedang bersama temanku yang tengah dirundung duka. Temanku itu bercerita panjang lebar, dan sialnya kau begitu menikmati cerita itu. Aku tahu sayang, sejujurnya kamu tak menikmati cerita itu. Kau hanya memberiku waktu, jatah untuk candu.

Dan kamu tahu betul keinginanku, aku membutuhkan apapun darimu, senyumanmu, panas tubuhmu, aroma tubuhmu, sentuhanmu. Kamu seolah memberiku kesempatan untuk menikmatinya seperti pemadat. Cepat dan kilat.

Kamu memang bajingan sialan.

Begitupun aku menikmati caramu menikmati cerita temanku. Kau mendekatkan kursi kita berdua, melingkarkan tanganmu di pundakku, menghembuskan asap rokokmu ke leherku, menyikutku.

Aku ingin menangis saat itu juga, menjatuhkan diri ke dalam pelukanmu. Kamu begitu manis di momen-momen begitu.

Apa harus semesta mengatur pertemuan tak terencana seperti ini agar kau selalu bisa memberiku rasa. Agar aku tak melulu menatap fotomu di kamarku. Kau tahu bagaimana rasanya menanti dalam ketidakpastian, saat ingin menyerah namun harapan selalu kau tebar.

Kau bajingan sialan.

Bagaimanapun momentum seperti ini tidak akan lama. Kamu akan kembali tenggelam dalam lipatan ceritamu, dan aku hanya kembali pada pusara pengharapan atasmu. Menanti saat-saat seperti ini terulang lagi. Menanti saat semesta mengatur pertemuan kita. Menanti saat kau begitu baik memberiku waktu untuk menikmatimu.

Walau hanya sebatas rangkulan di bahu, tiupan asap rokok di leher, senyuman, dan sikutan kecil.

                                    ***

Pertanyaan ini kerap menuntut jawab.

Mengapa?

Mengapa aku bisa jatuh cinta padamu, hei kau bajingan sialan?

Comments

Syah said…
Bagus bgt bg
GOGODOKON said…
Terimakasih, Syahlaini