Ara dan Kembang Gula
Rambut itu kian panjang dan telah menggantung sepunggung. Terakhir kali Ara melihat rambut itu belum lagi menyentuh kuping.
Sudah selama itu pula Ara menunggu kedatangan Ari. Rindunya sebanyak rambut lelakinya diiris tujuh kali per helai kemudian dipangkatkan sejumlah irisan rambutnya. Kemudian ditambahkan dengan irisan rambut Ara yang juga dipangkatkan sama. Sebanyak itulah rindunya, sebanyak itu pula doanya terbang ke nirwana.
Lama keduanya hanya terdiam, saling menatap. Mungkin masing-masing menikmati kehadiran orang di depannya. Atau mencari-cari titik mana yang mampu mencairkan kerinduan. Terpisah dan tak saling merasakan panas tubuh sekian lama sepertinya membuat Ara dan Ari membutuhkan sedikit waktu ekstra untuk menerima pertemuan mereka.
Berhasil mendapatkan sesuatu yang didamba terkadang membuatmu megap. Paru-parumu kembang kempis menyuplai oksigen ke seluruh selmu. Menyadarkan inti-inti tubuhmu kalau ini memang kenyataan. Bukan ilusi. Menuntunmu bergerak dan melepaskan semua inginmu.
Ara selesai duluan. Inti Ara sudah mengkondensasi semua ingin dan maunya. Dipeluknya tubuh Ari erat-erat. Dihisapnya semua aroma yang menguar dari leher pujaannya.
Ara membantu Ari mengkondensasi ingin dan maunya. Sehingga Ari pun erat membalas pelukan Ara.
Kumohon Tuhan, inilah ujung dari doa tentang kami.
***
Perjalanan dari bandara ke kediaman Ara dihabiskan keduanya dengan bertukar cerita. Sesekali mereka tertawa saat mengulang beberapa percakapan telepon atau webcam atau alasan Ari yang enggan berkirim pesan. Sehingga komunikasi mereka selama ini hanya terbatas via suara atau bersitatap langsung dari depan kamera ponsel. Dari tinggal satu kota hingga akhirnya terpisah.
Terkadang keduanya juga tersenyum getir saat pembahasan mereka menyinggung hilangnya kabar Ari berminggu-minggu belakangan yang membuat Ara kelabakan berdoa.
Ara bahkan tak sadar telah mengulang doa yang sama berkali-kali dalam satu katupan tangan.
Ari kemudian membelai lembut rambut Ara. Mencoba menenangkan pujaan hatinya dan kembali membantu inti Ara untuk mengkondenusasi alam bawah sadarnya kalau Ari, dirinya, pujaan hatinya telah datang dan sedang membelai rambutnya.
"Panjangin juga dong rambut kamu, Ra. Enggak lama, kok. Tiga tahunan bakal seperti rambutku."
Ara hanya tersenyum.
Tetapi hatinya kembali melafalkan satu doa. Doa yang paling sering dirapalkannya.
Pandangannya kini fokus pada jalanan di depan. Menyetir mobil, membawa kekasihnya pulang ke rumahnya.
Pulang, kata itu seolah membuat dadanya sesak.
Ia menatap wajah Ari sebentar dan menyuguhinya dengan senyum penuh pikat.
***
Ara tak kuasa melihat keindahan tepat di atas tubuhnya. Keindahan yang seharusnya memang ia bawa pulang. Benar-benar pulang. Bukan sekadar bertandang.
Butiran bening jatuh dari satu sudut matanya. Menetes pelan ke tangan Ari yang menopang bahu dan kepala Ara. Keindahan itu perlahan menyentuh bibirnya. Ara menikmati manisnya keindahan itu, pecahlah tangisnya, ia tak lagi mampu dibendung.
Keindahan yang ia genggam itu ibarat kembang gula; besar; manis; namun lembek. Lekas pula ia habis.
Ari melepas pelukannya dan berbaring di sebelah Ara. Dituntuntunnya kepala Ara untuk rebah di dadanya. Tempat yang paling disukai Ara sebab di situ ia bisa mendengar detak jantung Ari. Dekat pula dengan hati pujaannya.
Di atas dadanya, Ara seperti mengemut kembang gula tepat di bidang yang paling kembang.
Lezat namun lekas habis. Aku takut sayang.
"Tidak bisakah kamu di sini saja, Ri. Kita bisa menjalani ini bersama," bisik Ara setengah mengeluh.
"Sayangku, besar inginku untuk terus bersamamu. Jarak kutebas agar bisa bertemu kamu segera. Tapi untuk sampai ke tujuan kita butuh proses yang lebih lama. Tak bisa sekadar melipat waktu, memangkas jarak, atau berlari pergi. Ada banyak yang mengikat kakiku. Pun kakimu."
Ara kembali melafalkan doa tertingginya dalam hati. Ia seperti bisa meraba arah itu.
Berkali-kali Ara mencium dada lelakinya. Memeluk tubuh Ari kian kencang. Tangisnya kian memuncak walau yang terdengar hanyalah isakan pelan.
"Jikalau disuruh memilih dengan siapa akan kuhabiskan sisa hidupku, sudah pasti itu kamu, Ara."
Hati Ara terus menasbihkan doanya. Memelas yang Maha Membolak-balikkan hati untuk membuat lelakinya diam. Ia masih percaya jika lelakinya tak akan datang hanya merusak hubungan mereka selama ini.
"Seperti yang aku bilang ada banyak yang mengikat kedua kaki kita, sayangku. Aku akan tetap mengunjungimu selalu. Tak pernah kulupakan engkau barang sekejap pun."
Cukup Ari, sayangku cukup.
Doanya kian kencang melayang. Dada Ari bergetar hebat. Ada ledakan tumpukan ketakutan yang banyak di dalam sana. Ledakan dahsyat.
"Maafkan aku sayang, inilah mengapa aku sempatkan untuk datang. Padahal sudah berminggu-minggu kita tak saling menyapa. Aku ingin membuatmu tenang. Memberimu alasan."
Sayangku hentikan. Oh, Tuhanku. Kembang gulaku menipis. Cukup sayang, diamlah.
"Sebab setelah ini mungkin akan semakin..."
Ari diamlah!!!
"...panjang jarak yang harus kita pangkas. Akan semakin banyak waktu yang harus kita tempuh. Akan semakin banyak doa yang harus kita lafal."
Oh Tuhanku, ini dia. Inilah ujung itu. Antiklimaks dari doa yang sering kupinta.. paling kumohon untuk tak kau kabulkan duhai Yang Maha Pemurah.
"Tiga bulan lagi aku akan menikahi gadisku. Kau mungkin tahu dia siapa dan alasanku untuk segera melakukannya. Orangtuaku kian senja duhai kekasihku. Aku tak mungkin berkilah lagi."
Inilah ujung doa-doaku. Inilah ujungnya. Kempis sudah kembang gulaku.
"Aku akan tetap mengunjungimu. Menghubungimu. Kamulah cintaku, Ara."
Hanya isakan Ara yang terdengar disela decitan ciumannya di dada Ari. Pelukannya terlihat erat tapi lemah tak berdaya. Keindahan itu menguap sudah.
Seberapa kuat pun janji Ari, Ara tak yakin lelakinya akan pulang. Untuk bertandang pun ia ragu Ari akan melakukannya. Lebih dari itu, Ara tak akan sanggup mengundangnya.
Ara mengecap sisa-sisa manis di kembang gulanya biarpun luka di rongga mulutnya menganga. Menghabiskan malamnya mengencani kembang gula yang mengempis.
Ara melafalkan doa terakhir. Doa yang ia simpan jika doa yang paling sering ia lafalkan tadi tidak terkabul. Doa yang sebisa mungkin tak ia panjatkan.
Tuhanku Yang Maha Pemurah. Akulah hambaMu yang kecil. Bersandar tulus pada baris-baris doa yang kupanjatkan selama ini. Memohon padaMu untuk membawa pulang lelakiku. Dan tak lagi bertandang.
Rupanya Engkau menjawab doaku. Ia memang pulang, bukan untuk bertandang. Memulangi aku yang sudah lama tak ia suai
sekaligus memulangkan cintanya untukku. Mencoba memberiku pegangan untuk bertahan.
Tuhanku. Inilah doa terakhirku tentang kami. Dengan segala kerendahan hati aku meminta duhai Maha Pembolak-balik hati manusia.
Buatlah ia bertahan dengan gadisnya. Buatlah mereka berjodoh. Terdengar klise memang di telinga kami manusia yang sombong ini bila kukatakan jika ia bahagia, aku pun turut merasakannya.
Tapi Engkau tahu isi hatiku,Tuhan.
Melapasnya takkan membuatku kehilangan cinta.
Aku bersandar padaMu, Tuhanku. Selalu. Duhai pemilik cinta yang tiada habis.
Comments