Malaikat Belum Tentu Tahu


“Selamat datang teman-teman…,” suara Ali, temanku yang menjadi pemandu malam ini terdengar sayup ke ruangan rias.

Seharusnya malam ini akan menjadi salah satu malam yang patut dikenang. Malam indah yang membuatku merasa memilikimu seutuhnya. Tapi saat kamu mengundang dia untuk turut hadir, aku takut. Aku takut akan kehilanganmu. Walau itu sepersekian detik saja, aku takut. Jika itu terjadi, apa bedanya dengan kehilanganmu, perhatian, terlebih fisikmu, aku pun takut. Hal itu seolah membuat banyangan akan kehilangan cintamu kian nyata. Pun di detik-detik kita akan bersatu.

“Langsung saja kita panggil…,”

Sebelum gemuruh tepukan tangan itu membuyarkan segalanya, aku ingin memastikan cinta itu masih di sana. Kutatap matamu, kucari binar itu di sana. Kucari pegangan itu di sana. Kucari cinta itu di sana. Aku melihatnya, kutahu ia masih di sana.

”Ayo sayang,” kau gamit tanganku pelan dan kau rangkulkan ke tanganmu.
Kita berdua melangkah ke gemuruh itu.

“The groom and the  bride… Acay and Katie.”

Detik berikutnya yang kurasakan hanyalah buncahan bahagia. Melangkah dalam gamitanmu membuat diriku terang di tengah riuh ini. Kita lah yang dipersatukan cinta. Kita lah bintang saat ini.

Tak dapat kuidentifikasi satu orang pun di antara tamu yang bertepuk tangan. Ada juga yang bersiul dan berteriak gemas memberikan selamat. Walau aku tahu siapa saja yang hadir, tapi perhatianku tak fokus. Semuanya terlihat menyenangkan dan seragam. Bahagiaku memenuhi setiap jengkal ruangan ini. Hingga kita berdua duduk di kursi di depan panggung mini.

“Talu, go hit the stage!!!”

Ya Tuhan, dia tak sekadar  hadir. Tapi juga berusaha menjadi bulan yang lebih terang dari bintang. Sebegitu besarkah inginnya padamu hingga di jelang penyatuan cinta kita, ia masih berusaha memesonamu. Sayang, tolong genggam erat jemariku. Tolong sentuh aku dengan rasamu. Rasakan cintaku lebih besar dan agung dari cintanya. Ciumlah kesungguhanku. Lengkapi bahagia ini. Usir cemburu ini.

Hatiku menghangat merasakan cintamu
Meleleh melebur menyatukan bahagia
Alangkah beruntung aku mendapatkanmu
Primadona hati tujuan  hidupku

Sentuhan tanganmu hangat hembus nafasmu
Candu yang tak bisa tak mampu kulepaskan
Halo di dirimu lembut menyentuh aku
Rangkuhlah tubuhku buatku melayang

Kekasihku, teruslah hadir di sisiku
Dekap aku, peluk aku sepanjang hidupmu
Karena hanya kamu yang mampu membuatku gila
Malaikat belum tentu tahu, hidupku tanpamu

Pelan saja sayang, jika kau butuh itu
Tak kan kupaksa kau untuk segera berlabuh
Namun kau pun tahu kemana harus pulang
Aku lah rumahmu, aku pelabuhanmu

Kekasihku, teruslah hadir di sisiku
Dekap aku, peluk aku sepanjang hidupmu
Karena hanya kamu yang mampu membuatku gila

Malaikat belum tentu tahu, hidupku tanpamu
Hidupmu tanpaku

Aku terhempas dalam kesunyian. Sendirian. Tak dapat kurasakan angin, tak lagi kudengar riuh tadi. Kesunyian yang membekap dan mebuatku gila. Teriakanku pun tak mampu kudengar. Kekosongan ini benar-benar mencekam. Di mana suara-suara riuh tadi? Di mana bising yang menggemaskan tadi? Di mana buncah kebahagiaan tadi?

Jangan sekarang, kumohon! Jangan di detik yang harusnya mewujud sempurna. Sayangku, kekasihku, jemputlah aku, keluarkan aku dari rongga gelap ini!

Berteriaklah jika perlu, nyalakan matahari bila perlu, tabuhlah semua genderang, agar aku mampu menangkap keberadaanmu. Agar aku tahu aku tak sendirian. Agar aku tahu kau masih milikku.

Sekali ini saja, sekali lagi, mainkanlah semua instrumen yang kau punya agar aku melihat dan mendengarmu.

“What a beautiful performance. Thank you, Talu. It’s the time, we wanna hear Acay and Katie do some speechs, for the last time before you guys becoming one in love. The groom, Acay, would you like to be the first? Alright, Acay everyone!”

Kebahagiaan, apa yang aku tahu soal itu? Di saat aku pikiraku akan bahagia ternyata selapis ketakutan menyaluti dan membuatnya tak bisa genap.

Tetap saja satu rasa tak bisa mengisi satu hati. Rasa-rasa lain akan muncul, bentuk emosi lain bersamaan menggenanginya.

Bila begini, aku berharap agar hati manusia hanya mampu menampung satu rasa saja. Hanya pedih, hanya rindu, hanya senang, hanya sepi, hanya bahagia.

Kadang aku juga berharap agar takdir selalu menuntun rasa bahagia kepada setiap manusia. Sehingga fase-fase rasa manusia hanya akan berujung di sana. Sepanjang atau sesingkat apapun umurnya. Tangisan dulu, lalu penasaran, semangat, cinta, kesedihan, kesal, apapun selanjutnya yang terpenting ujungnya selalu bahagia. Apapun urutannya, bahagia harus selalu menjadi penutup. Dan di saat manusia merasakan satu rasa, ia tak bisa merasakan rasa yang lain selain insting untuk mengubahnya menuju kebahagiaan yang pasti.

Tetapi, aku juga sadar, jika itu tak akan selalu mungkin. Sebab hati adalah gudang dari rasa-rasa. Pelabuhan dari semua emosi. Dan cinta adalah absurdivitas kompleks, atom yang tak habis diuraikan. Maha Rasa.

Tapi, walaupun begitu kupikir kita bisa memilih rasa mana yang kita mau dan berpikir rasa mana yang akan dibagi. Jadi sayangku, berilah aku rasa bahagia itu! Genapilah ketakutanku agar ia sirna! Kumohon.

"Katie, aku mencintaimu. Inilah malam terakhir kita sebagai lajang. Besok, tak akan ada yang berubah saat cinta kita dipersatukan di depan Tuhan, selain realitas bahwa kamu menjadi istriku. Hanya itu yang berubah, sisanya kita tetaplah sama. Terimakasih telah memilihku sebagai temanmu berpetualang di dunia ini. Apapun yang kita temui di depan nanti, kuharap kita berdua mampu menikmatinya. Katie, aku mencintaimu."

Oh, Tuhan, inikah tabuh genderang itu? Inikah instrumen yang kuminta itu? Tapi mengapa rasa rakut ini belum juga hilang?

"Aku menangis mendengar ungkapan cintamu, Sobat. Keren. Sekarang giliranmu, Katie. Hadirin, the bride, Katie!"

Apa yang harus aku koreksi pada tampilan yang sempurna? Terkadang menjadi korektor tak semudah yang dibayangkan. Apalagi bila stereotip yang membaluti objekmu sungguhlah menawan. Bisa buta matamu terhadap noda, bisa tumpul hatimu terhadap luka, bisa tak cermat dirimu melihat cela.

Tapi, mengapa harus melihat cela jika kebaikan yang tersedia masih bisa diraba? Ini soal memilih perkara hidup dan mati. Perkara kebahagiaan.

"Aku tak tahu kapan aku akan bahagia. Aku tak tahu kapan aku akan mati dan kehilangan segalanya. Satu hal yang pasti, aku tahu kelak aku akan mati, dan tak sedikitpun aku tahu apakah kelak aku akan bahagia. Setelah bertemu denganmu, keyakinan itu muncul: aku akan bahagia. Aku meyakini itu, seyakin akan datangnya kematian. Mungkin ini bukanlah ungkapan cinta yang puitis. Aku tak pandai dalam hal itu. Untuk itu aku meminta kesediaan temanku, Talu untuk membantuku merangkai ungkapan cinta. Paling tidak aku punya sedikit referensi sebelum melanjutkan ini. Talu, kumohon kebaikan hatimu untuk membantuku merangkai cinta."

Apa yang kulakukan? Aku membuat bulan itu menjadi purnama. Persetan, inilah satu-satunya kesempatan yang kupunya. Inilah pelengkap agar takut ini hilang. Biarpun kebalikannya juga sangat kentara. Aku berjudi, dan layaknya pejudi ulung, kupikir aku siap untuk menang. Aku bertarung, layaknya kstaria, aku siap untuk kalah. Ayo Talu, kumohon!

" Well, aku bingung mau bilang apa. Harusnya, sih, kamu brief aku tadi, Kat. Aku ucapkan selamat untuk kamu dan Acay. Lemme try, bagiku cinta adalah absurdivitas kompleks. Ia bisa mewujud aneka bentuk, berkadar dalam aneka skala. Walau ada yang bilang cinta itu tidak dapat diukur, tapi bagiku ia takluk pada ukuran-ukuran. Tak ada alat yang mampu mengukurnya, memang. Tak ada hati manusia yang mampu menampung buncahannya sendirian, memang. Tapi hati mampu merasa, memahami dan berpikir kapan harus memperjuangkan cinta atau kapan harus merelakannya. Hati yang luhur mampu membagi dan manjatah cinta pada setiap entitas. Cinta sejati bukan merusak, tapi menyempurnakan. Jangan takut, Katie, kamu memilih orang yang tepat. Dan semua mendukungmu, mendukung cinta kalian. Hanya kalian yang tahu apa yang terjadi. Cinta kalian, kalian lah yang tahu. Malaikat pun belum tentu tahu. Kupikir kamu tak butuh kata-kata puitis untuk menunjukkan cintamu pada Acay. Selepas ini, di penutup kalimatku. Melangkahlah dengan lega menuju penyatuan cinta kalian. Sekali lagi aku ucapkan selamat. Selamat bercinta!"

Comments