#13 Tentang Rasa: Lepaskan! Masih Banyak Ikan di Lautan
Jikalau cinta memang soal hubungan timbal balik, maka seharusnya hubungan ini diperjuangkan bersama. Jikalau cinta memang soal saling melengkapi, maka seharusnya kita bisa menggenapi. Jikalau cinta memang soal pengorbanan, maka seharusnya sendiri bukanlah ujungnya. Jikalau cinta memang soal keihklasan, maka seharusnya tak ada tempat bagi perhitungan.
Aku pernah mendengar jika ada
orang yang miskin karena cinta. Ketika cinta yang katanya diperjuangkan
bersama, nyatanya hanya berat sepihak. Hanya rongrongan dan gerogotan dari
pihak yang lain. Cinta mereka memusnahkan sepihak. Setelah musnah, pihak yang
diuntungkan berlalu meninggalkan. Hanya pilu yang menjadi ujungnya.
Tentu ini menambah keresahanku,
bagaimana jika hal itu juga bisa menimpaku. Apalagi beberapa tahun belakangan yang
datang selalu begitu. Caranya berbeda tetapi coraknya kemudian serupa. Dari yang
kecil-kecil, ringan-ringan, sampai membuat pusing tujuh keliling. Jika hanya
soal membayar tagihan makanan ata minuman, aku tiada masalah. Namun ini sudah
merembet ke hal-hal lain. Batasan dalam hubungan ini sudah tidak jelas. Selalu meminta
kemudian hilang, kemudian datang jika meminta lagi.
Brigitta, sahabatku, akhirnya memberi
wanti-wanti yang kupikir masuk akal. Biasanya Brigitta selalu berpikiran
positif soal hal ini. Kami memang termasuk orang yang santai kalau harus
membayar tagihan jajan pasangan. Kebanyakan orang juga begitu, apalagi hal ini
terkesan lumrah di negeri ini. namun untuk sebagian orang tentu saja berbeda. Tagihan
jajan dibayar masing-masing.
Namun setelah munculnya
permintaan-permintaan lain yang cenderung lebih besar dan memberatkan, tentu
ini perlu dibahas.
Brigitta yang tengah menyantap
makan malamnya sampai berhenti dan memutar kedua bola matanya.
“Udah, deh,
lepaskan saja orang yang seperti itu. masih banyak ikan di lautan.”
“Aku juga berpikiran sama, tapi
aku masih cinta dia.”
“Jangan mau dibuat lemah oleh
perasaanmu. Terkadang yang kamu anggap cinta itu justru bom waktu. Nah, sebelum
bom itu meledak di tanganmu, lepaskan. Atau kamu akan lebih rugi dan menderita
lagi, Tri.”
“Bagaimana aku bisa tahu kalau
apa yang aku lakukan ini benar?”
“Jika kamu pada akhirnya tenang,
maka itu benar. Kebenaran sering terasa pahit, namun kita dibuat takut oleh
perasaan itu. Terlebih takut kehilangan perasaan yang kita piker itu cinta. Cinta
akan selalu memberi penguatan. Seberapa pelik pun masalah yang mendera cintamu,
kamu seharunya bisa mengidentifikasinya. Jangan biarkan logikamu tumpul hanya
karena derasnya pergulatan batinmu.”
“Kamu yakin, pertanda itu akan
selalu ada?”
“Iya, Tri. Sikutan semesta. Aku sangat yakin bahwa dalam hubungan dengan
manusia, juga pasangan, akan selalu muncul sikutan semesta yang apabila kita
mau mendengarkan, merasakan, mencari, kita akan mendengarnya, merasakannya, dan
menemukannya.”
“Tetapi aku tak apa selalu
memberi untuk cinta!”
“Aku juga tak masalah selalu
memberi untuk cinta. karena kalau benar-benar cinta, materil dan immaterial yang
kau beri tak akan membuatmu merasa kekurangan. Kalau kamu merasa keberatan dengan segala pengorbananmu, pemberianmu,
mungkin itu adalah sikutan semesta yang kau tunggu.”
“Aku takut! Aku tahu jika bisa
memberi walau tanpa cinta. Namun cinta berarti memberi…”
“Jangan lupakan kebahagiaanmu,
Tria. Tak peduli dengan siapapun kamu bersanding jangan lupakan kebahagiaanmu. Tak
peduli siapapun yang akan menghormati atau menghinamu jangan lupakan
kebahagiaanmu. Jika kebahagiaan itu masih saja tak terwujud, dan kamu sudah
melakukan segala upaya, lepaskanlah. Cari kebahagiaanmu. Masih banyak ikan di
lautan.”
Comments