Biarlah Rahasia Menjadi Rahasia


“Kalau saja kondisinya berbeda, aku sangat mau menjadi pasangannya. Hanya saja itu tidak mungkin. Aku tidak bisa menjadi demikian. Sama halnya dengan dia, tak bisa menjadi seperti aku."

“Aku tahu ini tidak bisa dipaksakan. Tapi apa mungkin kamu berpikir dahulu. Mana tahu keputusanmu berubah. Dia benar-benar mencintaimu. Aku tidak pernah melihat dia seperti ini dalam enam tahun terakhir.”

“Aku mencintai dia dengan cara yang berbeda. Kalau kau bermaksud menanyakan apakah aku tidak punya rasa sedikit pun terhadapnya. Aku akui, setelah interaksi kami setahun ini, aku mulai bergantung padanya. Aku selalu mencarinya, menantikan kedatangannya, menunggu cerita-ceritanya. Tetapi aku tidak bisa menjadi pasangannya. Aku berusaha menyeret perasaanku dan efek yang ditimbulkan dari interaksi kami ke ranah yang lebih biasa. Sama seperti terhadap kalian, teman-temanku. Tapi kuakui perlakuanku kepadanya lebih spesial. Karena dia memang spesial.”

“Memang seperti apa pasangan yang kau cari? Apa dia tidak masuk kriteriamu?”

“Dia adalah pasangan yang sempurna. Aku belum pernah bertemu dengan orang seperti dia selama ini.”

“Lantas apa lagi yang kau cari? Aku juga dengar kalian berdua saling mendukung satu sama lain. Aku bisa melihat cinta jelas terpancar dari mata kalian berdua. Terutama dia. Aku tidak ingin melihat dia bersedih.”

“Aku juga tidak ingin melihat dia bersedih.”

“Enam tahun lalu, ia pernah dirundung duka. Ia dekat dengan seseorang. Mereka bergaul dengan baik. Hampir setiap saat bersama. Hingga dia tidak dapat mengidentifikasi apa yang ia rasakan. Karena semua berjalan begitu biasa. Ia juga tidak berpikir ke arah sana. Ia hanya menjalani saja. Sampai akhirnya seseorang itu pergi. Dan ia baru menyadari kalau ia jatuh cinta kemudian. Jika ia tahu ia mungkin akan segera mengungkapkan perasaannya.”

“Jadi dia belum nembak?”

“Sudah kubilang, dia tidak tahu tengah jatuh cinta. Sejak saat itu dia sangat vokal kalau sudah soal cinta. Jika dia suka dia akan bilang. Tapi siapa yang tahu cinta datangnya kapan. Baru kali ini, denganmu, dia benar-benar kembali merasakan itu.”

“Kalau ujung-ujungnya bersedih, kupikir lebih baik dia tidak tahu kalau dia jatuh cinta. Ini terkait pengalaman dia itu.”

“Memang ada yang bilang tahu lebih terkadang tak menyenangkan.”

“Aku masih heran mengapa dia bisa jatuh cinta kepadaku. Padahal yang aku tahu saja ada beberapa orang yang datang kepadanya dan orang-orang itu lebih rupawan, lebih berpendidikan, dan lebih berharta.”

“Setelah kamu bertanya demikian aku juga berpikir mengapa dia bisa jatuh cinta kepada orang yang masih melihat status begitu sebagai patokan ideal, jangan tersinggung, sepertimu...”

“Maksudmu?”

“Cinta tidak melihat itu!”

“Itu namanya cinta buta. Hidup ini harus logis.”

“Kita sering menganggap cinta tak patuh pada hitungan-hitungan akal. Padahal, menurutku, cinta justru yang paling logis. Walau caranya kadang tak terduga.”

“Sudahlah, terkadang kalian sangat mirip. Pandai betul berkata-kata.”

“Apa kau pernah merindukannya?”

“Apa dia menyuruhmu untuk bertanya ini?”

“Aku datang atas kemauanku sendiri. Aku tak mau ikut campur sebetulnya, tapi sebagai teman yang jadi tempat curhat kalian berdua, aku merasa harus bertanya untuk objektif.”

“Tentu saja. Kalau kami tak berjumpa aku merasa ada yang kurang. Padahal terkadang dia bisa jadi sangat menyebalkan. Di malam hari aku disuruh pakai jaket tebal, dilarang judi online, dilarang kerja lama-lama, dilarang makan nasi goreng setiap malam. Omelannya justru bikin kangen.”

“Jadi apalagi?  Mengapa kau tak mau menerima cintanya?”

“Aku tak akan memberikannya kebahagiaan semu. Dia pantas mendapatkan kebahagiaan asli.”

“Baginya, kamu adalah kebahagiaan asli itu. Yang sejati.”

“Kau belum mengerti. Aku tidak bisa. Kami tidak bisa bersama.”

“Kamu percaya, kan, kalau cinta itu bisa kepada siapa saja?”

“Aku bahkan percaya kalau cinta itu bisa menembus dimensi lain. Ini bukan soal begitu. Tetapi aku sadar kami memang tidak bisa bersama.”

“Katakan dengan tegas mengapa!”

“Ini soal berpasangan, bukan soal dia saja tapi soal aku juga. Dia sangat mungkin untuk dicintai, aku akan sangat mudah untuk menerima dia apa adanya. Jika seandainya kami berpasanganpun, aku tak akan peduli dicap mata duitan oleh orang. Aku bahkan akan menikahi dia kalau dia perempuan.”

“Aku mengerti sekarang. Karena itu. Aku minta maaf karena hanya melihat ini dari kaca mata dia saja. Sebabnya tak lain karena kalian sangat menyatu.”

“Aku mencintai dia dengan cara yang berbeda. Dan aku tidak mencintai dia seperti itu.”

“Aku tak sanggup mengatakan ini kepada dia. Aku benar-benar tak sanggup.”

“Maka jangan beritahu dia. Sebab sangat menyakitkan mengetahui kenyataan bahwa tidak bisa mendapatkan apa yang dimaui. Dia akan tahu tanpa perlu diberi tahu begitu.”

“Tapi tetap dia akan bersedih. Dan kupikir kau pun...”

“Aku tak ingin bilang aku adalah orang yang paling bersedih. Tetapi aku tidak menyukai kenyataan bahwa aku menyukai dia. Menyukai orang yang tak bisa kucintai.”

“Aku minta maaf.”

“Biarkanlah semesta mengatur. Soal kami, pada akhirnya akan saling menyampaikan. Tapi bukan seperti ini. Pembicaraan ini cukup antara kita saja. Biarlah rahasia ini menjadi rahasia.”

"Sampai akhirnya diungkap oleh semesta."

Comments