#13 Tentang Rasa: Dalam Diam, Mata Ini Membalas Senyuman Itu
Kau benda langitku.
Kau Matahariku.
Kau Suryaku.
Kau Sun.
Entah panggilan apa lagi yang kusematkan padamu. Tiap jumpa, saban bertukar pesan singkat. Aku tahu aku yang mencintaimu terlebih dahulu, tapi kau juga berjanji mau belajar mencintaiku. Karena janji itu kita bisa lanjut sebagai pasangan.
Kali ini aku tak akan diam saja. Cinta yang kurasakan padamu akan kuperjuangkan seterusnya. Sampai aku benar-benar yakin kita bisa bersatu atau aku benar-benar yakin kita harus berpisah. Aku tak ingin pengalaman cintaku di masa silam terulang lagi. Aku melepasnya karena aku kerepotan menata rasa. Dan berpikir melepasnya adalah jalan keluar yang terbaik.
Memang, pada akhirnya aku bisa melupakannya. Tapi, itu setelah bertahun-tahun dilanda penyesalan dan kesepian yang seperti tiada ujung. Bertahun-tahun pula aku melatih diri untuk bisa melanjutkan hidup tanpanya. Saat itulah aku belajar melepaskan.
Tapi, aku belum mau melepaskanmu. Semua kejadian dua minggu terakhir ini, belum pantas untuk kujadikan alasan berpaling. Semua ragu yang kerap muncul masih bisa kulibas. Semua kesal dan amarah yang tumpang-tindih masih bisa kuseka. Aku hanya beranggapan kau sibuk atau kau sedang ingin sendiri, atau yang lebih filosofis: kau tengah menimbang-nimbang hubungan kita.
Biar kubantu kau menimbang hubungan kita ini dengan pengingat mengapa aku bisa jatuh cinta padamu. Siang itu, kau pulang dari aktivitas utamamu. Siang hari dan mukamu merah karena terpapar panas matahari. Kau datang ke tempat temanku untuk berteduh dan kebetulan aku di situ. Kau masih memarkir motor aku sudah silau akan pesonamu. Belum lagi kubahas senyumanmu yang akhirnya benar-benar meruntuhkan dinding tebal di hatiku. Rasa itu, getaran itu, sesuatu yang kusebut cinta, pada akhirnya kurasakan kembali setelah bertahun-tahun hilang.
Kau tahu apa lagi yang mengokohkan rasaku padamu? Ialah tutur katamu, bagaimana awalnya kau memperlakukanku, hingga perhatianmu. Paduan semuanya itu membuatku makin yakin cinta yang kurasakan benar. Setahun lebih kita bergaul, satu atau kalau beruntung tiga kali seminggu kita bertemu, memberiku kesempatan untuk mengukur peluangku mengutarakan cinta. Dan setahun lebih juga kau punya waktu untuk akhirnya nyaman denganku dan tak canggung lagi bila bertemu walau berdua saja.
Kau tahu, aku hanya menyukaimu selama beberapa detik. Detik berikutnya rasa sukaku mewujud cinta. Bahkan sebelum aku mendengar suaramu, atau buruknya bahan perbincangamu. Tapi, itu tak mengapa. Toh, kita sering larut dalam diam saat berdua. Atau kalau harus berbicara yang sering kita bahas adalah orang lain sampai kucing liar di pinggir jalan. Begitu pun aku nyaman. Aku tak tahu apakah kau nyaman. Tapi, setahun lebih begitu dan kau tak kunjung hilang adalah pertanda kau juga nyaman.
Mungkin soal keluarga menjadi pertimbanganmu. Tapi hei, bahkan abangmu pun tak masalah dengan hubungan kita. Kau tentu tahu kalau saat kau menghilang menjelang ulang tahunmu, abangmu datang mendekatiku. Kelak saat kita akhirnya bertemu lagi dan dia melihat bagaimana kita berdua saling bersitatap, dia mundur dan merelakan kita berdua. Kau tentu masih ingat bagaimana abangmu mau mengantarmu bertemu aku, mau menjemput ini-itu titipanku kepadamu juga titipanmu kepadaku. Bahkan, abangmu pandai membalas pesanku ketika ponselmu ia pegang saat kau bermain futsal.
Di luar itu semua, aku sudah mengutarakan perasaanku dan kau terima dengan sadar. Apalagi yang kau ragukan? Aku mencoba membuat semua ini lebih mudah untuk kita berdua jalani.
Aku tak meminta selalu bertemu, sekali seminggu cukup atau kalau kamu sedang ingin bersama temanmu atau bahkan pacar perempuanmu aku tak mengapa. Apa pernah kutanyakan alasan untuk semua yang kau lakukan?
Saat kau menghilang seperti sekarang, aku berkali-kali meragu. Benarkah kau mencintaiku? Atau apakah ini saatnya aku melepasmu? Tapi, hati kecilku tidak berkata demikian, sayang. Cintaku luas untukmu. Menyesuaikan maumu.
Raguku hilang saat kuingat mengapa aku bisa jatuh cinta padamu. Soal amarahku, kau tentu lebih tahu. "Hai," saja darimu akan melenyapkannya. Seperti hujan meniadakan panas.
Jika memang kau tengah menimbang-nimbang, kumohon satu hal: pertimbangkan konsistensiku. Dari awal pertemuan kita hingga akhirnya kau bisa mencintaiku. Jika kau lupa semua itu, temui aku. Kita tak perlu terlalu dekat, dari jauh kau senyum dan lihat bagaimana mataku membalas senyumanmu itu.
Comments