#14 Tentang Rasa: Untuk Kehidupan dan Saudara-Saudaranya
Tadinya kupikir sepi bisa datang kapan saja. Saat sendiri menjelang terlelap, atau ketika hari buruk terus-menerus muncul, atau di tengah keramaian yang tak didamba. Tetapi, apakah memang sepi bisa datang kapan saja? Atau justru saat diri ini tak merasa punya orang yang dimengerti?
Saat bangun, entah itu pagi atau di teriknya siang, aku ingin sekali hari berlalu dengan kebahagiaan yang pasti. Aku ingin sekali menikmati matahari terbenam tanpa perlu risau dan takut akan satu hal. Entah kapan terakhir kali aku merasakannya. Juga entah kapan terakhir kali aku tidur dengan nyenyak. Jujur saja aku sudah lupa.
Hidup memang penuh ironi. Tertawa seringnya bukan karena benar-benar lucu. Justru tertawa menjadi sesuatu yang harus dilakukan agar menyatu. Aku lelah memoles segalanya. Aku lelah menata ini dan itu agar terlihat baik-baik saja. Agar mereka betah di sampingku. Padahal aku sedang tidak baik-baik saja. Sungguh susah untuk bisa melakukan sesuatu agar tak usah dinilai oleh sekian mata. Aku sedang tidak baik-baik saja, dan apakah itu harus diubah menjadi harus baik-baik saja.
Bukankah kehidupan tidak bekerja seperti itu? Bukankah kehidupan punya hari-hari buruk? Kita sering bilang, "oh, ini hanya sebuah hari yang buruk." Tapi, ketika sesorang merasakan hari yang buruk atau minggu yang buruk, kita sering mengutukinya dan tak serta-merta menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar. Oh, amat gampang mulut-mulut itu berucap harusnya begini harusnya begitu. Dan tak satupun yang datang dan memegang tanganmu. Tak perlu bilang semuanya baik-baik saja atau akan baik-baik saja.
Sentuhan akan menenangkan. Dari sentuhanlah munculnya pertalian. Terkadang satu sentuhan mewakili sekian kata dan menerjemahkannya kemudian. Alih-alih menyentuh, mulut itu yang lebih dulu digunakan.
Comments