Walau Tanpa Surya

Sumber: pinterest.com


Apakah kau pernah merasa bahwa kau tak bisa melepasnya? Bahwa kau harus memperjuangkan cintamu untuknya karena dia adalah alasan terbesarmu untuk hidup? Bahwa kau akan melakukan apa saja demi membuatnya bahagia? Dan kau juga rela untuk menjadi apapun dan berbuat apapun agar sedih tak lagi mendatanginya? Bahwa kau tak sanggup bernapas saat rindu padanya datang? Bahwa dia adalah semestamu walau dia tak benar-benar ada untukmu? Dan kau berjuang mati-matian mempertahankan hubungan kalian? Lalu, saat sedikit kewarasan muncul di benakmu, kau ingin lepas darinya? Walau pada akhirnya kau tak bisa melakukannya dan kembali lagi padanya.

Lalu, di suatu malam, saat kau terlalu lelah untuk memikirkannya menjelang tidurmu, kau terbangun di pagi hari dengan keyakinan penuh dan kekuatan yang besar untuk melepaskannya. Aku merasakannya, dan Surya yang kunikmati hangatnya kumatikan pagi itu.

Pagiku memang gelap tanpa surya menyinari. Tapi tak membuat megap. Sebab cahaya itu pernah menghilang dan membuatku mengalami musim dingin terburuk di hidupku. Waktu itu, kunyalakan api agar panasnya mewujud ia. Kutabuh genderang agar tak kesepian dan menuntunnya ke arahku. Ia memang muncul dan menghapus musim dingin itu.

Kini, aku sendiri yang mematikan surya itu dan bersiap dengan musim dingin yang lebih buruk. Tetapi, semesta berkata lain. Ada kehangatan baru yang kudapat. Walau tanpa surya. Benar, walau tanpa surya.

Aku berdoa pada semesta agar cinta yang kurasakan berujung bahagia. Aku bersyukur pada semesta karena membiarkanku jatuh cinta dan memberiku kesempatan untuk menikmatinya. Untuk jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Semesta juga berbaik hati menyuguhkanku cinta yang berbalas. Atau seperti itulah yang kurasakan. Dan seratus hari lebih kulalui dengannya sebagai sepasang kekasih.

Sejak melihatnya pertama kali dan langsung jatuh cinta, aku fokus pada cara menyatakannya. Aku menikmati tiap sensasi yang kudapat. Rindu, sedih, kasmaran, kesal, marah, cemburu, bahagia, manja. Apapun episode yang muncul ku hirup bak pemadat. Empat ratus hari lebih sejak jatuh cinta padanya adalah momen-momen yang patut untuk ku kenang. Kubanggakan.

Lalu, mengapa aku melepasnya? Ada banyak momen juga yang membuatku meragu. Aku tak bisa pungkiri jika aku memang mencintainya. Dan tak bisa memilih untuk tak jatuh cinta padanya. Jika tahu akan begini, terkadang muncul pemikiran mengapa dulu aku tak menyimpan perasaanku ini rapat-rapat. Harusnya kukesampingkan ego untuk memilikinya dan cukup memandanginya dari sudut gelap. Tetapi, aku meyakini bahwa seburuk-buruk cinta adalah yang tak terucap. Aku tak benar-benar menganggap bahwa cinta yang tak terucap itu buruk, tetapi, jika disampaikan, terlepas dari diterima atau tidak, berbalas atau tidak, adalah bukti dari keyakinan akan perasaan sendiri. Jika aku tak mempercayai apa yang kurasakan, konon untuk mempercayai hal di luar sana. Untungnya cintaku diterima. Walau dengan catatan ia akan belajar untuk mencintaiku juga.

Lebih dari seratus hari sejak kami memulai cerita bersama ini, aku merasa bahwa ia belum bisa mencintaiku. Walau berkali-kali ia bilang cinta, aku bisa merasakan kepalsuan di situ. Pada tiap percakapan, pada tiap bersitatap, pada tiap cecapan kopi, utamanya pada saat dia menghilang.

Lalu, yang muncul dalam hubungan ini bukan lagi soal merindu atau cemburu. Tetapi, soal meyakinkan diri sendiri apakah harus terus bertahan dan memberinya waktu lebih seperti yang kulakukan selama ini atau menyudahinya saja.

Berkali-kali pemikiran itu datang dan kukembalikan pada semesta. Mengharap sikutan semesta memberiku kesadaran baru sebagai jawaban. Berkali-kali pula yang kurasakan adalah ketidakmampuan untuk melepasnya. Sedingin apapun sikapnya, setidak jujur apapun sentuhannya, selama apapun aku menunggunya. Belum bisa. Aku belum bisa.

Suatu waktu, ia menghilang dan aku mati-matian memunguti jejaknya. Bak anjing pelacak, aku mengendus apa gerangan yang terjadi padanya. Tak sedikitpun kudapatkan alasan hingga akhirnya ia muncul sendiri dengan senyuman dan lesung pipinya.

Suatu waktu yang lain, aku menunggunya berjam-jam dan ia tak memberi kabar apapun. Dengan kesal di ubun-ubun aku berencana menghabiskan malam sendiri dan mendapatinya sedang bersama dengan teman-temannya. Mata kami bersitatap, lalu ia menghampiri dan bilang tidak bisa menemaniku malam itu. Apa susahnya memberi kabar supaya aku tak menghabiskan waktu untuk menunggu.

Di waktu yang lain, aku pernah jauh-jauh ke rumahnya hanya untuk berharap keajaiban, mana tahu ia sedang di teras rumahnya, dan aku bisa memandanginya sebentar kemudian pulang dan kembali menunggunya mengontakku.

Atau soal bagaimana memperlakukan ia saat kami tak sengaja berpapasan. Aku hanya akan tersenyum saat ia bersama teman-temannya. Tak gabung jika tak diajak. Aku akan menyapanya dalam setiap kesempatan walau dengan cara-cara yang hanya kami berdua mengerti agar ia nyaman. Aku kadang penasaran apakah ia akan menyapaku terlebih dahulu jika aku tak melihatnya atau pura-pura tak melihatnya.

Aku tak pernah bertanya alasan dia begitu, alasan ia menghilang, atau alasan kemana saja ia saat tak bersamaku. Hubungan yang kutawarkan bukanlah hubungan penuh kekang. Hanya cukup saling menghargai karena cinta. Kupikir dia hanya hanya menghargaiku dan tidak menambahkan cinta di situ.

Akhirnya, pagi itu, semesta menyikutku untuk melepasnya. Untuk tak perlu lagi berharap pada pertemuan sekali seminggu dengannya. Untuk hidup tanpa surya dengan ketidaktakutan akan gelap.

Aku mencintainya dan akan selalu begitu. Tapi, hubungan ini tak akan berjalan jika aku hanya sendirian. Kulepas dia seperti melepas surya di kala senja. Menyambut malam dengan optimisme, esok, surya akan tetap muncul di kala fajar.

Rupanya, jatuh cinta sejatuh-jatuhnya yang kurasakan tak membuatku mati di musim dinginnya yang buruk. Asal yakin pada apa yang dirasakan dan pada semesta yang diselami. Cinta, sepahit apapun itu adalah pengalaman hidup yang layak dinikmati.

Kamu memang tak bisa memilih kapan dan pada siapa jatuh cinta. Tetapi, sesudahnya kendali ada di tanganmu. Untuk maju atau berhenti dari hubungan itu. Cinta mengenal hitung-hitungan dan ia tak benar-benar buta.

Comments