Queer Talk: Sebelum Soal Nikmat, Seks Itu Harus Aman Dahulu


Dari kejauhan, samar-samar bunyi dentuman lagu dari pengeras suara mulai terdengar. Satu dua warung rokok masih buka, juga beberapa warung nasi masih menerima banyak pelanggan. Malam memang belum larut, dan nantinya warung rokok dan nasi itu akan buka hingga dini hari. Menunggu tempat tujuan saya malam itu untuk tutup. Banyak pelanggan dari sana akan mampir untuk beli rokok atau makan sesudahnya.

Letak tempat yang saya tuju adalah sebuah lapo tuak di Desa Simanondong, ke arah utara Panyabungan. Dari lintas sumatera masuk lagi ke arah Kecamatan Naga Juang. Lokasinya memang cukup jauh dari pusat kota. Namun tepat berada di tengah-tengah desa. Katanya, selain menyediakan tuak, di sana juga mudah bagi pria untuk mendapatkan pelacur, perempuan ataupun waria.

Malam itu saya ditemani seorang teman yang sudah akrab dengan tempat berjuluk Kafe R itu, untuk melihat langsung bagaimana sebuah lapo tuak yang lebih tersohor sebagai area lokalisasi kelas teri.

Saat sampai di Kafe R, hal pertama yang saya amati adalah lapo tuak ini memang tidak seperti lapo-lapo tuak pada umumnya. Perempuan dan waria berdiri di pinggir jalan desa yang berbatu-batu, beberapa yang lainnya menari dikelilingi para lelaki, ada juga yang masuk ke areal kebun kokoa. Mungkin mereka sudah punya janji melakukan sesuatu di tengah kebun yang gelap itu. Mengingatkan pada sebuah tempat serupa menjelang Parapat dari arah Balige.

Kafe R itu sebetulnya dua rumah kakak-beradik, teras dan halaman belakangnya disulap menjadi lapo. Lengkap dengan pondok-pondok tempat pelanggan menikmati minuman tradisional itu.

Saat masuk ke salah satu pondok, kami langsung memesan tuak, walau saya sebetulnya tidak terlalu menyukai minuman ini karena baunya yang amat menyengat. Tak berapa lama datanglah seorang perempuan mengantarkan tuak satu teko.

Lama berselang, saya masih tak mau beranjak dari pondok. Lebih memilih merokok dan minum sambil mengamati orang-orang mabuk yang berjoget di sana. Teman saya sudah tak tahu lagi di mana. Mungkin ke pondok-pondok lain. Ia punya banyak kenalan di sini.

Lalu, datanglah seorang waria yang mengajak ngobrol. Perawakannya tinggi dan langsing. Riasan wajah dan tatanan rambutnya terlihat tidak rapi. Sementara dandanan saya waktu itu biasa saja, jadi dia mungkin tak tahu kalau saya adalah queer. Ia menawarkan dirinya sendiri untuk layanan seksual dengan harga yang amat murah. Hanya 15 ribu rupiah saja. Saya menyanggupi. Lalu diajaklah saya ke areal kebun kokoa yang berada tepat di belakang pondok.

Dia menuntun di depan, amat gelap. Saya nyalakan senter dari ponsel dan untuk membantu penerangan. Lalu kami berhenti di sebuah pokok kelapa yang ditebang. Ia langsung mengangkat mini dress-nya. Saya kaget dan bilang untuk menunggu rokok yang sedang kuhisap habis. Dia setuju.

Kami mengobrol sebentar, dia memperkenalkan nama dan asalnya. Saya tentu tak yakin perkataannya. Satu hal yang saya pelajari jika sedang berada di lapangan adalah jangan mudah percaya kepada omongan orang lain. Konon lagi saat seperti ini.

Saya dibuat kaget saat tiba-tiba seorang lelaki dan waria keluar dari bagian kebun yang lebih jauh. Disusul dua orang lelaki lain, masih muda-muda dan seorang waria yang lain. Saat berpapasan dengan kami, sesama waria itu saling menyapa dalam bahasa khusus, yang sebetulnya saya mengerti. Intinya mereka saling memuji karena laku.

Belum habis rokok saya, seorang lelaki lain dan kali ini perempuan masuk ke arah kebun. Tentu mereka ingin melampiaskan berahi. Saya tak tahu soal dibayar atau tidak. Saat rokok saya habis, barulah saya bingung.

Teman kencan saya itu kembali menaikkan mini dress-nya dan menyuruh saya membuka celana. Tanpa basa-basi. Saya cepat-cepat mencari alasan dan yang keluar dari mulut saya justru pertanyaan apakah dia punya kondom. Dia menjawab tak punya kondom. Saya pun merasa bodoh, dengan bayaran 15 ribu rupiah untuk sekali kencan, mana mungkin dia menyediakan kondom. Saya manfaatkan kesempatan itu untuk menolak melanjutkan kencan dengan alasan tak punya kondom. Tak mau kalau tak pakai kondom.

Teman kencan itu terlihat kesal, namun buru-buru saya sodorkan uang bayarannya. Sikapnyapun terlihat bersahabat kembali. "Di sini enggak pakai kondom. Kalau cocok, langsung main di kebun," katanya (setelah diterjemahkan dari bahasa Mandailing.) Kami pun keluar dari kebun dan berpisah. Saya kembali duduk di pondok.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, saya datang beberapa kali ke sana. Berkenalan dengan satu dua penjaja seks perempuan ataupun waria. Dan saya datang bukan lagi sebagai pelanggan yang mereka prospek, tetapi sebagai teman. Saya pun sudah terbuka soal orientasi seksual yang saya miliki untuk menjalin keakraban.

Dari mereka saya tahu bahwa mereka datang secara sukarela untuk menjajakan seks. Bukan dikoordinir oleh mucikari. Dan bukan hanya waria saja, gay juga banyak yang mencari pasangan seks di sana, bukan untuk dibayar. Hanya senang-senang.

Tentu saja praktik celup tanpa pengaman ini amat berisiko menularkan penyakit seksual. Apalagi lelaki yang datang tak selalu mencari penjaja seks yang sama. Lebih sering gonta-ganti, baik ke perempuan ataupun ke waria dan gay. Kenyataan seperti ini membuat ngeri, bayangkan jika lelaki yang datang adalah suami dari seseorang, dan ia tertular HIV. Maka, ia bisa menulari istrinya. Atau lelaki remaja yang jumlahnya juga banyak, terutama Sabtu malam.

Ini mengingatkan dengan perkataan teman saya awal tahun lalu yang bekerja sebagai perawat di salah satu puskesmas di Panyabungan. Kalau ada gay yang terinfeksi virus HIV hingga jadi aids dan meninggal dunia. Kebetulan juga saya kenal, walau cuma beberapa kali bertemu saat nongkrong sebelum mendiang sakit dan harus menjalani perawatan. Dan dulu, mendiang ini sering main ke Kafe R.

Mungkin maksud teman perawat itu baik. Ia ingin mengingatkan untuk tak lupa main aman saat berhubungan seks. Karena tak mungkin mendiang gay satu itu saja yang terinfeksi HIV di Panyabungan ini. Namun, kami yang ngobrol itu pun mengkritisi teman perawat itu karena membocorkan hal itu kepada kami. Jika ia tak menyebut nama tak masalah. Saya yang sebelumnya tak berasumsi apa-apa kepada mendiang jadi berasumsi lain. Menebak-nebak perilaku seksnya semasa hidup. Kawan itu pun minta maaf karena riwayat medis seseorang adalah ranah privasi.

Saya tak tahu data berapa banyak yang teridentifikasi sebagai Orang Dengan HIV/Aids (ODHA) di Panyabungan dan Mandailingnatal. Namun, setelah bergaul dengan teman-teman LGBTQ+ di sini, terdengar juga kisah-kisah si A yang meninggal dalam keadaan sakit-sakitan setelah pulang merantau dari Jakarta atau Bali atau Batam atau Medan.

Apa yang saya temui di Kafe R menjadi bukti bahwa orang-orang di sini belum melek untuk melakukan seks yang aman. Padahal melakukan seks yang berisiko. Memang, di mana pun harus pakai kondom kalau melakukan seks berisiko agar terhindar dari virus HIV.

Walau penyebaran virus HIV bukan saja dari kontak seksual dengan pengidapnya, namun pakai kondom tetaplah yang paling aman. Tiap cukuran di barber shop pastikan untuk memeriksa apakah pisau cukur yang digunakan adalah yang baru.

Lalu, jangan takut untuk melakukan cek darah untuk melihat apakah kamu bersih dari HIV. Apalagi kalau kamu sudah pernah melalukan seks berisiko. Untuk di Panyabungan ini memang masih banyak yang takut melakukannya karena jika terbukti mengidap HIV, beritanya amat mudah menyebar. Belum lagi stigma yang muncul saat hendak tes HIV. Kota ini amat kecil, semua orang hampir saling kenal, atau paling tidak ada di lingkaran yang itu-itu juga. Hal ini membuat banyak yang takut untuk melakukan tes.

Walaupun terkena HIV, jika ditangani dengan tepat, pengidapnya tetap dapat menjalani hidup dengan produktif. Tentu harus dengan disiplin yang tinggi dan bertanggung jawab.

Ini menjadi pekerjaan rumah semua pihak. Terutama pemerintah daerah. Bukan dengan asik razia sebatas mencokok penjaja seks, tetapi memberi pembinaan dan pendidikan seks. Juga di sekolah-sekolah. Tak usah menutup mata, remaja pun sudah berhubungan seks hari ini. Pendidikan seks mutlak dibutuhkan.

Terkait kampanye pencegahan penularan HIV, dibuatlah tanpa momok menakutkan dan mengedepankan privasi agar orang-orang tak takut untuk tes diri. Agar dapat didata dan ditangani. Karena jika yang dipikirkan hanya memberantas prostitusi, maka itu bukanlah langkah paling tepat. Sebab prostitusi itu seperti cinta monyet anak sekolah, seperti apapun dikekang, ia akan punya celah untuk tersalurkan.

Comments