Yang Tersisa [Eps 1]


Sesaat setelah membuka jendela, aroma pagi, juga tanah yang basah sisa hujan subuh tadi langsung terhirup. Baunya kembali menyadarkanku kalau aku sudah kembali lagi sini. Ke tempat di mana aku menemukan cinta pertamaku dan kehilangannya dengan amat cepat pula. Di tempat di mana mimpi indah yang coba kurangkai seketika runtuh saat dia pergi tanpa pernah menjelaskan. Ironisnya, hari ini aku akan bertemu dia.

Setelah bertukar cerita dengan ibu dan kedua adikku, aku langsung pamit untuk mengambil mobil ibu yang dititipkan di rumah sepupuku, Kian. Dua hari lalu, ibu meminta tolong agar mobilnya dibawa ke bengkel. Jarak rumah kami tak jauh, aku berjalan kaki dan sesekali menyapa tetangga dan warga kampung lain yang sudah lama tak kujumpai. Saat Minggu begini, hari seolah dimulai dengan cepat di kampungku. Anak-anak berkumpul bersama teman sebayanya untuk lari pagi. Dan para remaja menggunakan alasan lari pagi ini untuk mendekati pujaannya atau justru bermesraan.

Cinta remaja memang tak bisa dibendung. Seajaib apapun cara yang kau punya untuk melarangnya, dua sejoli itu akan tetap punya cara untuk memadu kasih. Bukan cinta remaja namanya bila tak tahu celah.

Melihat bocah-bocah ini, aku jadi teringat pertemuan pertamaku dengannya sepuluh tahun lalu. Waktu itu, aku dan Kian berlomba untuk lebih dulu sampai di warung Bang Al, tongkrongan favorit kami, juga lokasi paling berdosa, sebab banyak anak-anak yang belajar merokok di warung ini.

Aku berhasil mengalahkan Kian untuk kali pertama. Tujuh kali sebelumnya selalu ia yang sampai terlebih dahulu. Sebagai imbalannya, aku bebas jajan apa saja di warung, Kian yang traktir.

Sambil terengah-engah, Kian menyodorkan uang. Kubeli minuman, pisang goreng, aneka kue dan rokok. Saat hendak membayar, tak kudapati Bang Al, atau istrinya. Justru orang lain yang tak kukenal. Mungkin karena masih baru, jadi dia butuh waktu lebih lama. Wajahnya merah padam di balik tumpukan roti dan aneka camilan yang dipajang di warung.

Dia mungkin seumuranku atau lebih tua, paling tidak seumuran dengan Kian. Perawakannya masih sma. Rambutnya ikal, kalau dibiarkan tumbuh mungkin lebih keriting lagi. Setelah aku mendapatkan uang kembalian, segera kuhampiri Kian. Dan kami larut dalam perbincangan yang tentu saja sudah tak kuingat tentang apa. Yang pasti, soal membanggakan diriku yang akhirnya bisa mengalahkannya, tentu masuk daftar bahan pembicaraan.


                                 ***

Kian sudah berdiri di depan rumahnya saat aku memasuki gang buntu itu. Dari jauh, ia sudah tertawa sambil menggendong Nisa, anak keduanya yang belum pernah kujumpai. Sebab, Nisa lahir bulan lalu dan aku terakhir pulang dua tahun lalu saat anak pertama Kian dan istrinya lahir.
"Si bodat tambah semok, aja, bah!" Sambut Kian.
"Cakap kau! Ada anak kau, babi!"
"Kau, pun, cakap kotor!"
"Sudahlah, sini kugendong dulu ponakan baru ini. Besar jangan jadi cabe-cabean, ya!" Aku langsung menggendong Nisa.
"Cakap, kau. Tulang macam apa pula yang bilang berenya cabe-cabean."
"Tak ada miripnya sama kau, mungkin mamaknya selingkuh, ini." Cerocosku sekenanya. Bagi kami, tak ada masalah dengan pembicaraan seperti itu. Sambil masuk ke dalam rumah, Kian juga memanggil istrinya.
"Dik, Akil sudah datang, ini." Iparku pun menghampiri juga Rizal, keponakan pertamaku.

Setelah melepas rindu sebentar, aku juga langsung pamit.
"Kau yakin pergi ke sana, Kil?" Tanya Kian.
"Aku juga ga yakin, bang. Tapi, begitu dengar, aku langsung mau pulang."
Kian hanya manggut-manggut dan menyilakanku pergi. Mobil ibu kukendarai menjauh dari rumah Kian, terus hingga keluar kampung ini.

                             ***

Sejak pertemuan singkat dengannya pagi itu di warung Bang Al, aku semakin penasaran dengan sosoknya. Di hari itu aku berkali-kali jajan ke warug Bang Al, tapi dia tak terlihat lagi. Lalu, pada malam hari, aku mau merokok dan mampir lagi ke warung Bang Al, semesta memberi kesempatan bagiku untuk melihatnya lagi.

Kesempatan itu tak kusia-siakan. Aku memberanikan diri berbincang dengannya. Walau sebatas basa-basi, tapi aku akhirnya tahu namanya. Juga warna bola matanya. Nama yang nantinya akan mati-matian kukutuki, juga bola mata yang nantinya mati-matian kurindukan.

                              ***

Di sepanjang perjalanan, berkali-kali aku harus menata perasaan. Juga ekspresi apa yang nantinya akan kutunjukkan. Bukan soal aku belum bisa melanjutkan hidup. Sepuluh tahun berlalu dan aku bisa melaluinya, dan beberapa kali menjalin hubungan dengan orang lain, apa lagi namanya kalau bukan sudah move on. Tetapi, saat menerima panggilan itu minggu lalu, aku seperti terlempar ke saat-saat bahagia bersamanya dan tangis saat dia pergi begitu saja.

Dan aku pun sampai di rumah yang aku tuju itu. Aku keluar dari mobil dan berjalan pelan ke arah rumah. Kalau ada yang memperhatikanku, mungkin saja orang tersebut melihat jelas kebimbanganku ini. Aku menarik napas panjang, mencoba mencium segala aroma yang bisa dihidu di depan rumah itu, berharap aroma basah hujan menjelang subuh tadi bisa tercium, hanya agar aku bisa sedikit lebih tenang. Tapi, toh, aku tetap mengetuk pagar rumah itu. Bersiap saja dengan segala kemungkinan yang ada.



Comments