Abu [Eps 5]



Sesaat setelah turun dari minibus, Doli dan kekasihnya langsung disambut oleh Ishak. Tangis yang sejak tadi malam dibendung Doli akhirnya pecah di pelukan Ishak. Dari samping, Mia menyeka air matanya yang juga tumpah ruah. Selesai berpelukan, Ishak menyeret dua koper milik pasangan muda-muda itu. Sementara Mia menggenggam menggenggam tangan Doli dan menuntun kekasihnya itu masuk ke rumah.

Dari depan, rumah semi permanen itu masih tetap sama seperti dulu. Ishak sepertinya tak pernah alpa merawat rumah beserta tanaman-tanamannya. Beberapa pot tanaman disusun di pinggir pagar untuk tempat tenda bagi pelayat.

Pelayat yang datang memang cukup banyak dan di antara mereka tak sedikit yang menunggu kedatangan kedua anak mendiang. Mereka berduka, terlebih khawatir karena banyak di antara para pelayat menggantungkan penghidupannya dari bisnis kopi yang digarap mendiang Arman. Mereka tentu berharap anak-anak Arman mau melanjutkan bisnis kopi itu.

Ucapan duka berbentuk karangan bunga juga tak henti-hentinya berdatangan. Dari pejabat, petinggi partai, rekan bisnis, hingga para ulama. Di benak Doli, itulah bukti jika ayahnya meninggalkan kesan yang baik kepada banyak orang.

Sesampainya di ruang tamu, Doli melihat tubuh ayahnya terbaring kaku di atas kasur. Ia berjalan mendekati jenazah itu dan duduk di dekat kepala ayahnya. Ishak membuka kain penutup wajah ayahnya dan muka itu tak jauh beda dari semasa ia hidup. Dingin dan minim ekspresi. Bibirnya saja yang sedikit membiru. Doli mencium kening mendiang ayahnya dan mengisyaratkan kepada Ishak agar menutupnya kembali dengan kain.

Ishak lalu mengajak Doli dan Mia ke kamar ayahnya, lalu meninggalkan keduanya di situ. Tak sampai lima menit, Ishak sudah muncul dengan makanan dan minuman di atas nampan. Doli berterima kasih dan Ishak pun pamit meninggalkan dua sejoli itu di dalam kamar.

"Sebetulnya aku jarang masuk ke kamar ayah ini," ucap Doli, "paling kalau kemalaman pulang dari kebun kopi ayah."
Mia menyimak, tangannya menggenggam tangan Doli.

"Ayah suka marah kalau aku masuk kamar ini tanpa izin. Aku pernah curi-curi kesempatan untuk masuk ke kamar ini demi mengambil permen yang biasa ayah taruh di toples di meja itu," ucap Doli sambil menunjuk ke arah meja di dekat tempat tidur ayahnya. "Aku ketahuan dan dihukum menyiangi rumput."

"Ayahmu kedengarannya bukan orang yang seru." Respon Mia.
"Hmm, menghadapi ayah tak pernah mudah. Paling tidak itu yang aku dan bang Gogo rasakan. Ayah itu bagai lapisan-lapisan yang berbeda. Tak bisa didatangi dengan satu perlakuan. Dia hanya baik kepada orang lain. Maksudnya kepada orang lain ayah bisa lebih ekspresif. Sementara kepada kami, ayah tak pernah ada. Maksudku, sosok kebapakan, figur, atau apapun itu."

"He loved you. I believe that." Kata Mia.
"I don't know."
"He loved you. Dan aku juga yakin dia orang baik. Buktinya banyak pelayat yang datang. Kebaikan kita dinilai saat kita meninggal, seberapa banyak orang yang hadir untuk melayat. It's a fact." Lanjut Mia.

Setelah mereka selesai makan, Ishak kembali masuk ke dalam kamar. Ia lalu menarik pintu laci dan merogoh kertas wasiat Arman.

"Ini surat yang ditulis bapak tadi malam. Beliau berpesan untuk memberikannya kepadaku dan Gogo."

Doli menerima surat itu.

"Bagaimana keadaan ayah tadi malam?" Tanya Doli.
"Aku bersamanya sejak ia terjatuh tiga hari lalu. Tadi malam, walau masih lemah, justru bapak terlihat cukup bugar. Ia banyak berbicara dibanding tiga hari sebelumnya. Bapak memintaku untuk menyeduh kopinya. Setelah aku kembali, bapak sudah tiada." Cerita Ishak.

"Terima kasih, om," ucap Doli.

Ishak pun keluar dan disusul Mia. Mereka berdua memberi ruang sendiri bagi Doli untuk membaca surat ayahnya itu. Sebelum keluar, Ishak sempat menyampaikan kepada Doli bahwa ayahnya berkata Doli dan Gogo adalah hal terbaik yang terjadi padanya.

                         ***

Dongan duduk bertelanjang dada di kursi kayu panjang di depan pondoknya. Sambil mengibaskan wajahnya dengan buku tulis tipis, ia mengumpat karena Arman tak kunjung datang. Kulitnya yang putih, memerah karena sengatan matahari. Setengah jam kemudian Arman muncul dengan es teh manis dan es limun di tangannya.

"Kau ini," ucap Dongan dengan sambil kepala Arman dengan buku tulisnya, "senang betul buat aku marah. Lama kali kau!" Protesnya.

"Es iwak Jannah habis, bang. Mesti nunggu diantar anaknya dulu dari Pidoli." Jawab Arman.

"Banyak kali, pun, cing-cong kau. Kau kipas dulu aku!"

"Rehat dulu aku, bang. Capek juga, loh. Aku pun kepanasan."

"Udah pandai kau membantah sekarang, ya? Enggak ada otakmu."

"Abang sudah janji kalau bakal jinak." Protes Arman.

"Jinak, bah. Kau pikir pula aku binatang."

"Jangan marah-marah! Besok kita mau naik gunung. Jadi, kan, bang?"

"Jadilah! Hmm, mengalihkan pembicaraan pula si kampret ini. Nih, limunnya buat kau saja. Selesai minum, kipas aku!"

"Paten!" Jawab Arman.

Hubungan antara Arman dan Dongan berubah jadi akrab sejak Arman rutin menyetorkan hafalannye kepada Dongan. Arman juga menuruti nasehat Dongan untuk mengambil ekstrakulikuler. Dan ia memilih nasyid. Dan pilihannya itu diejek Dongan habis-habisan. Dulu, Arman akan sangat malu kalau diejek Dongan. Namun kini, kakak kelasnya itu tak pernah lagi mengejeknya di depan teman-temannya. Kalau pun ada yang mengejek Arman, Dongan akan membentak si pengejek dan berkata bahwa hanya dia yang boleh mengejek Arman. Walau sudah dekat, Dongan masih kerap menyuruhnya ini dan itu.

Keesokan harinya, Dongan mengajak Arman ke rumahnya di desa di kaki gunung Sorik Marapi. Orang tua Dongan menyambutnya dengan baik dan bercerita kalau Dongan sering membawa teman-temannya ke rumah mereka. Terutama santri yang rumahnya jauh. Kesempatan itu dijadikan Dongan untuk menjamu teman-temannya dengan makanan rumahan.

Keluarga Dongan adalah tipikila juragan kampung. Ayahnya adalah tengkulak getah karet dan keluarganya adalah satu-satunya yang punya mobil di kampung itu.

Malam itu, kepada orang tuanya, Dongan pamit untuk pergi ke kebun untuk menunggui durian yang kebetulan sedang berbuah.  Dongan tak lupa untuk mengatakan kemungkinan mereka akan pulang siang hari karena pasti akan begadang semalaman dan lebih baik tidur di kebun saja dibanding pulang ke rumah pagi harinya. Orang tuanya mengizinkan. Sementara itu, Arman hanya diam saja. Ia tahu Dongan berbohong karena mereka akan naik ke puncak Sorik Marapi malam itu.

Mereka akan berangkat ke puncak saat tengah malam. Sementara waktu, mereka menghabiskan waktu di kebun durian. Berharap ada durian runtuh. Di saung kebun, mereka asik berbincang. Sekitar pukul sepuluh malam, Dongan meminta Arman untuk tidur. Tak berapa lama kemudian, Dongan pun menyusul.

Arman terbangun ketika mendengar bunyi gedebuk. Ia yakin itu bunyi durian jatuh. Arman melihat jam dan kaget karena sudah pukul dua dini hari. Ia segera membangunkan Dongan.

Arman dan Dongan menyusuri jalan setapak yang gelap. Sumber penerangan hanya dari dua buah senter. Bunyi jangkrik dan hewan-hewan nokturnal lainnya mendominasi malam di sepanjang pendakian. Tak terlihat bintang karena rimbunnya kanopi. Berkali-kali Dongan harus memperlambat langkahnya karena Arman kesulitan mengimbangi. Padahal, ini juga kali pertama Dongan mendaki Sorik Marapi di malam hari. Ia pernah naik ke puncak dua kali dan selalu  di siang hari. Itu juga terdiri dari empat hingga enam orang dan melapor kepada kepala desa.

Namun, Dongan merasa tertantang untuk menyanggupi permintaan Arman yang ingin mendaki di malam hari. Dongan hanya berlagak berani. Ia tak tahu alasannya mengapa. Ia hanya ingin terlihat berarti dan hebat di mata Arman.

Perjalanan ke puncak relatif mudah. Sebab Medan yang dilalui cukup landai. Hanya saja, sesekali mereka harus menebas semak yang menutupi jalan atau terpaksa merunduk di bawah batang pohon tumbang yang melintangi jalan. Juga kabut yang cukup tebal membuat mata mereka harus awas agar tak jatuh ke jurang di kiri dan kanan jalan. Selebihnya, tak ada yang sulit malam itu.

Arman berjalan lebih dekat ke arah Dongan. Sesekali ia memegangi jaket kakak kelasnya itu dari belakang dan dibalas dengan tatapan teduh. Dongan yang menyebalkan seolah lenyap malam itu.

"Kita istirahat di sini dulu. Setelah ini ada satu pos lagu, baru puncak." Kata Dongan. Mendengar perkataan Dongan, Arman pun langsung selonjoran di tanah.

"Jangan langsung duduk!" Ucap Dongan cukup keras. Tangannya menarik tubuh Arman agar tak duduk di tanah. "Periksa dulu ada kelabang atau tidak." Omel Dongan.

"Berapa lama lagi sampai puncak, bang?"

"Kita akan sampai menjelang subuh. Sekitar setengah jam lagi."

"Terima kasih sudah mau menemani aku ke sini." Ucap Arman.

"Jangan berterima kasih dulu. Belum juga sampai."

                         ***

"Go, ayah minta maaf karena kalian harus mengalami semua ini. Seperti kamu, ayah pun terpukul. Tak sekali pun ayah tidur nyenyak sejak kepergiaan ibumu." Kata Arman. Ia menghampiri Gogo yang tengah duduk di kursi taman di bawah pohon jambu. Dari halaman samping rumah baru mereka di Panyabungan, Arman memandangi areal persawahan di depannya dan gunung Sorik Marapi di latar belakang.

Di sampingnya, Gogo tak bergeming. Anak pertamanya itu sibuk memutar-mutar botol soda. Di punggung tangan anaknya itu ada tempelan tato mainan. Mungkin, Doli, anak keduanya, menjahili Gogo dengan menempelkan stiker itu sebelum tidur siang tadi.

"Ayah tahu kita jarang berbicara. Apalagi setelah kamu cukup besar. Aneh rasanya, dulu kamu selalu minta ayah gendong di bahu. Tak pernah menolak untuk dipeluk. Sekarang tentu kamu tak mau lagi. Begitulah kehidupan. Tak selamanya sama." Ucap Arman. Gogo memalingkan wajahnya ke arah pohon jambu. Pandangannya seolah mencari-cari sesuatu di pohon itu.

"Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi. Di sini. Di rumah baru kita. Kita mulai hidup baru. Sekarang apakah kamu mau?"

Arman berharap anaknya itu berbicara. Ia sesungguhnya tak sanggup melihat anaknya itu diam. Larut pada duka yang tak berkesudahan. Arman menganggap bahwa Gogo masih berduka. Pemikiran itu selalu ia tanam di benaknya dan lebih mudah untuk ia hadapi dibanding hal lain yang membuat anaknya itu lebih sering diam. Mungkin ditambah karena mereka harus pindah ke Panyabungan dan meninggalkan Jakarta. Pindah kota memang tak pernah mudah.

Gogo akhirnya membalas ucapan ayahnya.

"Semuanya tak akan pernah sama lagi. Tidak setelah ibu meninggal."

"Ayah mengerti. Tidak mudah memang menghadapi kenyataan ini. Tapi, kita tidak boleh berduka lama-lama." Jawab Arman.

Gogo bangkit.

"Ayah tidak mengerti atau pura-pura tak mengerti? Ini bukan soal ibu meninggal saja," mata Arman memerah. Ada letupan-letupan amarah di situ. "Ini justru soal ayah. Gogo sama sekali tak paham mengapa ayah bersikap begini."

"Ayah berusaha untuk melakukan yang terbaik." Jawab Arman.

Gogo menggeleng, badannya berputar menghadap Arman yang duduk di atas kursi.

"Jangan bilang ayah berusaha. Ayah tak pernah berusaha dan justru menghilang. Ayah di mana saat ibu sakit? Ayah di mana saat Gogo butuh? Saat Doli butuh? Ayah tak pernah berusaha. Ayah justru membiarkan ibu meninggal. Gogo tak tahu apa yang menyebabkan ibu begitu, tetapi Gogo yakin itu ada hubungannya dengan ayah. Semuanya selalu tentang ayah. Apapun itu." Tangan Gogo menunjuk ke arah Arman.

Lalu anak lelaki itu pergi meninggalkan ayahnya. Di ujung taman, Gogo berhenti dan kembali berbicara kepada ayahnya dengan sedikit berteriak. "Ibu sudah meninggal, bahkan berbulan-bulan sebelum Tuhan mengambil nyawa ibu."

Gogo pun berlalu dan masuk ke dalam rumah.

Detik itu Arman tahu, ia sudah kehilangan anak sulungnya itu.




[Lanjut membaca episode 6]

Comments