Abu [Eps 6]
Gogo tiba setengah jam lebih cepat dari perkiraannya. Setelah menurunkan koper dan tas dari bagasi, ia mengajak istri dan anaknya memasuki rumah. Para pelayat tak dapat menyembunyikan rasa penasaran mereka karena tahu kalau yang baru saja datang adalah putra pertama mendiang Arman yang sudah lama tak pulang.
Ada rasa gugup yang merasuki Gogo setelah hampir dua belas tahun tak pernah pulang. Bahkan saat menikahi Jelita, resepsi hanya diadakan sekali di Jakarta. Dari dalam rumah, Ishak bergegas keluar dan mengambil barang bawaan anak dan menantu tuannya itu.
Gogo menuntun istri dan anaknya menaiki tangga rumah ayahnya. Dari pangkal pintu, ia melihat Doli duduk di dekat jenazah ayahnya yang ditutupi selendang. Pelayat perempuan mendominasi ruangan itu. Laki-laki memang ditempatkan di bawah tenda-tenda di halaman rumah dan menjadi kebiasaan di sana. Para pelayat perempuan mengecilkan suara mereka yang tengah melantunkan surat Yasin. Doli mengisyaratkan Gogo untuk duduk di sampingnya.
Mata adiknya itu sembab. Dibandingkan dirinya, adiknya itu memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama mendiang ayahnya. Doli sering diajak melihat perkebunan kopi milik ayahnya atau milik petani langganan ayahnya, atau ikut ke luar kota untuk perjalanan bisnis. Sering pula Doli mengeluh kepadanya kalau ayahnya terlalu sibuk bekerja dan dia hanya berdiam diri di hotel.
Begitulah Doli, selalu menjadi penghubung antara Gogo dan ayahnya. Menghadirkan cerita tentang ayahnya kepada Gogo dan menghadirkan cerita Gogo kepada ayahnya. Walau tak diminta.
Gogo kerap heran bagaimana bisa Doli menyintas dari segala prahara keluarga mereka dan keluar sebagai sosok yang ceria dan banyol. Adiknya itu cukup pandai melucu.
Jelita menggenggam tangan Gogo dan menuntunnya mendekati jenazah mertuanya itu. Doli membuka kain penutup wajah mendiang Arman. Jelita yang posisi duduknya lebih dekat ke jenazah langsung mencium wajah mendiang Arman. Talu tak bergeming di pangkuannya. Anak kecil itu terlihat bingung. Jelita kemudian bergeser sedikit dan mempersilakan Gogo. Suaminya itu hanya menatapi wajah mertuanya. Tak ada air mata yang jatuh, juga tanpa ekspresi tertentu. Sulit menmbaca apa yang tengah Gogo rasakan dari air mukanya. Para pelayat menumpuk tanya di benak masing-masing. Setelah dirasa cukup, Gogo mengisyaratkan kepada Doli agar kembali menutupi wajah ayahnya itu dengan selendang. Doli pun melakukannya.
Doli mengajak Gogo ke kamar mendiang ayahnya. Tak berapa lama kemudian, Jelita dan Talu muncul bersama Ishak. Doli langsung buka suara.
"Bang, ayah ingin dikremasi." Ucap Doli. Hal itu tentu mengagetkan bagi Gogo dan Jelita. Keduanya saling tatap, lalu hampir bersamaan kembali menatap Doli meminta penjelasan lebih.
"Kok bisa?" Tanya Jelita. Ia juga menatap Ishak. Tentu meminta informasi lebih soal permintaan mertuanya itu.
"Ayah menulis wasiat ini tadi malam, tepat sebelum ia meninggal." Doli menyodorkan kertas di tangannya kepada Gogo. Jelita mendekat ke arah suaminya dan bersama-sama membaca surat itu.
"Well, tampaknya ayah tahu apa yang ia inginkan." Komentar Jelita.
"Tapi, apakah kita harus menuruti wasiat ini? Maksudku ini hanya soal cara ia ingin dimakamkan. Lagi pula ini bertentangan dengan Islam." Ucap Gogo.
"Dari wasiatnya," sambung Jelita, "ayah tidak ingin dimakamkan secara Islam. Itu saja, tak ada yang ambigu di situ."
"Atau ayah bisa jadi bukan Islam atau seperti kata kak Jelita, tetap Islam tapi tak ingin dimakamkan secara Islam. Siapa yang tahu?" Potong Mia tiba-tiba. Semua orang melihat ke arah Mia. Tak ada menyadari keberadaan kekasih Doli itu sebelumnya.
"Ini Mia, pacarku." Ucap Doli kemudian. Mia mendekati Gogo dan Jelita dan menyalami kedua suami-isteri itu.
"Jadi kamu perangkai bunga itu." Ucap Jelita.
Mia kebingungan.
"Terserah kalian." Kata Jelita merujuk Gogo dan Doli. "Pendapatku tak ada gunanya memakamkan ayah secara Islam lagi. Toh, beliau juga tidak mengharapkannya."
"Lalu bagaimana dengan para pelayat di luar. Nanti geger pula kalau mereka tahu wasiat ini." Lanjut Gogo.
Gogo terlihat bingung. Ia sebetulnya tak betul-betul peduli ayahnya mau dimakamkan dengan cara apa. Ia hanya tak ingin para pelayat heboh kalau tiba-tiba mereka keluar dan memberi tahu keinginan ayahnya itu. Gogo mengulum senyuman sinis.
"Bahkan setelah mati pun dia tetap bisa buat geleng-geleng kepala." Kata Gogo.
"You know him." Balas Doli.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan terhadap para pelayat?" Tanya Jelita.
Kini Doli yang mengulum senyum.
"I have plans!" Katanya.
Semua orang saling tatap.
***
Renacananya, Jelita ingin menelepon profesornya segera setelah prosesi pemakaman mertuanya selesai. Namun, ia tertidur saat menidurkan anaknya di bekas kamar Gogo sewaktu remaja. Jelita terjaga sekitar pukul empat sore. Talu masih tertidur. Anak kecil itu tentu kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.
Jelita berjalan ke dapur dan meminum segelas air putih. Pintu belakang terbuka, Jelita melangkah ke sana. Ia ingin melihat-lihat bagaimana halaman belakang rumah mertuanya itu. Baru kali ini ia berkunjung ke rumah itu.
Halaman belakang rumah dipenuhi bougainville dan palem-paleman yang ditanam tanpa pot. Ada juga beberapa jenis mawar dan anggrek di sekitar gazebo di dekat kolam renang. Jelita melihat Mia di gazebo tengah sibuk dengan kertas dan pensil di tangannya. Jelita sudah siap balik ke kamar saat Mia memanggil dan memintanya untuk bergabung.
"Aku tadi takut ganggu." Kata Jelita.
"Aku lagi buat sketsa baju. Enggak tahu mau ngapain. Oiya, bang Gogo dan Doli ke rumah sakit." Jawab Mia.
"Oiya," respon Jelita, "bagus sketsanya. Sudahlah jago merangkai bunga, pintar bikin sketsa baju pula. Aku selalu iri dengan orang-orang yang artsy."
Mia tertawa pelan. Lalu meletakkan kertas dan pensilnya. Wajahnya kini menghadap Jelita.
"Aku bukan perangkai bunga." Ucap Mia kemudian.
"Oh, maaf. Soalnya Gogo bilang kamu perangkai bunga."
"Aku designer dan punya clothing line dan galerinya dekat dengan kedai kopi milik Doli."
"Still, a designer must be an artsy person. Bagaimana kamu bertemu Doli? Do you mind to share the story?" Pinta Jelita.
"Kita jumpa hampir setengah tahun yang lalu. Dikenalkan oleh teman. You know, that kinda thing..."
"Dijodoh-jodohkan. Ya, I've been thru itu a lot before I met my husband."
"Yap, thank God, dia masih nelpon aku setelah kencan pertama dan lalu kita jadian." Lanjut Mia.
"Is he romantic?" Tanya Jelita.
"Not really. Maksudnya enggak kayak di film. Dia lebih sering ngasih kopi daripada bunga. Tapi, dia cukup humoris. I love his joke."
"Out of the blue, tiba-tiba dia bisa bikin kamu tertawa?"
"Ya. Is that romantic?"
"Iya. Itu cukup romantis. Now I'm believing you are in love."
"Hmmm. Terus suami kakak?"
"Gogo sama sekali bukan orang yang romantis. Justru aku yang lebih suka mendramatisir keadaan. Aku juga bukan orang yang romantis, tetapi tentu sesekali mau, dong, diperlakukan dengan manis. I am not saying that he's not sweet, but, you know, he's just not that sweet. Cuma, kalau dipikir-pikir lagi perlakuannya cukup manis juga. Mau jemput aku ke kampus jam berapapun dan tak pernah absen guntingin kuku kakiku."
"Aaah, romantis, kok. Omong-omong, Talu is so cute."
"Thank you. I'm so blessed to have him and his father, of course. Aku dan Gogo berkenalan di kampus. Dia adalah mahasiswaku."
"Jadi, kakak dosen di fakultas hukum?" Tanya Mia.
"Aku dosen di fakultas ekonomi. Ada satu kelas di mana mahasiswa dari fakultas hukum gabung dengan mahasiswaku di ekonomi. Dan kita bertemu di kelas itu."
"Kalian pasangan yang serasi."
"Thank you. Kamu juga sama Doli. Cute."
Mia tertawa.
"Eh, ini serius kita bakal ngelakuin rencananya Doli?" Tanya Mia.
"Seriuslah. Justru rencananya sedang dilakukan."
"Well, ini cukup menegangkan."
"Welcome to the family. Ketegangan adalah nama tengah keluarga ini." Ucap Jelita.
Keduanya tertawa bersama.
[Lanjut membaca episode 7]
Comments