Abu [Eps 7]
Semburat merah di ujung timur telah berubah jingga keungu-unguan. Hawa dingin yang Arman rasakan di kaki gunung dan selama perjalanan tak sebanding dengan dingin menusuk di puncak gunung ini. Namun, Arman tak menghiraukannya, sebab kebahagiaan jelas sekali mengisi seluruh rongga dadanya. Kebahagiaan karena akhirnya tiba di puncak Sorik Marapi. Sebuah tempat yang ingin ia tuju setahun belakangan. Dari tempatnya berdiri ia mengagumi matahari yang muncul perlahan. Di sampingnya, Dongan duduk sambil meluruskan kedua kaki.
"Duduk saja, bos!" Ucap Dongan. Wajahnya dihiasi senyuman karena senang melihat Arman senang. Cuaca di puncak Sorik Marapi pun terlihat cerah dan kabut yang sedari tadi menutupi jalan menuju puncak perlahan-lahan menghilang. Arman menurut. Ia selonjoran di samping Dongan yang kembali berbicara.
"Aku juga baru ini melihat matahari terbit di sini." Lanjut Dongan.
"Jadi, selama ini Abang bohong. Katanya sudah pernah naik." Timpal Arman. Bibirnya dimonyong-monyongkan. Ia berkacak pinggang dan terlihat lucu karena sedang duduk. Dongan tertawa karena Arman terlihat lebih mirip seperti orang yang tengah menahan sembelit dibanding kesal.
"Kalau aku bohong, kita enggak bakal sampai sini," jawab Dongan, "cuma aku belum pernah naik malam-malam."
"Inang go inang! Untung kita enggak nyasar."
"Aku ngantuk. Sini kakimu! Aku mau rebah sebentar." Pinta Dongan.
"Sayang banget, loh mataharinya. Yakin tidur?"
"Sudah cukup. Kau pandang-pandangilah matahari itu."
Lalu Dongan pun rebah.
Sesungguhnya Dongan tak tidur. Matanya tetap awas melihat surya yang kian meninggi. Sesungguhnya ia tengah menyerap semua sensasi yang muncul dan ia rasakan pagi itu. Perasaan bahagia, juga bangga karena mampu mewujudkan keinginan Dongan. Perasaan yang tak ia tahu ujung dan pangkalnya. Tiba-tiba saja muncul dan amat terasa kalau tengah berdua dengan Arman. Seperti sekarang.
"Nanti, kita ke danau di bawah, ya." Kata Dongan.
"Bangun, kau bang? Katanya tidur." Balas Arman.
"Hmmm."
"Ada danau di sini?"
"Lebih cocok telaga, sih."
"Ok, aku buatin kopi dulu. Abang cari kayu bakar, gih!"
"Nanti dulu, aku masih ngantuk."
"Bangun!"
"Si kimak, ini!" Lalu Dongan pun bangkit dan mencari kayu bakar. Sementara Arman berusaha membuat tungku dan panci kecil untuk memasak air.
Setelah sarapan biskuit, beberapa buah pisang dan kopi, kedua pemuda itu berjalan ke arah telaga yang letaknya di sisi timur laut kawah. Mereka harus berjalan sekitar lima belas menit menuruni rekahan bekas parit-parit magma akibat letusan di masa lalu.
Telaga itu berbentuk setengah lingkaran, terletak di satu sudut cekungan berukuran setengah lapangan sepakbola. Pepohonan mirip pandan, namun dengan batang yang tinggi dan daun yang menjuntai ke bawah, mengelilingi cekungan itu. Membuat siapapun yang tengah berada di cekungan itu merasa di negeri antah-berantah. Alih-alih di puncak sebuah gunung api.
Pada awalnya, Arman menolak ajakan Dongan untuk menceburkan diri ke dalam telaga karena suhu air yang amat dingin. Dongan pun sesungguhnya kedinginan, namun ia tetap berusaha menahannya dan meminta Arman untuk turut serta.
Dongan terus memaksa Arman dan tak berhasil. Ia lalu memasang wajah memelas dengan bibir yang dikulum sedih dan mata sayu. Sesungguhnya amat dibuat-buat. Dan usahanya itu berhasil. Arman tertawa terpingkal-pingkal dan melucuti pakaiannya. Ia berlari ke arah telaga dan menceburkan dirinya. Menceburkan diri ke dalam telaga di puncak Sorik Marapi pada pukul delapan pagi adalah sebuah kebodohan. Sebuah kebodohan yang menyenangkan.
Sesaat setelah Arman masuk ke telaga sedalam dada itu, Dongan langsung berenang ke pinggir telaga dan bersiap untuk keluar. Arman menyusul di belakangnya. Arman tak heran sebab suhu air telaga amat sangat dingin. Dia menduga di bawah sepuluh derajat Celsius.
"Kimak, kau, Man. Lama kali kau masuk. Aku membeku di dalam sana." Ucap Dongan begitu keduanya sampai di atas tanah.
"Kau yang kimak, bang. Tega betul ngerjain aku."
"Ha ha ha. Belum ke puncak Sorik Marapi namanya kalau belum nyoba sensasi berendam di sini."
"Ya. Dan celana dalam kita basah. Putar badanmu. Aku mau lepas celana dalamnya..," kata Arman.
"Selo, lah." Jawab Dongan dan membalik badannya. Ia juga melepas celana dalamnya dan memakai celana kargonya kembali. Mereka berdua berjalan ke atas. Kembali ke pinggir kawah.
"Coba, nih!" Dongan menyodorkan ranting tanaman. Di ujung-ujungnya tergantung beberapa buah kecil berwarna ungu. Mirip beri-berian.
"Ini bisa dimakan? Buah apa, nih, bang?"
"Aramenting."
"Sebentar. Buah ini dari pohon itu? Aku jemur celana dalam di atasnya. Kupikir cuma semak."
"Kalau begitu coba makan buahnya."
Arman pun memakan buah aramenting itu dan dia terkesan dengan rasanya. Dongan membiarkan Arman memuaskan seleranya akan aramenting. Arman benar-benar tak menyangka jika semak-semak yang memenuhi areal dua kali lapangan sepakbola itu menghasilkan buah yang enak untuk dimakan.
"Woi," teriak Dongan dari pinggir kawah. "Sudah metiknya?"
Arman berlari ke arah Dongan. Mulutnya penuh aramenting. Juga tangan kiri dan saku celananya. Dongan tertawa pelan. Lebih mirip mendengus.
"Kenapa, bang?" Tanya Arman.
Dongan menggeleng sambil tersenyum.
"Aku metik sebanyak ini untuk oleh-oleh. Anak-anak di pondok pasti suka." Arman menerangkan.
"Hmmm."
"Abang, kok, senyam-senyum?"
"Aramenting ini enggak enak kalau sudah sampai bawah. Rasanya bakal berubah asam terus hambar." Jelas Dongan.
"Serius, bang?"
"Iya." Jawab Dongan. "Aramenting ini cuma buat mereka yang sampai ke puncak."
"Yah... Terus ini semua mubazir, dong?"
"Yasudah bawa saja. Walaupun enggak manis lagi, kamu tetap bisa pamer ke Jamal atau teman-temanmu yang lain." Ledek Dongan.
"Hmmm."
"Sini, duduk! Kita nikmatin pemandangan dulu sebelum turun." Ajak Dongan
Arman menurut.
Dalam diam, keduanya menikmati pemandangan kawah. Arman beberapa kali mencuri pandang ke arah Dongan yang kembali memanaskan air. Dan sesekali Dongan memergoki pandangan itu dan ia balas dengan senyuman atau anggukan yang membuat Arman kembali mengenang pertemanan janggal mereka. Bagaimana mungkin senior paling menyebalkan di pesantrennya kini bisa jadi teman baiknya dan mengajaknya pula ke puncak gunung impiannya.
"Ini buat abang." Arman menyuguhkan aramenting kepada Dongan. Lagi.
"Kau mau buat wajah tampanku jadi ungu? Suka kali kau sama aramenting itu." Protes Dongan. Namun, ia tetap menerima buah beri yang dipetik juniornya itu.
"Ada alasannya. Satu, memakan beri ini pengalaman baru buat aku dan kebetulan aku menyukainya dan dua, ini juga jadi ucapan terimakasih ke kau, bang. Jadi demi alasan sopan-santun terima saja." Ucap Arman.
"Iya. Aku terima berimu ini." Ucap Dongan, "demi alasan sopan-santun..."
"Demi alasan sopan-santun." Potong Arman.
"Dan ini teh untuk kau." Lanjut Dongan.
"Syukron." Balas Arman.
"Mau lihat sesuatu yang keren?" Tanya Dongan
"Mau!"
Dongan bangkit dan berjalan ke pinggir kawah. Dari tempatnya berdiri ia bahkan bisa melihat dinding kawah di bawahnya. Arman bergidik dan mengingatkan untuk hati-hati.
"Sini!" Ajak Dongan ke Arman, "sekalian pungut beberapa batu kecil."
Arman mendekat ke arah Dongan. Disodorkannya beberapa buah batu kecil.
"Lihat!" Kata Dongan sambil mengerlingkan matanya. Dongan melemparkan sebuah batu kecil ke arah kawah dengan sekuat tenaga.
"Segitu aja?" Ledek Arman. "Kalah jauh kau bang. Tengok aku ya!" Arman pun melemparkan sebuah batu kecil ke arah kawah. Sekuat tenaga pula. Tapi batu itu tetap jatuh di dasar pinggir kawah.
"Katanya lebih jauh. Kok, jatuhnya di pinggir juga?" Kini Dongan yang meledek.
"Tengok yang ini, ya!" Kata Arman lagi. Ia kembali melempar batu ke arah kawah. Ia tak mau kalah.
"Batunya akan tetap jatuh di pinggir kawah walau kau lempar sekuat tenaga. Kawahnya itu luas, dek. Butuh dua jam untuk mengelilinginya." Terang Dongan.
"Oh!" Jawab Arman.
Dongan tertawa.
"Aku boleh nanya?" Kata Dongan.
"Boleh, lah. Tanya aku apa saja!" Balas Arman.
"Mengapa Sorik Marapi?"
"Ini yang paling dekat." Jawab Arman.
"Oke, tapi bisa juga, kan, naik ke Marapi di Agam. Lebih jauh memang, tapi masih terbilang dekat dari Panyabungan." Balas Dongan.
"Mungkin karena sepi. Perempuan, kan, enggak boleh naik Sorik Marapi. Jadi, gunung api ini mungkin saja..."
"Homo?" Potong Dongan.
Arman melirik ke arah Dongan dengan heran.
"Gunung mana ada yang homo. Gila!" Balas Arman.
Dongan tertawa.
"Paling tidak gunung ini masih bersih. Karena enggak banyak orang yang boleh naik. Itu saja, kok."
"Iya, iya!" Balas Dongan.
"Terima kasih lagi, karena sudah mau ngajak aku ke mari, bang."
"Nanti saja terimakasihnya kalau sudah sampai bawah..."
"Dengan selamat. Oke." Potong Arman.
"Nah, itu kau tahu." Lanjut Dongan. "Oiya, ini tahun terakhirku di pesantren. Kau bisa, kok, tinggal di pondokku kalau mau."
"Maksudnya?" Tanya Arman.
"Apa yang kurang jelas di situ? Kau mau enggak tinggal di pondokku. Jadi, kau bisa nemenin aku sampai lulus. Ribet kali!" Ucap Dongan dengan kesal.
"Nah, itu baru jelas." Balas Arman. "Aku mau, kok." Arman tak dapat menahan tawanya.
"Si kimak ini!" Kata Dongan. "Tapi, urusan dapur itu tanggung jawabmu. Aku cuma duduk manis saja."
"Suka hati kau, lah, bang."
"Mantap!"
"Hmmm."
"Sekarang kita turun. Kita harus sampai rumah sebelum pukul dua siang. Orang tuaku nanti nyusul pula ke kebun. Bakal terbongkar semua drama ini. Ha ha ha." Ucap Dongan.
Dalam hati, Arman merasakan kehangatan baru yang muncul di hatinya. Entah karena tawaran untuk tinggal bersama Dongan di pondok atau karena sudah menuntaskan keinginannya untuk naik ke puncak Sorik Marapi. Perasaan untuk dua hal itu bercampur aduk dan mungkin saja benar. Sementara itu, Dongan merasa lega karena tawarannya diterima Arman. Mereka berdua pun berjalan menyusuri lereng ke arah lembah. Kembali ke satu tujuan yang sama, pondokan yang sama. Kembali untuk pulang. Bersama.
***
"Ini dr. Ilham," ucap Gogo kepada semua orang di ruang keluarga itu. "Ini istriku Jelita, itu pacarnya Doli, Mia."
"Salam kenal," balas dr. Ilham. "Jenazah pak Arman sudah selesai saya awetkan dan sekarang tinggal menunggu keputusan kalian untuk dikremasi, kapan dan di mana. Can I have a cup of tea, please?" Lanjutnya. Dokter itu lalu duduk di sebuah bangku dan mengelap wajahnya dengan sapu tangan.
"Oh, tentu saja." Jawab Mia dan bergegas menyeduh teh.
"Jujur saja ini mengagetkan." Ucap dr. Ilham, "Tadi siang jenazah pak Arman dimakamkan, lalu digali lagi dan malam ini jenazah pak Arman diawetkan dan dibaringkan di kamarnya lagi. I'm still processing this... Whatever it is."
"Maaf telah melibatkan dokter. Tapi, menurut bang Ishak, dokter, kan, sudah jadi dokternya ayah dari dulu." Balas Gogo.
"Ya, I know him." Dokter itu menghela napas. "Kamu enggak perlu meminta maaf. Aku pasti akan membantu kalau itu permintaan pak Arman. Hanya saja pak Arman adalah orang yang tak terduga. Penuh kejutan. Dia mungkin pasien saya yang paling cerewet juga dan saya sangat kehilangan atas kepergiannya. Aku enggak bisa bayangkan apa yang kalian rasakan, tentu saja lebih kehilangan. He was a good person. And he knows what he wants."
"Aku googling dari tadi, kayaknya enggak ada krematorium di Panyabungan, deh. Iya, kan?" Tanya Jelita.
"Memang tidak ada. Kalau di Medan saya bisa usahakan." Balas dr. Ilham.
Mia datang membawa beberapa cangkir teh untuk semua orang.
"Kita bisa kremasi sendiri kayak di Bali." Usul Doli.
"Ngaben?" Tanya Gogo. "Belum ada dari kita yang pernah melakukannya."
"Aku pernah." Ucap Mia. "Ibuku di-ngaben tiga tahun lalu. Kita cuma butuh kayu yang banyak dan..."
"Waktu yang banyak. I respect your culture but we can't just burn his body. We also need to respect him." Potong Jelita.
"Ya harus dibakar. Mau bagaimana lagi?" Kata Gogo.
"Di Bali, kita pakai kayu memang, tapi ada kayak kompor gas, gitu, untuk mempercepat proses pembakaran. Semalaman juga, sih."
"Guys, dad wanted to be cremated, not to be burned." Lanjut Jelita.
"Well, kalau begitu kalian harus ke Medan untuk kremasi. Saya akan siapkan semuanya, kalian cuma harus urus surat keterangan kematian dari kepala desa di sini. Saya tunggu besok di rumah sakit. Thanks for the tea, it's lovely, and I'm sorry again for your lost. I have to go." Ucap dr. Ilham. Ia pun bersiap untuk pulang
"Kami juga berterimakasih, dok." Balas Gogo.
Gogo dan Doli mengantarkan dr. Ilham ke depan pintu. Tak berapa lama setelah itu, Ishak datang dengan selembar surat keterangan kematian. Ia juga sudah mengatakan kepada tetangga dan tetua desa bahwa tak akan menggelar tahlilan. Tak ada yang protes karena semua orang mengganggap Arman pengikut Muhammadiyah yang biasanya memang tak melakukan acara tahlil seperti yang dilakukan pengikut Nahdatul Ulamah.
"Ma, kakek enggak mau bangun." Ucap Talu. Ia baru keluar dari kamar mendiang Arman dan menyentuh-nyentuh pipi kakeknya. "He's cold and swollen." Lanjutnya.
"He won't wake up. And I think I've told you not to go to that room." Ucap Gogo.
"Go..." Ucap Jelita ke arah Gogo.
"What?" Respon Gogo.
Jelita memberikan tatapan marah kepada Gogo karena telah berbicara seperti itu kepada Talu. "Sini, Talu sama mama, kita mandi dan makan di luar, okay?"
"Yap." Jawab Talu.
"Doli, Mia, ikut?" Tanya Jelita.
"Kita makan di rumah saja." Jawab Mia.
"Okay." Balas Jelita, "Go, kamu juga harus mandi."
"Ok, bos." Jawab Gogo.
Mereka pun bersiap-siap untuk makan di luar.
"What's next?" Tanya Mia kepada Doli. Tinggal mereka berdua di ruang keluarga itu.
"Maksudnya?" Doli balik bertanya.
"Setelah dikremasi, abunya diapakan?"
"I don't know. Ayah enggak ada bilang."
"Aneh, biasanya ada diwasiatkan juga, sih. What about the diary? Have you found that?"
"Belum."
"Well, find it! Mungkin ada petunjuk yang bisa didapatkan di dalamnya."
"Ya. Masih dicari sama bang Gogo."
"Hmmm."
"Aku mandi dulu. Oiya, nanti kita harus bahas liburmu juga. Nanti kelamaan pula kamu enggak di galeri."
"Ya, itu perlu dibahas." Ucap Mia menutup pembicaraan.
***
"Talu, jangan jauh-jauh mainnya. Biar mama bisa lihat." Ucap Jelita saat melepas anaknya itu untuk bermain di area playground restoran.
"Kamu bisa pulang duluan ke Jakarta. Urusan di sini bisa jadi lama." Ucap Gogo kepada Jelita.
"Abu ayah ditabur ke mana? Atau disimpan?" Tanya Jelita.
"Abunya ditabur di Batahan. Ayah punya rumah pantai di sana."
"Batahan ini di mana?"
"Empat sampai lima jam dari Panyabungan."
"I have time. Profesor ngasih libur seminggu, kok."
"Aku dan Doli mau ngurus sesuatu. Bakal makan waktu lama. You better go back!"
Jelita tak merasa tersinggung. Ia justru senang karena untuk pertama kalinya ia mendengar Gogo memanggil Arman dengan sebutan ayah, lagi. Kali ini dengan penekanan lain. Ada perubahan makna, yang menurut Jelita, bagus di situ. Sebuah penerimaan.
"You found something in the diary, didn't you?"
"Ya."
"Ya, nanti kita bicarakan di rumah bareng Doli juga. If I have to go back, I'll go back."
"Thank you."
Gogo dan istrinya kembali ke rumah mendiang Arman. Mereka bergabung dengan Mia, Doli dan Ishak di halaman belakang. Talu dibaringkan di bekas kamar Gogo.
Dari halaman belakang itu, Gogo menoleh ke arah jendela kamar ayahnya. Tempat jenazah ayahnya yang terbujur kaku terbaring di atas kasur. Tadi siang, jenazah itu sudah dikubur, namun digali lagi untuk dikremasi.
Jenazah ayahnya dikubur karena Doli menyarankan agar tak memberi tahu pelayat. Dengan menguburkan Arman secara Islam,, selain memberi kesempatan kepada pelayat untuk berduka dan bersimpati, juga untuk menjaga kenangan mereka tentang Arman. Doli tak ingin ayahnya dikenang sebagai orang aneh oleh pelayat. Karena belum tentu hal-hal seperti ini dapat diterima dengan baik oleh semua orang. Doli hanya ingin itu. Sementara bagi mereka, terutama Doli dan Gogo. Keanehan sudah menjadi makanan sehari-hari. Mulai dari interaksi yang janggal antara Arman dan Gogo hingga kematian ibunya.
Doli bersyukur karena Gogo mau tinggal dan melakukan wasiat ayahnya. Dia tahu ada banyak riwayat buruk dalam hubungan abangnya itu dengan ayahnya. Dan berkumpul seperti ini di rumah mereka di kampung adalah sebuah kemustahilan dulu. Doli hanya ingin menikmati momen ini. Walaupun harus dengan kematian ayahnya.
Kesempatan itu dimanfaatkan Doli untuk berbincang-bincang hangat. Mereka saling bertukar cerita. Termasuk Mia, akhirnya Gogo tahu kalau Mia bukan seorang perangkai bunga. Doli menceritakan soal bisnis kedai kopi yang tengah ia rintis, Gogo bercerita kalau ia sudah menjadi rekanan di firma hukumnya, Jelita bercerita tentang Talu dan rencananya untuk melanjutkan pendidikannya ke Inggris jika beasiswa yang ia incar dari dewan direksi kampusnya mengajar berhasil didapat, sementara Ishak hadir dengan cerita-cerita tentang mendiang Arman dan perkebunan kopi peninggalannya.
"Aku sudah menemukan buku harian ayah. Dan rupanya ada buku harian ibu juga." Ucap Gogo.
Semua orang memperhatikan. Doli menegakkan posisi duduknya, di sampingnya, Mia menggengam tangan Doli.
"Saya temukan ini tadi malam. Saya baca beberapa halaman saja. Buku harian ibu belum saya baca karena saya merasa Doli adalah orang pertama yang paling berhak membaca buku harian ibu. Semoga tulisan ibu di buku itu bisa membantumu untuk lebih mengenal ibu." Ucap Gogo. Ia lalu berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Dari dalam, ia membawa keluar setumpuk buku harian. Empat buku milik ayahnya dan dua buku milik ibunya.
Gogo memberi dua buku harian milik mendiang ibunya kepada Doli. Adiknya itu menerima kedua buku itu dengan tangan gemetar. Ia merasa tak sabar untuk membaca isinya, namun ia juga takut.
"Bagaimana kalau kenangan baik yang kuingat akan rusak setelah aku membaca buku ini?" Tanya Doli. Intonasi suaranya sebetulnya lebih kepada menyatakan dari menanyakan.
"The only thing I know, mom loved is. Me and You. Anything else doesn't matter." Balas Gogo.
Mia memeluk bahu Doli.
Bayangan soal ibu di benak Doli amatlah samar. Apalagi di hari-hari terakhir ibunya hidup, Doli tak bisa dekat dengan ibunya. Masa kecil Doli setelah ibunya meninggal sering dibayangi pemikiran bahwa ibunya tak menyukainya karena tak pernah lagi hadir di sekolah untuk menjemputnya pulang atau tak pernah lagi membuatkan bekal. Kenangan saat berakhir pekan ke Sarinah atau mengunjungi ibunya di galeri bunga adalah ingatan bahagia yang terus ia rawat untuk menjaga ikatannya dengan ibunya. Walau tentu saja, kenangan bahagia itu amatlah rapuh bila dibandingkan dengan kenangannya menjelang kematian ibunya.
"Om," ucap Gogo kepada Ishak, "Om tahu, enggak, kalau ayah punya rumah pantai di Batahan?"
Ishak menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu.
"Dari tulisan di buku harian ayah ini, ayah bilang dia punya rumah di sana untuk masa tuanya dan jadi tempat kalau..." Suara Gogo tersendat. Ada kegetiran di dalam nada bicaranya. "Kalau cucunya datang."
Jelita bangkit dari kursi dan memeluk Gogo dari belakang. Ia memberi penguatan kepada suaminya itu.
"Ayah sangat berharap untuk bertemu dengan Talu, rupanya." Lanjut Gogo.
Semua orang terdiam. Detik itu mereka tahu kalau permasalahan di antara Gogo dan Arman, permasalahan anak dan ayah itu, mulai menemukan jalan menuju damai. Sebuah ujung yang manis, walaupun harus didahului dengan kenyataan yang pahit. Ironi di dalam ironi.
"Kupikir, Om Ishak bisa mencari berkas atau surat tanah, apapun yang bisa membenarkan tulisan ayah ini. Jadi, setelah dikremasi, mungkin kita semua bisa menabur abu ayah di sana." Lanjut Gogo.
"Baik." Jawab Ishak.
"Well, kita bisa akhiri dulu malam ini dan membiarkan Om Ishak untuk mencari surat tanah itu, nanti kita bantu cari juga." Ucap Jelita. "Terus, Doli dan Gogo juga bisa membaca buku harian ayah dan ibu dengan tenang. Mia, kamu tidur sama saya saja di kamar. Yuk!" Ajak Jelita kepada Mia.
"Jangan sungkan panggil aku, honey, kalau kamu butuh aku." Ucap Mia pelan kepada Doli. Ia memeluk hangat kekasihnya itu. "I believe, whatever you find in those books is the answer you looking for as long time. I love you."
"I love you, too." Jawab Doli.
"Good night, guys." Ucap Mia kepada Doli, Gogo, dan Ishak. Ia pun berlalu dan menyusul Jelita ke dalam kamar.
[Lanjut membaca episode 8]
Comments