Anna dan Hamdi
"Hai, saya pesan kopi hitam dan sa... sasagun."
"Sasagun itu kue kering dari tepung beras, parutan kelapa, dan banyak gula."
"Maaf?"
"Kerutan di dahi mbak saya artikan sebagai ketidaktahuan apa itu sasagun."
"Sekarang dahi saya berkerut karena heran."
"Yap, sepertinya ada banyak arti untuk kerutan di dahi."
"Aku Anna. Kamu?"
"Sekarang saya diganti aku."
"Ya..."
"Aku Hamdi. Mau kopi Mandailing yang mana?"
"Saya minum apapun yang kamu seduh."
"Kalau begitu yang Pagur."
"Pagur it is."
"Silakan menunggu di meja sebelah sana."
"Kalau mau duduk di sini saja, boleh, kan?"
"Tentu."
"So, apa setiap Pemda Mandailing buat acara kamu selalu buka booth kopi begini?"
"Ya. Beberapa kali sejak pemda sudah sadar kalau kopi Mandailing ini naik daun."
"I see."
"Mbak peserta seminar?"
"Panggil Anna saja. Lucu kalau di Panyabungan aku dipanggil mbak. Dan yang benar adalah konvensi. Dan, saya ikut konvensi ini."
"Jangan bilang siapa-siapa! Konvensi begini sebetulnya hanya cara agar terlihat sibuk. Omong kosong saja."
"You know what? Konvensi ini baru saja menghasilkan satu juta dolar Amerika untuk kelestarian alam dan pengentasan buta huruf. Apa satu juta dolar terdengar seperti omong-kosong?"
"Itu uang yang banyak. Jadi, kalian melakukan hal yang penting di dalam sana. Baiklah. Mohon menunggu sebentar, saya buatkan kopimu."
"Dan kamu nyeduh kopinya di depanku?"
"Memang konsepnya begini. Bukan karena mbak..."
"Just Anna, please!"
"Sorry... Anna sedang duduk di situ. But you are beautiful."
"Execuse me!"
"I mean this coffee and the mug. God, they are lovely, aren't they?"
"Ha ha ha. Sudah berapa lama jualan kopi?"
"Tiga tahun."
"Harga kopimu cukup murah. Di Jakarta, aku harus bayar hampir lima puluh ribu rupiah untuk kopi dan donat."
"Harga ini cukup mahal di sini. Orang biasa bayar dua ribu atau tiga ribu rupiah untuk segelas kopi. Memang di kedai kampung biasa."
"Plus lots of sugar."
"Indeed."
"Konvensinya soal melek huruf, kan?"
"Ya, dan aku adalah antek perusahaan yang ingin berderma. Menyumbangkan buku untuk sepuluh tahun ke depan."
"Terdengar seperti perusahaan tempatmu bekerja ingin mengambil sesuatu dari Mandailing ini selama sepuluh tahun ke depan."
"Ya. Sounds horrible. Aku enggak mengganggu, kan? Kamu boleh ninggilin aku dan melayani pesanan yang lain."
"Hmmm, aku nemenin kamu saja. Pesanan pelanggan lain bisa diurus pegawai yang lain."
"It's valentines day."
"Execuse me."
"Hari Valentine. Biasanya, kan, kedai kopi kekinian buat perayaan khusus dengan promo-promonya. Kamu enggak buat?"
"Nope!"
"Oh, haram? Okay!"
"Bukan begitu. Ha ha ha. Memang tak biasa buat dan di sini juga tak banyak yang merayakan."
"Di tempat lain sudah banyak yang buat, sih. Mungkin tahun depan bisa dicoba."
"Ya, untuk kedai kopi bisa dicoba tahun depan. Tapi untuk kita masih ada waktu sampai malam. Aku akan sangat bodoh jika tidak mengajak perempuan secantik kamu untuk keluar malam ini. It's Valentine Day."
"Wow. Kamu selalu begini kepada perempuan?"
"Hanya kepada yang cantik."
"Aku aku anggap itu pujian, walaupun cukup mengagetkan. Terima kasih."
"Jadi, nanti malam bisa keluar?"
"Aku ini pelacur."
"Kalau begitu kamu adalah pelacur yang cantik."
"Aku sudah menikah."
"Aku tak melihat cincin kawin di tanganmu."
"Tak semua pasangan yang menikah memakai cincin."
"No way. Kamu dari Jakarta. Semua remeh-temeh begitu disukai orang Jakarta. Jadi, bagaimana?"
"Aku sudah menikah."
"Kalau begitu aku bermain api. Tetapi tidak mengapa. Aku tetap mau mengajakmu keluar nanti malam."
"You don't give up, do you?"
"Because I believe you are lying."
"What if I say no."
"It is a yes, then."
"Wow."
"Adik perempuanku ulang tahun hari ini. Nanti malam kita mau merayakannya dengan makan malam di rumah. Would you be my date?"
"Well, I don't know about that. That's a big thing to deal with. Meeting your family in a first date dan kita baru saja berkenalan beberapa menit lalu."
"I know it's crazy..."
"It is..."
"Tetapi sama saja, sekarang atau di masa depan. Kita harus mengetahui satu sama lain untuk lebih mengenal dan mencari kecocokan. Dan nge-date adalah satu cara untuk saling kenal."
"Do you like me?"
"Saya akan tahu kalau kamu mau aku ajak keluar nanti malam."
"Do you like me?"
"So, Anna dari Jakarta ini kopimu dan sasagun."
"Terima kasih. Itu pertanyaan sederhana. Kamu suka tidak sama aku?"
"Tetapi jawabannya tidak sederhana."
"But still, do you like me?"
"Kamu perempuan yang cantik, suaramu enak didengar, dan sejauh ini kita ngobrolnya nyambung."
"Kalau begitu kamu suka aku. Jadi, nanti malam jemput aku di hotel dekat pom bensin itu. Jam tujuh."
"Can I have your phone number."
"Jam tujuh. That's my phone number."
"It's a date."
"It's a date."
"Excelent!"
"Kopinya enak."
"Thank you."
"Tentang nanti malam, aku perlu tahu sedikit cerita soal adikmu atau keluargamu. Bahan untuk berbasa-basi."
"She's turning 21. She's a teacher, job that she wanted. Dan dia adalah keluargaku satu-satunya. I dont have parents. Ibuku meninggal waktu melahirkan adikku dan ayahku pergi dengan perempuan lain sepuluh tahun lalu."
"I am sorry to hear that."
"It's okay. Nanti malam mungkin yang datang hanya aku, kamu, pacar adikku, dan beberapa sahabat kami."
"I would love to meet them."
"They are a little bit freak."
"No wonder. You're a freak too. So am I."
"Welcome to the club after all."
"Sebuah kehormatan bergabung dengan klub aneh mu."
"Tell me your story."
"I don't have story."
"Semua orang punya cerita."
"Ya, tetapi aku tak yakin ceritaku cukup menarik."
"Try me!"
"Baiklah. Aku anak ke tiga dari empat bersaudara. Dari dulu ingin menjadi penulis tetapi tak ada yang mau membaca ceritaku. Jadi aku menulis untuk diriku sendiri dan untuk bertahan hidup aku bekerja sebagai staf humas perusahaan yang akan menguras kekayaan Mandailing sepuluh tahun ke depan. Pekerjaan yang tak saya inginkan tetapi harus saya kerjakan agar bisa hidup sebagai manusia modern."
"Kamu menulis tentang apa?"
"Kebanyakan cerpen. Puisi sesekali."
"Show me your poets or those short stories."
"You would regret that. It's just a hobby."
"But you seem really like it. I believe it's cool."
"I love it. Cool? Nay!"
"Show me!"
"Ini tulisan di blogku. Bukan blog profesional, again, it's just a hobby dan tak ada yang baca."
"Ya, ga ada yang meninggalkan komentar juga di postingan kamu ini. Jadi aku percaya ceritamu ini buruk."
"Wow. Ha ha ha. Ya, sangat buruk. Tapi ada satu teman yang selalu baca. I never meet him. He's the only one that actually read my stories."
"Ini sebetulnya bagus. Ceritanya menarik, aku suka caramu menyampaikan cerita."
"Thank you."
"I am offically becoming your second fan!"
"Very nice of you."
"Ya, I give you a shout out. I got a huge followers on social medias. I'll post em, endorsing your craft."
"Ha ha ha. I better be ready."
"It's true. It's a damn good thing you wrote here. You deserve a validation."
"And it starts with your endorsment."
"I have ten thousand followers. That's something for no body like me."
"OMG! Untuk seseorang yang bukan selebritas. That's something."
"Look it your self."
"Okay, you are Mr. Popular."
"I told you."
"Aku baca dulu. Cerita yang paling aku suka bakal ku ulas dan tak suka ku ulas. Lalu aku posting."
"You don't have to do that."
"I don't have to ask your permition. Apa yang kamu unggah di blogmu tentu bisa diakses siapapun. Jadi terima saja."
"What-so-ever. Fireaway!"
"Jadi, aku minta alamat twittermu, Instagram or anything..."
"Give me your phone."
"Nih."
"Hmmm... Ini akunku. Bentar aku konfirmasi dulu. Nih, ponselmu."
"Okay."
"Sudah aku konfirmasi permintaan pertemananmu. Dan sekarang kamu punya kontakku."
"Nomor ponsel, belum."
"Tadi sudah kubilang. Pick me up at seven. That is going to be your ticket to my phone number."
"Alright, then."
"Alright. I gotta go. Aku harus basa-basi dengan orang-orang di pemda kalian untuk meyakinkan mereka agar mau kekayaan alam Mandailing mu ini kami keruk sepuluh tahun ke depan."
"Okay. Tonight at seven."
"Tonight at seven. It is nice to meet you and thank you for the talk."
"It's nice to meet you too and for the talk."
"Ini bayarannya. Keep the change!"
"Thank you."
"See you."
"See you. Happy Valentines Day."
"No, Happy Our Day."
"Happy Our Day."
Comments