Abu [Eps 4]
"Mengapa kamu mencintaiku?" Tanya Dewi pada Arman. Matanya sembab akibat menangis sesorean. Sempat berhenti lalu menangis kembali setibanya Arman di kamar malam itu.
"Kamu menangis? Ada apa? Kamu baik-baik saja?" Respon Arman.
"Apakah kamu mencintaiku?" Tanya Dewi lagi. Kali ini dengan penekanan yang amat terasa.
"Tentu saja aku mencintaimu. Sini biar kupeluk. Arman mendekat ke arah Dewi. Tempat tidur itu sesak oleh mereka berdua. Dewi masih saja menangis. Ia tak membalas pelukan suaminya itu.
Arman bertanya lagi sambil berbisik.
"Aku mencintaimu. Apa masih ada yang kurang untukmu? Beritahu aku, akan kulakukan apapun untuk membuatmu percaya."
"Mengapa kamu memilih aku, bang? Mengapa? Kalau aku tahu akan begini, aku tentu tidak mau. Aku tak mau semua ini jika tanpa cinta. Jika dibaluti dusta." Dewi melepas pelukan Arman, bangkit, lalu berdiri di sisi tempat tidur. Ia menatap wajah lelaki yang sudah ia nikahi enam belas tahun itu. Dewi tahu suaminya itu bingung dan tak mengerti mengapa ia menangis. Tetapi, ia juga merasa suaminya itu tahu dan hanya bersikap wajar sekaligus waspada. Seolah menebak ke arah mana ini akan terjadi. Ada kilatan itu di mata Arman. Walau sebentar tetapi Dewi melihat itu.
Benar saja .Arman tersadar. Apa yang ia takutkan selama ini terjadi juga. Walau ia sudah berusaha untuk melupakan semuanya, namun sepertinya Dewi tahu juga. Ini hanya masalah waktu.
Arman merasa berdosa. Dari mata istrinya, Arman tahu kalau perempuan yang sudah ia kencani sejak kuliah itu amat mencintainya. Hati perempuan yang amat jarang pulang ke Ambon karena memilih untuk menikahinya dan menentang keluarganya itu amatlah tulus. Hari ini perempuan itu menangis karena ulahnya. Dan ia merasa sangat bodoh membiarkan itu terjadi. Tetapi Arman tak bergeming. Ia diam dan keluar dari kamar. Detik itu, kebahagiaan keduanya seolah lenyap. Juga di hari-hari selanjutnya.
Sekilas, walau tak terlihat ada yang berubah, anak tertua mereka, Gogo, merasakan adanya hawa dingin di antara ayah dan ibunya. Umurnya sudah lima belas tahun, kelas satu SMA, tentu saja bisa melihat perubahan yang amat halus sekalipun dari kedua orang tuanya. Namun Gogo juga memilih diam.
Gogo kerap mendapati ayahnya pulang lebih malam. Sorot lampu mobil ayahnya menembus kaca kamarnya dan amat menyilaukan. Jam berapapun ayahnya pulang, Gogo selalu terbangun. Ia juga sering mendapati ibunya melamun. Tak ada yang berubah memang dengan jadwal makan atau sesekali belanja di Sarinah saat akhir pekan atau dengan jadwal tetap Gogo menemani ibunya memilih-milih bunga segar di hari Rabu. Semuanya tetap sama kecuali ibunya lebih sering diam dan membuat suasana jadi sedikit lebih kaku. Dan itu tentu bikin tak enak.
Lebih dari setengah tahun kemudian, perubahan besar mulai terlihat. Ibunya mulai absen di satu dua momen. Tak ikut ke Sarinah, atau tak datang menjemputnya dan adiknya, Doli, sepulang sekolah. Pernah Doli menunggu hingga tiga jam , baru kemudian dijemput Gogo yang baru pulang main bersama teman-temannya. Keesokan harinya Ishak dipekerjakan untuk mengantar jemput mereka. Ibunya juga mulai jarang merangkai bunga. Pesanan bunga diambil alih oleh pegawai galerinya. Yang ibunya lakukan hanya mengurung diri atau pun kalau ke luar kamar, ia lebih sering terlihat melamun. Bagi Gogo, ayahnya tak melakukan apapun untuk menolong ibu.
Walau kerap rewel, Doli mulai terbiasa dengan Ishak. Apapun dilaporkannya kepada Ishak. Kegiatannya di sekolah, teman yang dia kerjakan, atau rasa rindunya kepada ibu yang suka diam.
Hari itu, Gogo pulang sekolah lebih lama dari biasanya. Hampir pukul tengah enam petang. Ia sempat mampir ke galeri dan melihat kondisi galeri itu tak sehidup ketika ditangani oleh ibunya. Bunga segar masih banyak. Tetapi pelanggan yang datang tak sampai sepuluh orang seharian itu. Saat memasuki rumah, ia tak melihat Doli dan Ishak. Dari memo di kulkas, keduanya pergi ke taman.
Gogo hendak masuk ke kamarnya saat melihat ibunya menangis. Gogo menghampiri ibunya dan menyentuh pundak wanita itu dan dibalas dengan tangisan yang semakin dalam. Punggung itu berguncang. Gogo memeluk ibunya. Untuk pertama kalinya, ia kembali melihat ibunya hadir di realitas. Bukan sekadar sosok kosong. Perempuan itu mengelus pipi Gogo. Dibaringkannya kepala anaknya itu di pangkuannya. Keduanya menangis bersama-sama. Tak berkata-kata. Gogo berinisiatif untuk membuka percakapan.
"Bu, Gogo juara kelas. Dikasih piagam."
Ibunya hanya diam dan mengelus rambut serta pipi Gogo.
"Doli lagi sama Om Ishak, mereka ke taman."
Ibunya terus diam.
"Tadi aku ke galeri ibu. Semua orang kangen sama ibu. Sampai-sampai cici di fotokopian sebelah galeri juga nanyain ibu. Padahal selama ini mana pernah cici itu negur Gogo. Ibu masih ingat, kan, gara-gara aku dulu mecahin etalase mereka."
Ibunya masih saja diam.
"Lebih dari itu semua, aku rindu sama ibu. Doli juga, bu. Ibu enggak rindu sama kami? Ayah pulangnya malam terus."
Ibunya masih tak berbicara. Air matanya terus mengalir.
"Ibu boleh cerita sama Gogo. Gogo sudah besar, kan. Gogo juga sudah pacaran. Nama gadis itu Kartika. Kita satu kelas. Dia cantik dan suka nemenin Gogo jalan."
"Bagaimana kamu nembak dia?" Akhirnya ibunya berbicara. Gogo tersenyum di atas pangkuan ibunya.
"Aku buat mix tape. Dia ngerti pesan yang disampaikan lewat lagu-lagu di mix tape itu. Besoknya dia bilang mau jadi pacarku."
"Kalau kamu cinta, perlakukan dia dengan baik. Jangan mengecewakannya. Lebih baik jujur dari awal daripada menjalaninya dengan kebohongan." Kali ini ibunya menjawab dengan panjang. Gogo bangkit dan menatap mata ibunya.
"Ibu juga cerita sama Gogo. Apa sebenarnya yang terjadi?"
"Satu-satunya yang perlu kamu tahu, Doli tahu adalah ibu mencintai kalian. Itu saja."
"Tapi, ibu tak pernah ada dan ini sudah hampir setahun. Ibu enggak cinta sama kami?"
"Husst, ibu cinta sama kamu dan adikmu. Itu saja yang penting. Itu saja yang penting. Itu saja yang penting." Lalu ibunya terdiam. Ibu dan anak itu bersitatap. Tapi, si anak tahu, ibunya kembali hilang dan tenggelam di dalam pikirannya sendiri. Gogo memeluk ibunya itu lama sekali.
Gogo pergi. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya dan berlari sejauh-jauhnya. Ia terus saja berlari dan tak peduli pada sekitar. Yang penting ia ingin pergi jauh. Tanpa sadar, ia rupanya berlari ke arah kantor ayahnya. Ia masuk ke kantor itu dan diberitahu satpam kalau ayahnya sudah pulang sejak sore tadi. Hari sudah malam dan Gogo keluar dari kantor itu. Ia terlihat linglung.
Ia sampai ke rumah sekitar pukul sepuluh malam. Ishak sudah menunggu di depan pagar. Doli tertidur di kursi plastik di dekatnya. Setelah melihat Gogo, Ishak berlari ke arahnya. Tanpa bertanya, Ishak langsung memeluk anak tuannya itu. Mencoba menyalurkan energi, semangat, menenangkan si anak tuan atau apapun itu. Mereka masuk ke dalam rumah. Keesokan harinya, ibu Gogo dan Doli, istri Arman, Dewi, meninggal dalam dalam tidurnya.
***
Gogo menjawab telepon dari Doli yang mengatakan kalau adiknya itu sudah sampai di Panyabungan dan sebentar lagi tiba di rumah ayahnya. Sudah pukul sembilan pagi, Gogo pun menjawab kalau ia dan keluarganya baru saja mendarat di Bandara Aek Godang di Padang Lawas Utara, dan masih harus menempuh perjalanan darat tiga jam untuk sampai ke Panyabungan.
"Dari Doli?" Tanya Jelita.
"Iya. Mereka hampir tiba." Jawab Gogo.
"Are you okay?" Tanya Jelita, dan belum juga dijawab suaminya, ia harus mengejar Tali, anaknya yang berlarian di area tunggu bandara.
Satu jam di dalam mobil yang menghantarkan Gogo dan keluarganya dari bandara ke Panyabunhan, Jelita dan Tali sudah tertidur lagi. Gogo tak bisa tidur. Di pikirannya berkecamuk beragam hal. Walau sebetulnya ia pun tak benar-benar tahu apa yang dipikirkannya.
Ia membayangkan mungkin Ishak tengah sibuk mengurusi banyak hal di rumah ayahnya. Ia takjub dengan kegigihan Ishak yang mampu bertahan di dekat ayahnya. Walau akhirnya ia pun maklum karena ayahnya teramat baik kepada orang lain, tetapi tidak terhadap keluarganya sendiri. Sudah dari dulu begitu.
Gogo pun teringat, pada pagi hari saat ibunya meninggal dulu, Ishak juga menjadi orang yang paling sibuk mengabari kerabat, melapor ke Pak RT, mengurus pemakaman, mengurus konsumsi, menjada dan menenangkan Doli yang kebingungan dan menangis karena melihat ibunya tak bergerak, menenangkan Gogo yang tak mau keluar kamar. Gogo amat terpukul, apalagi pada tengah malamnya ia bertengkar hebat dengan ayahnya. Gogo tak pernah menyangka, percakapannya dengan ibunya kemarin petang di beranda belakang adalah perbincangan terakhir dengan ibunya.
Setelah pemakaman usai dan para tetamu pulang, Gogo menyadari bahwa Ishak lah yang paling sering mengambil peran sebagai ayah baginya dan Doli. Sedangkan ayahnya sendiri absen di banyak hal setahun terakhir. Apalagi hari itu, ayahnya mengambil giliran untuk mengurung diri di kamar. Keadaan suram di rumah itu berlanjut hingga beberapa bulan, sampai ayahnya mengatakan mereka harus meninggalkan Jakarta dan pindah ke Panyabungan.
Gogo protes. Ia tak mau pindah. Gogo merasa hidupnya ada di Jakarta dan ia tak bisa langsung pergi begitu saja dan meninggalkan semua kehidupannya di sana. Apalagi meninggalkan kekasihnya dan pindah ke tempat yang selama ini hanya ada dalam percakapan di meja makan. Kampung halaman ayahnya. Sebuah tempat nun di Sumatera.
Namun, Ishak terus membujuknya. Gogo dan Doli mendengarkan Ishak. Dan setuju untuk pindah walau dengan berat hati. Gogo bertekad, segera setelah lulus SMA, ia akan meninggalkan ayahnya. Kalau bisa ia juga turut membawa Doli. Ia ingin bebas dan tak masalah sendirian asal bersama Doli dan bukan dengan ayahnya.
[Lanjut membaca eps 5]
Comments