Abu [Eps 10 - Episode Akhir]



"Soal perkebunan ayah bagimana?" Tanya Mia kepada Doli sambil menggelendot di pelukan kekasihnya itu. Keduanya bersandar pada dipan di bibir jurang, di halaman depan rumah pantai mendiang Arman. Angin pagi berhembus pelan membawa semerbak bunga matahari, mawar, baby breath, dan amarilis memberi sejuk pada dua anak manusia yang tengah berjemur itu. Di hadapan mereka, Samudra Hindia membentang di kejauhan.

"Aku tertarik, sih. Tapi, itu artinya aku akan lama di sini." Jawab Doli.

"Aku tidak masalah kalau kamu harus di sini."

"Hidupku itu kamu dan di Bali."

"Look," Mia melepas pelukan Doli dan menatap wajah kekasihnya itu, "I'm not going anywhere. Ini peluang bagus. Kamu punya bisnis kopi dari hulu ke hilir."

"What about you?"
Tanya Doli.

"Well, since I have no one to follow, I'll follow you."
"Ha ha, are you serious? It's a huge demand." Tanya Doli. Mia hanya menatapnya dan Doli tahu kalau kekasihnya itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Aku mampu enggak, ya?" Tanya Doli kemudian.

"Kita memang baru bertemu setahun terakhir. Tapi, kamu adalah laki-laki paling bekerja keras yang aku temui." Ujar Mia.

"Gosh, you're so fucking sexy, padahal cuma ngomong gitu saja." Respon Doli.

Mia mencubit mesra pinggang lelakinya.

"Well, can I have him?" Gogo tiba-tiba muncul. Mia dan Doli kompak menoleh ke arah Gogo.

"Sold!" Mia berkelakar bak pramuniaga.

Doli tercengang dibuatnya dan Gogo tertawa terbahak-bahak. Mia lalu bangkit dan meninggalkan kedua kakak-beradik itu.

"She's lovely." Kata Gogo.

"Iya, dan dia baru jual aku ke kamu, bang." Balas Doli yang masih gemas dengan celetukan Mia.

"Kita belum banyak bicara satu sama lain. Kau tahu lah kita sibuk dengan drama pemakaman ini." Kata Gogo.

"Ya, juga sibuk mencari mantan pacar ayah itu. Udah ada kabar, belum?" Tanya Doli.

Gogo menggelengkan kepalanya.

"Soal ibu itu bagaimana?" Tanya Doli lagi.

'Kita bahas nanti saja. Aku mau nanya kabar kamu. So, how are you doing?"

"Never been better. Rokok?" Doli menyodorkan bungkus rokoknya dan diterima Gogo. "Aku enggak mau merasa sedih dengan ayah atau ibu. Aku mau mulai lembaran baru. Aku fokus pada apa yang aku punya saja, sih. Pada Mia, bisnis, kalian. Aku hanya punya itu soalnya dan aku berharap kita bisa, I don't know, be like a normal family."

Gogo manggut.

"Kalau aku justru sedih. Ada penyesalan, kalau saja aku bisa lebih bersabar menghadapi ayah." Suara Gogo tercekat. Doli di sampingnya menepuk punggung kakaknya itu. "Don't you dare tell me that was not my fault. Coz I know that was not my fault."

"That was not your fault." Diucapkan Doli juga. Keduanya terkekeh dengan getir.

"He was a horrible dad. Aku berjanji pada diriku tak akan berbuat yang sama pada Talu. Aku cuma punya Talu... dan kalian tentu saja." Lanjut Gogo.

Keduanya terdiam.

"So, aku mau ngurus kebun." Ucap Doli akhirnya. Gogo mendengarkan dengan semangat. Ia tahu kalau bisnis ayahnya itu akan baik di tangan Doli. Kecakapan ayahnya itu mengalir jelas di Doli.



Pada sore harinya, Gogo dan Doli menabur abu ayahnya di laut. Ishak, Jelita, Mia dan Talu juga turut di atas perahu nelayan itu.

Pada taburan terakhirnya, Doli memutar semua kenangan di benaknya tentang ayahnya. Ayah yang menjadi orang tua satu-satunya yang ia ingat. Pada laut, ia melepas sosok keras ayahnya dalam abu itu dan membiarkannya lebur dengan semesta.

Pada taburan terakhirnya, Gogo tak mau mengenang ayahnya semasa hidup. Ia berkenalan dengan sosok ayahnya yang baru dari lembaran-lembaran buku harian ayahnya itu. Mati-matian mencitra ayah yang ia sukai justru setelah ayahnya itu tiada. Pada abu ayah di tangannya, Gogo melepasnya dengan ikhlas dan berdamai dengan Arman. "I finally love you, dad," batin Gogo.

Tak ada yang bersuara. Semua larut dalam hening yang tak sesak. Hening yang rasa-rasanya justru nyaman. Momen yang disediakan oleh semesta, tak bisa dinilai kecuali oleh cinta.

                         ***


5 Tahun Kemudian



"Cukup maaf-maafannya," ucap Jelita sambil merapikan kerudungnya.

Gogo duduk di samping Jelita, Doli dan Mia juga bersebalah. Mia menggendong Made, putra pertamanya dengan Doli yang berusia empat bulan. Ishak juga ada di situ, juga mengenakan baju lebaran berwarna torquoise yang dibuat oleh Mia. Makanan. Ketupat, rendang, lemang, aneka minuman dari sirup tersaji di meja makan. Ini adalah lebaran pertama bagi Doli dan Mia sebagai suami istri, lebaran pertama bagi Gogo dan Jelita kembali ke Panyabungan setelah lima tahun karena Jelita harus menyelesaikan S3-nya di Inggris. Lebaran pertama yang buat lega bagi Ishak karena akhirnya Doli dan Mia menetap di Panyabungan dan menempati rumah mendiang Arman.

"I have news," lanjut Jelita, "Talu mana, sih?"

"Dia di teras, dia sibuk main game sama Ibnu." Jawab Doli. Ibnu adalah anak angkat Ishak yang berusia enam tahun.

"I'd been keeping this for a month, I had to make it sure before I come up and telling you guys, termasuk untuk suamiku." Ucap Jelita. Gogo menatap istrinya itu dengan kening yang berkerut karena penasaran.

"You are not asking for a divorce, are you?" Tanya Gogo.

"You ruin this. Of course I am not." Jawab Jelita. Semua orang tertawa. "Here it is. I am pregnant!" Ucap Jelita setengah berteriak karena bersemangat.

Mereka semua yang mendengarkannya terkejut. Bahkan Gogo pun terkejut. Ia tak menyadari kalau istrinya itu tengah mengandung anak keduanya.

"I love you." Kata Gogo dan bangkit memeluk istrinya itu. "Sanggup kali kau nyimpan semua ini." Lanjut Gogo.

"Well, another Nasution is in the making. Congratulation." Respon Doli dan bangkit memeluk kakak ipar dan abangnya itu.

"But Made is still the cutest kid in the house." Kata Doli lagi.

Semua orang kembali tertawa.


"Ayah, ada tamu!" Talu muncul.

"Oke, aku yang cek." Ucap Doli. "Kamu bakal punya adik lagi Talu." Bisik Doli saat melewati keponakannya itu. Mata Talu terbelalak.

"Mom, a baby? Really?" Respon Talu ketika Doli berlalu.

Jelita tersenyum dan mengangguk. Talu masih terbelalak.

"Come on, Kid. I was like in your age when Uncle Doli was born. It's gonna be fun." Gogo mendekat ke arah Talu dan mengajaknya bergabung ke meja makan.

"Yeah." Respon Talu. "But I won't share my Coco Crunch."
"Made will."
Potong Mia.

"Aku main sama Ibnu saja." Lanjut Talu dan berlari ke teras.

"He doesn't ask for your Coco Crunch, right?" Ledek Mia.

Semua orang tertawa lagi.



"Bang!" Ajak Doli dengan ragu kemudian ia kembali ke ruang tamu Wajah Doli pucat. Gogo yang heran berjalan mengikuti adiknya itu.

Di ruang tamu ia mendapati Doli tengah duduk dengan seorang lelaki tua berambut perak. Lelaki itu mengenakan baju koko dengan celana jins.

Gogo berjalan pelan ke sofa dan menyalami tamu yang tak ia kenal itu. Mungkin rekan bisnis Doli. Tetapi kalau rekan bisnis adiknya, mengapa Doli memintanya untuk bergabung.

"Gogo." Ucap Gogo dan menyalami lelaki itu.

                         ***

Semak aramenting bergoyang hebat seiring angin yang kuat mendesing. Musim kemarau terasa sejuk di atas sini. Berbanding terbalik dengan di Panyabungan yang terasa kering. Dari puncak Sorik Marapi, kota kecil itu makin terlihat kecil di bawah sana. Terselip di tengah-tengah belantara biru. Seolah terjebak di perut amuba.

"Bapak baik-baik saja?" Tanya Gogo kepada lelaki itu. Lelaki tua itu tampak amat kelelahan setelah dua jam lebih pendakian. Keringat membuat gurat-gurat usia di wajahnya makin timbul.

"Bapak baik-baik saja. Seharusnya ada di sekitar sini." Jawab lelaki itu. Tongkatnya menusuki semak belukar, mencari-cari pertanda atau apapun yang terlihat familiar baginya.

"Mengapa di sini?" Tanya Gogo. Doli sibuk membantu lelaki tua itu menyiangi semak. Doli mencari hal yang sama walau tak tahu itu apa.

"Bapak tak tahu pasti. Arman tak pernah bilang alasan sebenarnya apa. Tapi dia sempat menulis mengapa ia menyukai gunung ini. Dan tulisan itu tersimpan di di dalam tanah di sekitar ini." Lanjut lelaki itu. "Tak banyak perubahan di puncak ini. Kalengnya pasti masih ada. Coba gali di situ." Tunjuk lelaki itu.

Doli pun bergegas menggali tanah yang ditunjuk lelaki itu.

"Mungkin karena cewek enggak boleh naik, kali. Makanya ayah suka." Doli menggumam.

"Well, let's find out!"
Seru Gogo yang juga turut menggali. Ransel yang ia kenakan, dilepas dan ditaruh di tanah.

"Bapak minta maaf." Ucap lelaki itu lagi. Ada kegetiran di suaranya.

Gogo menoleh ke arah lelaki itu.
"Tak perlu minta maaf. You both were in love." Balas Gogo.

"Semua orang punya masa lalu, pak." Doli meningkahi.

"But I tried to get him back. Even if I'd known that he belonged to someone else. And it hurt her and you two."
Gogo bangkit.

"It's over. He choosed her." Ujar Gogo.

Lelaki tua itu berbalik membelakangi Gogo dan Doli. Gogo bisa melihat punggung renta itu berguncang. Detik itu Gogo tahu kalau rahasia lelaki itu sudah terungkap dengan jelas. Lelaki itu tak dapat menyembunyikannya lagi. Dan Gogo sedikit menyesal telah melihat itu.

"Hei, I've found it!" Seru Doli.

Gogo menoleh ke arah Doli dan bergegas mendekat. Lelaki tua itu juga menoleh sebentar, kemudian ia berjalan menjauh dari kakak-beradik itu. Lelaki itu berjalan ke bibir kawah. Matanya basah.



Tak lama Gogo dan Doli menyusul lelaki tua yang tengah duduk berselonjor di tanah di dekat bibir kawah.

"Pak Dongan, aku pikir ini punya bapak." Ucap Doli. Ia memberikan sebuah amplop bertuliskan nama Dongan.

Lelaki tua bernama Dongan itu menerima amplop yang diberikan Doli.

"Kalian sudah baca tulisan Arman?" Tanya Dongan pelan.

Gogo dan Doli mengangguk dan keduanya mengambil posisi duduk di dekat Dongan.

Dongan mendesah pelan.
"Amplop ini sudah terkubur lebih dari empat puluh tahun. He supposed to read this. I read his. I wish he could."
"You can read his letter."
Doli memberi amplop bertuliskan nama Arman kepada Dongan.

Dongan membaca surat itu dalam hati dan ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Surat itu sedikit basah oleh air matanya yang terus berjatuhan.

Doli tak tahu harus berkata atau berbuat apa selain mendekat dan mengelus pundak kekasih masa muda ayahnya itu.

"You know what,
di kehidupan lain, mungkin kami adalah anakmu dengan ayah. It sounds crazy, but, you know life is crazy. I'm just trying to cheer you up. I guess." Ucap Doli.

"Maafkan bapak sudah menangis." Ucap Dongan dan menyeka air matanya.

"You can say goodbye to him," lanjut Gogo. "Aku masih menyimpan sedikit abu ayah." Gogo mengeluarkan guci yang menampung abu Arman lima tahun lalu.

Dongan menangis kembali. Dibantu Doli, lelaki tua itu bangkit dan menerima guci itu dari Gogo. Ia juga memeluk putra sulung dari satu-satunya lelaki yang pernah ia cintai di hidupnya.

Dongan bergerak lebih dekat ke bibir kawah. Dihidunya udara dalam-dalam. Ia kumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan membuka penutup guci itu dan meletakkannya di tanah.

Dari belakang, Gogo dan Doli mengawasi.

"Dia enggak bakal loncat ke kawah, kan?" Tanya Doli kepada Gogo dan dibalas dengan sikutan ke bahu adiknya itu.

"He still loves him. I can see it."
Ucap Doli lagi.

"Definitely!" Jawab Gogo. "Aku pikir entah apalah yang ditulis ayah di kapsul waktunya itu." Lanjut Gogo.

"I told you, pasti karena gunung ini enggak boleh dinaiki cewek. Jadi, ayah merasa gunung ini merepresentasikan dirinya, termasuk seksualitasnya." Jelas Doli.

"Tapi, cewek enggak boleh naik bukan karena gunung ini khusus untuk homoseksual, tapi karena kepercayaan lokal saja." Lanjut Gogo.

"Yang bilang gunung khusus homoseksual, siapa? Dad just wanted to simbolized. People do it everytime." Jawab Doli.

Gogo manggut-manggut.

"Kamu enggak punya rahasia, kan?" Tanya Gogo kepada Doli.

Doli tak menjawab. Matanya menyiratkan sesuatu yang ia tutupi dengan segaris senyum di bibirnya.

"You have? Tell me." Desak Gogo.

"Kalau dibilang bukan rahasia lagi, namanya." Balas Doli.

"Bikin pening, enggak? Kayak rahasia ayah?" Tanya Gogo lagi.

"It's secret. Rahasia di atas rahasia." Jawab Doli dan ia menekankan itu berharap agar Gogo tak mendesaknya lagi.

Gogo yakin semua orang punya rahasia. Dan ia juga tak benar-benar berharap untuk tahu rahasia Doli. Ia malah ragu adiknya itu punya rahasia besar a la ayahnya dan hanya bergurau saja.

"Ayo turun, nak!" Ucap Dongan kepada Gogo dan Doli. Ia sudah selesai menabur abu terakhir Arman.

Pada abu terakhir Arman, Dongan menaruh rindu. Pada abu terakhir Arman, Dongan menuai sesal dan luka yang teramat dalam. Pada abu terakhir Arman, Dongan merapal sebaris doa. Pada abu terakhir Arman, Dongan membisik cinta. Cinta yang ia jaga hingga lama. Cinta yang tak bisa benar-benar ia perjuangkan. Cinta yang butuh seumur hidup untuk menyadarinya. Pada abu terakhir Arman, Dongan melepas cinta pertama dan satu-satunya di hidupnya.

                        ***

"What's next?"
Doli bergabung dengan Gogo dan Ishak yang bersantai di bawah pokok jambu di halaman samping rumah Doli di Panyabungan. Dulu, di bawah pokok jambu ini, Gogo pernah bertengkar hebat dengan ayahnya.

"Enjoying life! Moving on, perhaps!"
Gogo berusaha untuk terdengar yakin.

"I see doubt in your voice." Balas Doli.

Gogo melihat Doli dan menangkap maksud dari adiknya itu.

"Jangan bilang... Hmmm... Enggak bakalan...Jelita lagi hamil. Kabar ini akan mengejutkan baginya." Cegah Gogo.

"Mungkin enggak lama. Beberapa hari saja." Lanjut Doli.

"Tetap saja, aku enggak mau."

"Ini soal ibu, loh. Aku cuma tahu sedikit tentang ibu dan ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk mengenalnya. Bagi kamu juga, bang." Doli terus meyakinkan Gogo.

"I am not ready. It takes time."

"I'll wait! How about that?"


Gogo melipat kedua tangannya di depan dada. Menimbang-nimbang tawaran Doli.

"Maluku?" Ujar Gogo.

Doli mengangguk.

"Alright. You go, I go." Gogo memutuskan.

"Asik!" Seru Doli. "Aku sudah merencakanan beberapa hal..."

"Hush! Not today, bro." Potong Gogo.

Ishak menyimpul senyum melihat tingkah-polah kedua anak mendiang tuannya itu.

Talu dan Ibnu datang menenteng dua plastik penuh gorengan. Jelita dan Mia menyusul di belakanganya, membawa teh dan kopi.

Keturunan Arman dan Dewi itu menatapi senja ungu yang menciumi bukit. Maherat di baliknya, seolah membawa pergi cerita bumi hari itu dan menyimpannya sebagai sebuah rahasia.


                           TAMAT

Comments