Bokek [Eps 1]
Aku membutuhkan ini!
Bersantai di atas tebing di pinggir pantai, menikmati matahari pagi dengan ikan-ikan yang siap menyantap umpan di pancinganku. Pasti Nemo atau kawan-kawannya akan memakan umpanku, aku percaya itu. Atau mungkin Spongebob yang akan makan umpannya. Tunggu sebentar, Spongebob itu spons. Pemancing mana yang mau dapat spons? Tuan Crab boleh juga, walau kecil kemungkinan seekor kepiting memakan umpanku, tetapi itu akan jadi hal yang keren. Kalau bisa sekalian dengan dolar-dolarnya. Pagi di atas tebing ini adalah sesuatu yang kubutuhkan setiap Minggu sebelum siang nanti harus ke pasar untuk belanja bahan-bahan warung makan Mom. Sebelum akhirnya terjebak di warungnya hingga malam.
Kalau aku bilang aku mau bersantai kepada Mom, dia akan mengomel. Ada saja yang akan ia keluhkan. Aku yang pemalas, aku yang hanya menghabiskan uang (padahal kebanyakan adalah uang yang kuhasilkan sendiri), dan aku yang tak bisa seperti Yudi anak Wak Kaya atau Reno putra sulung Bude Maryam atau Benni sepupuku (sejak jadi anak Jakarta dia mengubah tulisan Benni jadi Benny dan berbicara dengan lu-gua-dan logat anak Jakarta yang aneh kalau dipakai di Natal ini.) Mereka muda, sukses, dan kerja di gedung-gedung pencakar langit di Jakarta sana. Sedangkan aku hanya jadi penjaga perpustakaan kecamatan di Natal ini. Sebuah kota kecamatan yang lebih mirip kelurahan.
Satu lagi, kalau aku bilang "Mom, aku mau bersantai," Mom akan berkata, "bukankah itu yang kamu lakukan selama ini?"
Aku mau saja kerja yang lain kalau aku tahu harus kerja apa lagi, tentu saja. Lagi pula aku tak punya keahlian lain selain kesabaran menunggu pelanggan perpustakaan. Gajiku di sana memang amat sangat kecil. Tapi, aku senang bekerja di perpustakaan. Aku bisa bersantai dengan buku di tangan (walau kebanyakan buku yang tersedia seperti berhenti di dua puluh tahun lalu,) dari pagi hingga siang. Tak ada pelanggan perpustakaan lagi di zaman ini. Di satu sisi, perpustakaan ini memang menyedihkan (kalau bukan aku yang menyedihkan,) tapi di sisi lain itu juga memudahkanku karena aku tak perlu bertemu remaja-remaja tanggung yang minta dicarikan buku dengan judul sama dengan label rak di depan bola matanya berdiri. Tahu maksudku, kan?
Ya, hidupku pada dasarnya sedikit santai, kalau tak mau dibilang cukup santai seperti kata Mom. Hei, tapi aku bekerja. Itu yang terpenting, bukan? Menanyakan pekerjaan orang lain selalu menjadi bahan basa-basi untuk bertanya. Kalau kata Benny, di Jakarta tambah satu lagi: mereka selalu butuh terapi.
Lagi pula, tak ada yang peduli dengan hidupku yang santai. Oh, tentu Mom sangat peduli. Kalau Mom peduli, mengapa ia dulu tak memberiku uang untuk kuliah? Alih-alih hanya bekerja sebagai pustakawan bergaji rendah sebab hanya lulusan SMA. Mom selalu beralasan ia sudah tak punya uang sejak bercerai dengan Dad saat aku masih SMP. Aku tentu memaklumi kondisi keuangan Mom waktu itu dan tidak mempermasalahkan nasibku yang tak kuliah seperti teman-teman yang lain. Masalahnya adalah Mom selalu menuntutku untuk berbuat lebih. Harus punya pekerjaan bagus yang menghasilkan banyak uang dan tentu saja tak boleh bersantai. Well, Siapa yang tak mau sukses? (Biarpun ukuran sukesnya adalah bergaji besar.) Apa boleh daya, aku hanya lulusan SMA.
Jangan bilang tak ada yang salah dengan hanya menjadi lulusan SMA karena-setiap-orang-punya-kesempatan-yang-sama-untuk-sukses. Omong kosong, yang dicari juga lulusan kampus, kalau bisa kampus-kampus negeri terbaik dengan IPK di atas tiga koma (biasanya ini golongan orang-orang yang tak bisa bersantai.) Aku mungkin terdengar sedikit sinis, yeah bisa jadi karena aku iri pada mereka yang bisa kuliah.
Ini hidupku dan aku cukup puas dengan ini.
"Yakin, Mar? Lu memang enggak pintar, tapi bukan bodoh juga." Benny mengatakan itu saat pulang lebaran kemarin. Dia adalah sepupuku, kami seumuran tapi waktu SMA beda kelas. Dia kini bekerja di balik kubikal salah satu perusahaan Jakarta.
"Enggak tahu, deh. Lagian sudah terlambat juga." Kilahku. Well, aku memang merasa sudah terlambat.
"Tak ada kata terlambat. Kalau enggak dicoba, kamu enggak bakal tahu. Kamu emang mau menghabiskan seluruh masa produktifmu di perpustakaan bobrok itu? Atau di warung makan ibumu. No offense, tapi warung itu tak ada masa depannya." Timpalnya.
Wah! Komentar itu cukup radikal. Pertama, aku suka bekerja di perpustakaan 'bobrok' itu. Yeah, aku tak memikirkan apakah akan bertahan lama atau sebentar di sana. Lagi pula aku sudah bekerja tiga tahun di sana dan gajiku bisa untuk membayar televisi kabel. Kedua, warung makan Mom memang bukan aset yang patut dibanggakan. Hanya warung makan biasa dengan menu pesisir dan menu Mandailing. Pelanggannya juga kebanyakan orang-orang Natal juga, sesekali di akhir pekan, itu juga kalau beruntung, para turis bermodal minim yang kebetulan lewat atau kebetulan tersesat dan melihat warung makan Mom sebagai satu-satunya pilihan rasional untuk beristarahat dan bertanya arah.
Baiklah, Natal, kotaku, adalah kota kecamatan super kecil. Mungkin seukuran satu atau dua kelurahan saja. Dihuni oleh orang yang hampir semuanya saling kenal. Punya beberapa pantai yang sebagian besar penuh sampah atau sapi-sapi yang bebas berkeliaran (oke, ini mulai terdengar mengerikan.) Jangan bayangkan Bali, Natal ini buruk. Kayak sejuta kali lebih buruk.
Seperti yang kubilang, beberapa pantai ada yang bagus. Ombaknya memang tak besar, tapi ada pulau dan kalau ditambahkan wilayah Batahan yang bertetangga, pilihan pantainya jadi lebih banyak. Hanya saja semua pantai ini tidak diolah dengan baik oleh pemerintah. Ini seperti perawan dan masih sama sejak dicipta Tuhan. Yah, bedanya sekarang tentu dengan tambahan sampah. Oh, manusia memang sangat pandai mendandani alam. Tetapi, obyek wisata yang bagus harus terkonsep, bukan? Bukan mentah-mentah menerima pemberian Tuhan. Jalan dari Panyabungan (kota kabupaten) saja buruk.
Yah, mungkin maksud Benny, hidupku menyedihkan jika bertahan di Natal ini. Aku, pemuda menjelang 24 tahun, bekerja di perpustakaan kecamatan (pelanggannya tak sampai sepuluh orang per minggu,) dengan gaji super rendah pula, dan hidup bersama orang tua yang berharap pada industri pariwisata lokal yang tak kunjung bergerak.
Mungkin cukup menyedihkan.
Di mata Benny, Yudi, Reno, Mom, atau kebanyakan orang hari ini untuk menjadi manusia sukses adalah punya pekerjaan dengan gaji besar di kota besar. Sebuah syarat untuk menjadi manusia modern dan menganggap tak ada yang tersisa di kampung nun di pelosok ini.
Mungkin mereka lupa, pura-pura lupa, atau tidak menyadari kalau mereka awalnya hidup dari apapun yang kampung sediakan. Sebelum akhirnya mereka pindah ke kota dan menjadi sapi yang diperas tenaganya dari pagi hingga sore. Lalu sesekali pulang kampung untuk menengok segala 'kelambatan' di sini (bisa jadi kami yang di kampung ini dianggap bak pajangan di kebun binatang,) dan berkoar-koar membanggakan kehidupan kotanya.
Kampung atau kota kecil macam Natal ini juga menyediakan lapangan pekerjaan, kok. Kamu bisa jadi Nelayan (kamu bisa menangkap tuna, kulihat di kanal Natgeo harganya sangat mahal - yah, kalau laut Natal ada tunanya, sih,) bisa buka grosir (atau warung kecil saja sebab grosir aneka bentuk sudah dimonopoli oleh para haji dan toke beserta keturunannyam.) Intinya hidup di Natal juga bisa punya karier bagus, kurasa. Kalau mau bekerja keras, bisa saja, bukan? (Jangan bilang aku terdengar seperti motivator konyol di televisi. Aku justru terdengar seperti mencari pembenaran untuk nasibku yang hidup di kampung.)
***
Aku tengah menyiram sisa arang di tungku pembakaran ikan saat Mom berteriak memanggilku dari dalam warung makan. Aku baru saja selesai membakar ikan yang kubeli di pasar tadi siang. Bukan, ini bukan ikan yang kupancing karena tak satu ikan pun sudi memakan umpanku.
Jalanan di depan warung masih sepi. Sebentar lagi para remaja pria tanggung akan melintas dengan motor bebek dan kekasihnya di boncengan. Mereka akan berkendara ke arah tenggara, mencari pantai sepi untuk bermesraan. Dulu aku begitu juga bersama Lia. Kira-kira apa kabarnya dia? Terakhir kudengar dia sudah kawin dengan pemuda, pekerjaannya guru honorer.
Aku masuk ke dalam warung dengan ikan bakar di tangan dan langsung menjumpai Mom.
"Ada apa, Mom?" Tanyaku. Mom sibuk menyendoki rendang ke dalam baskom kaca.
"Kamu sekarang pergi ke rumah Tulang Irfan, jemput duit. Mom perlu duitnya untuk biaya Ali besok."
"Sekarang?"
Mom mengangguk. Air mukanya biasa saja. Datar tanpa terbebani sudah memberiku tugas. Ekspresi mukaku yang tak bisa biasa saja. Kecut bagai mencecap asam. Muak kepingin muntah.
"Aku jam tiga mau main bola." Aku menahan intonasi suara, sebisa mungkin tak terdengar kesal. Tulang Irfan itu tinggalnya di Simpang Gambir dan itu butuh satu setengah jam lebih untuk pergi dan pulang. Belum lagi basa-basi nanti.
"Damar!" Oke, Mom yang ambil peran kesal. Harusnya aku, dong! "Mom minta tolong ke kamu karena adikmu harus ambil bajunya ke tukang jahit. Lagian apa susahnya, sih?"
Aku tahu ini akan terlihat konyol dan terlihat membuatku terlihat cemburu kepada Ali, adikku. Tapi, Mom memang terlalu memanjakannya. Hidupnya seolah hanya untuk Ali. Padahal waktu aku seumuran Ali, enggak pernah diperlakukan seperti itu. Aku justru harus bekerja di warung termasuk hari Minggu (sampai sekarang, sih.) Sedangkan Ali, oh Tuhan, Senin sampai Sabtu dia sekolah, sore hari dia les ini dan itu. Jangan tanya soal hari Minggu. Hari itu ibaratnya Hari Ali dan harus dirayakan olehku dengan membabu di warung Mom. Setiap Hari Ali, ia hanya perlu bangun, sarapan, lari pagi, mandi, pergi latihan silat, pulang untuk makan siang dan istirahat, lalu berangkat untuk nge-gym demi membentuk ototnya (yah ototnya cukup mengesankan, berbentuk tapi tidak terlalu berisi,) lalu pulang lagi untuk mandi sore harinya dan malam hari, ia hanya makan, mengerjakan pekerjaan rumah dan beristirahat untuk Seninnya yang menakjubkan di sekolah.
Baiklah, aku tahu semua itu dilakukannya untuk masuk ke akademi polisi dan benar saja dia sudah diterima untuk itu. Tapi, maksudku adalah Ali sudah cukup mendapatkan perlakuan spesial selama ini dan untuk menjemput uang yang akan dia gunakan pun harus aku? Sebuah kehidupan yang tak adil.
Lagi pula, hari ini Ali enggak melakukan apapun selain packing untuk keberangkatannya besok pagi ke Panyabungan sebelum bertolak ke Semarang pada malam harinya. Enggak mungkin dia tidak punya waktu satu setengah jam di Hari Ali ini untuk sekadar mengambil uang ke rumah tulang.
Tapi, aku menuruti Mom saja. Seperti selama ini.
"Oke! Aku jemput uangnya. Apapun demi pak polisi kita." Aku tahu kesal dan jengkel sangat terasa dalam intonasi suaraku. Dan aku tak berusaha untuk menyembunyikan itu lagi. Mom? Tentu saja ia mengomel dan aku segera pergi dan tak menghiraukan omelannya lagi.
Aku mungkin cemburu karena segalanya terlihat mudah bagi Ali. Dari SD ia selalu juara kelas, jadi perwakilan kabupaten untuk olimpiade matematika nasional, ketua OSIS, dan kapten tim futsal di sekolahnya. Jangan komentar soal fisiknya. Tinggi kami tak jauh berbeda, cuma beda lima senti. Dia 180 senti dan aku 175 (anugerah ini didapatkan dari Dad yang super tinggi,) wajahnya indo (aku juga, sih) dan ini lagi-lagi didapatkan dari Dad yang orang Inggris. Hebatnya lagi, Ali itu pandai bergaul. Dia bukan kutu buku yang aneh dengan kaca mata tebal. Dia adalah kebalikan dari semua stereotip kutu buku.
Dan Ali bisa kuliah. Besok malam dia akan bertolak ke Semarang untuk memulai studinya di akademi polisi. Ali pantas mendapatkan semua itu karena ia sudah bekerja keras selama ini. Akan lebih menyedihkan mekihat ia tak lulus. Bisa-bisa ia menyudahi hidupnya. Atau kalau dia berkenan, aku tentu bisa mengajarinya jadi pecundang yang baik. Macam penilaian Mom padaku (kalau Ali sepicik itu juga.) Dan Mom? Oh, Tuhan! Mom jauh lebih gila lagi mempersiapkan semua ini.
Mom sangat mendukung pilihan Ali untuk jadi polisi. Mom bertahun-tahun menabung dan membelikan banyak sekali buku tes dan tips untuk jadi polisi, mengikutkan Ali di bermacam les dan ekstrakulikuler, kegiatan fisik-mental (kurang metafisika saja!) Bahkan dulu di kelas sebelas, Mom menekan kepala sekolah Ali untuk memasukkan adik-super-kerenku ke dalam tim pasukan pengibar bendera. Sekolah sempat menolaknya karena Ali harus fokus di kejuaran olimpiade keduanya yang akan segera digelar. Namun bukan Mom namanya jika tak bisa mengusahakan itu (apalagi embel-embel mantan anggota paskib, bagi Mom, bisa jadi bahan pertimbangan masuk akpol.) Mom mengancam untuk memindahkan Ali ke Panyabungan (tentu saja sekolah tak mau kehilangan aset sebagus Ali) dan menyetujui Ali untuk masuk dim paskib. Kepala sekolah berpikir setelah selesai tujuh belasan, Ali bisa kembali fokus persiapan olimpiade. Namun, adikku itu masuk seleksi provinsi dan tembus nasional. Yap, dia jadi satu dari sekian muda-mudi paskibraka di istana. Aku tak tahu dia di barisan atau tim mana. Bagiku semuanya mirip di televisi.
Ali adalah siswa pertama dari Mandailing Natal yang jadi anggota paskibraka sejak kabupaten ini berdiri di tahun 1999 lalu. Kurang mengesankan apa lagi?
Sebelum ke tempat tulang, aku mampir sebentar ke salon Daniella untuk bertemu Boy untuk bilang kalau aku tak bisa ikut main bola sore ini. Kami bertiga bersahabat. Walau sedikit kecewa, tapi Boy mengerti juga.
"Rame, Nil?" Aku bertanya kepada Daniella. Dulu namanya Daniel. Ia mengganti namanya karena merasa ia adalah perempuan dan terjebak di tubuh laki-laki. Ia berhenti sekolah sejak SD dan kabur dari rumahnya di kampung dekat Panyabungan sana, beberapa tahun kemudian karena pilihannya menjadi waria ditentang keluarganya. Sejak saat itu, Daniella kecil berpindah-pindah tempat, di mana saja ada waria lain yang memperkerjakannya. Nasib membawanya ke Natal dan ia berhasil membuka salonnya sendiri. Aku dan Boy mulai akrab dengan Daniella sejak kami SMP.
"Iya. Sepi, Mar." Jawab Daniella sambil menyuruh Boy untuk mencuci rambutnya sendiri yang habis dipotong. Walau mengeluh, Boy tetap mencucinya juga. Yah, mau enggak mau, soalnya potong rambut itu gratis. Kami memang tak pernah bayar kalau potong rambut. Bukan enggak mau bayar, Daniella saja yang tak pernah menerima uang kami. Ia hanya mau menerima upah kalau kami mewarnai rambut, cuci muka, mengkeritingkan rambut atau rebonding. Yup, we've done everything. Syarat manusia modern mana lagi yang perlu diragukan dariku. Rambutku saja kuwarnai macam monyet.
"Kau potong rambut sekarang?" Tanya Daniella lagi kepadaku. Aku dan Boy memang janjian untuk potong rambut sebelum main bola.
"Nanti malam saja."
"Ya sudah."
Aku dan Boy pamit. Dia pergi ke lapangan main bola dan aku pergi ke rumah tulang menjemput uang.
***
Pertanyaan pertama yang kudapati dari Tulang Irfan adalah bagaimana pekerjaanku di perpustakaan. Sebetulnya pertanyaannya itu biasa saja, motif di belakangnya yang bikin bete. Pertanyaannya itu lebih ke arah apakah-aku-masih-betah-dan-yakin-untuk-bekerja-di-perpustakaan-bobrok-itu dibanding benar-benar menanyakan kabar pekerjaanku.
Tentu aku menjawab normatif dan bilang kalau pekerjaanku baik-baik saja.
Aku heran mengapa banyak sekali orang yang mempermasalahkan pilihanku bekerja di perpustkaan kecamatan. Apa mungkin karena statusku bukan tenaga honorer, kali, ya? Orang di sini, kan, bangga sekali dengan status honorer atau istilahku memakai seragam PNS wanna be. Buktinya Lia meninggalkanku demi kawin dengan guru honorer itu.
Sekilas wajahnya kesal ketika kutanyakan soal uang yang akan kuambil. Sesuai perintah Yang Mulia Mom untuk biaya sekolah Putera Mahkota Ali. Tulang Irfan lalu bergegas ke dalam kamar dan keluar kembali dengan segepok uang di dalam kantong kresek hitam.
Aku menerima uang itu dengan otak dipenuhi skenario mengakhiri kunjungan yang tak kusukai ini.
"Bilang sama ibumu. Mom-mu itu." Katanya. Oke, kupikir tak perlu menekankan kata Mom hanya karena kami mempunyai panggilan yang agak bule dan tak lazim di sini. Lagi pula, Dad memang bule, kok. "Tiga juta lagi, tulang bayar bulan depan."
Aku mengangguk dan setelah meminum teh yang terlalu manis dan melewati basa-basi tak penting dengan kekikukan yang amat terasa, aku berhasil pamit. Jam dan cuaca kujadikan alasan jitu (dan tak pernah gagal, bukan?) untuk segera pulang.
Langit sudah gelap saat aku tiba di warung makan Mom. Ia sedang melayani pembeli saat aku masuk. Sekilas kulirik jejeran baskom berisi aneka menu jualan Mom dan belum ada yang benar-benar habis. Termasuk ikan yang kubakar tadi siang.
Aku ke dapur bermaksud meluruskan kaki atau berbaring di atas dipan. Dan aku melihat Ali di situ. Aku memintanya mengambilkan segelas air putih.
"Ini uangmu." Kukatan begitu ketika Ali memberiku segelas air. Wajahnya terkejut mendengar perkataanku. Namun ia tak berkomentar apa-apa dan menerima kantong kresek berisi uang itu dan beralih ke depan. Tentu menjumpai Mom.
Tak kusangka anak kecil itu akan segera kuliah. Rasanya baru kemarin kubuat dia menangis dengan menginjak-injak mainannya atau saat aku harus menenangkannya yang histeris mendengar Mom dan Dad bertengkar. Anak sekecil dia tentu tak seharusnya mendengar itu. Termasuk aku, walaupun sudah SMP. Bagaimanapun, kami berhasil melewati masa-masa sulit perceraian Mom dan Dad. Termasuk ketika kami harus bangkrut setelah kepergian Dad. Sampai sekarang kami masih miskin, sih.
Tapi lihat Ali, dia sudah besar dan juga sukses melewati fase buruk itu. Hormon-hormon pubertas juga terlihat bekerja dengan sempurna pada dirinya. Kulitnya lebih coklat dibanding aku. Kalau kata Daniella, Ali lebih tampan daripada aku. Mungkin Daniella hanya khilaf dan karena kami terlalu dekat selama ini sehingga dewan juri estetika di otaknya tak bekerja dengan benar. Tentu saja aku lebih tampan dibanding Ali. Terima kasih banyak.
Tapi, apapun yang lebih baik pada Ali dibanding aku, tetap kuterima. Karena itulah aku, Mister Penerima Segalanya.
"Ini kurang tiga juta lagi." Tiba-tiba Mom teriak dari arah depan. Aku dengar, tapi masih memilih untuk berbaring ria di atas dipan. Aku membutuhkan ini setelah melayani ratu dan pangeran. Mom menghampiriku ke dapur warung dengan tangan penuh uang. "Kamu tilap, ya?"
Apa? Aku makan uang itu? Hal pertama yang terbersit di benak Mom adalah aku mencuri tiga juta kekurangan uangnya? Bukan sesuatu seperti, "Oh mungkin saja adikku-tulangnya anak-anak- baru bisa membayar uang sejumlah ini yang harusnya sejumlah itu. Apa tulangmu ada bilang sesuatu?" Atau, "terima kasih, Damar, sudah mau jemput uangnya jauh-jauh ke Simpang Gambir."
Yang kuterima justru tudingan pencurian.
"Abang enggak mungkin nyuri, lah." Ali buka suara. Dia benar karena aku memang tidak mencuri.
"Kamu jawab, dong. Ditanya diam saja." Desak Mom.
Aku bangkit dari rebahku yang nyaman.
"Tulang bilang tiga jutanya dibayar bulan depan." Aku menjawab datar. Walau kepalaku dipenuhi kejengkelan. Aku hanya sedang malas memuntahkannya dan mengkritik prasangka Mom.
"Oh! Harusnya langsung dibilang. Ini bikin kaget saja." Begitulah. Hanya itu yang Mom katakan dan dia langsung kembali ke depan ke hadapan baskom-baskom masakannya. Mom enggak minta maaf atau mengatakan sesuatu untuk menenangkanku (harusnya Mom tahu, dong, kalau aku kesal. Orang tua apalagi seorang ibu harusnya bisa melihat ke dalam hati anaknya, kan?)
Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulut Mom adalah rutukan kepada tulang karena adiknya itu tak lunas membayar sisa uang warisan Mom yang ia pinjam.
"Jangan diambil hati." Kata Ali.
Aku enggak ambil hati, kok. Aku, kan, Mister Penerima Segalanya.
"Abang pulang saja biar aku nanti yang bantuin Mom menutup warung."
Terus tadi kamu kemana waktu harus jemput uang ke Simpang Gambir. Oh, ambil baju di tukang jahit dan kamu super sibuk di Hari Ali ini sehingga tak sempat. Tentu saja.
"Thanks."
Aku mengangguk. Paling tidak masih ada yang mengucapkan terima kasih atas jasaku. Biarpun bukan Mom dan hanya Ali. Aku juga tak tahu apakah ucapan terima kasihnya untuk jasa penjemputan uang atau untuk segera mengusirku secara halus dari warung makan Mom ini.
Sudahlah, aku tak peduli juga.
Aku terima saja. Apapun itu!
Rasanya otakku mau meledak dengan drama keluarga kerajaan ini. I deserve an intimate time with my own self on bed.
[Lanjut membaca episode 2]
Comments