BOKEK [EPS 2]
Setelah tiba ke rumah, aku keluar lagi dan nongkrong dengan Boy di salon Daniella. Aku pulang lagi ke rumah menjelang tengah malam. Di dekat sofa sudah berjejer satu koper besar, dua tas jinjing besar, dua ransel besar dan satu kardus kecil. Pasti itu barang-barang yang akan Ali bawa besok.
"Wow," Ali muncul dari dapur, "aku enggak tahu kalau kita juga keturunan Donald Trump." Sudah pasti Ali mengejek warna baru rambutku. Daniella mengecatnya dengan warna pirang. Aku suka, sih. Walau warna asli rambutku adalah hitam, warna pirang ini juga masih dapat ditolerir oleh warna kulitku. Bahkan aku merasa warna pirang ini membuat kulitku lebih cerah.
Aku hanya mengernyit sedikit dan memberikan ekspresi this-is-my-life-and-I-don't-care-what-you're-thinking-about-it menanggapi ejekan Ali itu.
"Yang ngecat pasti pacarmu itu. Nyonya Daniella?" Ali terus mengejek. Oh, kau tak akan mampu membuatku panas anak muda.
"Ya, ini lebih baik dibanding rambut dua sisirmu." Ups, potongan rambut Ali yang super pendek memang cukup membosankan.
"Ini rambut polisi, bro."
"Tentang itu, aku yakin dalam sepuluh tahun, kau bakal kayak polisi konyol yang lain, perut besar dan kepala botak, lalu puncak kariermu hanya akan menjadi polisi yang menyelamatkan nenek-nenek yang tak bisa bangkit dari kasurnya." Damn, I feel so good saying those stuff.
"Oh, jealousy is in the air." Balas Ali.
Apa? Aku cemburu? Aku memang sedikit cemburu dengan betapa mudahnya kehidupan Ali, tapi bukan dengan pilihannya menjadi polisi. Siapa yang peduli dengan polisi. Kalau pun ada yang mau menyekolahkanku ke akademi polisi, pasti kutolak.
"Sorry, bro. Paling tidak aku bebas dan tidak kaku. Santai sedikit lah." Oh Tuhan, dari semua hal di dunia ini aku menyuruh dia untuk santai.
"Kalau urusan santai, aku enggak bisa ngalahin kau." Balas Ali. Yap, aku menyesal bilang itu.
"Ini untuk kau, bang." Ali menyodorkan ponselnya. Sebuah ponsel dari pabrikan Korea. "Sudah saatnya kau beralih ke android dan bergabung dengan manusia modern lainnya." Lanjut Ali.
Hei, I love my polyphonic phone!
"Hapemu apa, dong?"
"Miskah kasi iPhone ini sebagai kado."
Baiklah gadis itu pasti cinta sekali pada Ali. Itu iPhone 6 keluaran terbaru dan harganya hampir sepuluh juta. Aku tahu Miskah anak toke dan termasuk paling kaya di Natal ini. No wonder.
"Anjing, cewekmu mantap kali." Balasku.
"I know!"
Ya, sekalian saja minta Miskah bayarin uang kuliahmu agar aku dan Mom enggak perlu cari duit hanya untuk dikirim ke kamu. Karena itu pasti yang akan terjadi nanti.
"Makasih, loh, hapenya." Kubilang. Ali manggut-manggut lalu berkata ia akan menunjukkan sesuatu yang lain. Ali berlari ke kamarnya dan tak lama ia keluar dengan sebuah laptop di tangannya.
"Is that McBook Pro?" Kutanya. Itu jelas McBook Pro.
"Yap!" Jawab Ali dengan bangga.
Gila, ceweknya pasti cinta mati sama Ali. Tak cukup dengan iPhone, dia juga memberikan McBook Pro. I wanna date a girl like her, definitely!
"Mom bought this for me!"
"Holly Molly. Are serious?" Mom belikan laptop mahal untuk Ali. McBook Pro itu harganya pasti di atas lima belas juta. Dari mana Mom dapat uang sebanyak itu? Enggak mungkin dari uang warisannya, kan? Lagi pula bukannya Mom butuh uang untuk renovasi warung makan dan itu jauh lebih penting dibanding membelikan Ali gawai mahal itu. Uang itu juga bisa dipakai untuk modal workshop aksesorisku (aku memang punya sedikit bakat membuat perhiasan setelah setahun kerja di toko emas milik tetangga dulu.) Dan Mom enggak mau mendukung ideku buat workshop atau galeri itu dulu.
"Ya, Mom yang belikan ini. Ada masalah?" Lanjut Ali.
Anak ini benar-benar tak tahu diri.
"Oh enggak masalah, Mom boleh membelikanmu barang mahal apa saja KALAU kita sudah kaya. Dan sayangnya kita tidak kaya, since Dad left us this way. Dan tentu saja laptop itu jadi masalah. Dude, I don't even know how to maintain your tuition with my salary and Mom's food court. Harga laptopmu lebih mahal dari gajiku setahun." Aku harus bilang ini.
"Dude, relax! It's her money." Lanjut Ali dengan ekspresi tanpa dosa.
Dan aku juga tahu kalau itu uang Mom. Siapa lagi yang punya uang lebih banyak di rumah ini selain Mom.
"Kau tahu, kan, gimana keuangan kita. Harusnya kau tolak waktu Mom belikan itu." Aku terus menyesali tindakan Ali. Ya, Mom yang kasih laptop, Ali yang terima laptop, dan aku yang menyesal.
"It's a gift. You can't blame me!" Dan hanya itu balasan Ali.
Dan Mom pun muncul dari dalam kamarnya. Aku bisa lihat dari rambutnya yang berantakan dan matanya yang merah, Mom baru saja bangun.
"Ribut kali. Ini tengah malam." Ucap Mom dengan kesal.
"Mom ngabisin belasan juta untuk sebuah laptop?" Aku langsung memborbardir Mom.
Aku lihat Mom memutar bola matanya sebelum menjawab pertanyaanku.
"Ali butuh itu." Jawab Mom datar.
"Tapi banyak laptop yang lebih murah, Mom."
Mom menatapku tajam.
"Apa Mom harus minta izin ke kamu bagaimana menggunakan uangku?"
"Aku cuma realistis, Mom. We can't afford that!" Balasku.
"Kid, aku tak membesarkan kalian hanya untuk mengatur keputusanku?" Tambah Mom.
"Kalau begitu Mom enggak perlu mengeluh soal biaya renovasi warung makan." Aku menjawab itu.
"Kau enggak perlu cemburu," lanjut Mom. Baiklah, cemburu lagi. Apa kata itu tertulis di keningku? "Harusnya kau dukung adikmu. He's in a journey to become someone."
Tebakanku, aku bukan siapa-siapa di mata Mom.
"Ribet kali pun, abang." Kali ini Ali yang bicara.
"Kau tahu siapa yang ribet?" Tanyaku kepada Ali. "Kau dan tas-tas bawaanmu itu." Dapat dipastikan aku mengatakannya ke wajah Ali dengan level ketus nyaris sepuluh.
Ali bilang aku ribet? Bagaimana dengan dia? Laki-laki punya barang bawaan sebanyak itu? Bagiku itu yang dibilang ribet.
Aku masuk ke kamar dan meninggalkan Mom dan Ali di ruang tamu.
***
Bangun pagi ini dan berinteraksi dengan Mom dan Ali akan sangat menyiksa setelah pertengkaran tadi malam. Aku berencana hanya akan mandi dan langsung berangkat untuk bekerja.
Setelah selesai mandi dan berbaju lengkap aku ke dapur mengambil daftar belanjaanku. Aku melihat Mom di dapur sedang menikmati tehnya sambil menonton acara gosip di televisi. Aku tak ingin membahas kejadian tadi malam dan Mom juga terlihat sama. Mom bahkan menawarkanku teh. Ini tipikal Mom, menjadi lebih baik setelah bertengkar.
Mom menunjuk kertas berisi daftar belanjaan yang akan kubeli di pasar. Itu sudah jadi tugasku setiap hari. Aku akan permisi dari perpustakaan pukul sebelas dan kembali lagi setelah istirahat makan siang selesai.
"Kau enggak perlu ke pasar lagi. Mom yang akan pergi mulai sekarang." Mom menyisip tehnya sebentar lalu melipat kedua tangannya di dada.
"That's my job. Aku enggak terlalu sibuk di perpus. So, thank you, I don't need your help." Aku spontan menjawab itu dan memungut kertas berisi daftar belanjaan itu dan memasukkannya ke dalam saku celana.
Mom mengangguk dan tak mendebatku.
"Ini hanya perasaanku atau pagi ini memang terasa sangat tenang? Rasanya ada yang berbeda." Kubilang.
"Tak ada yang berbeda, semua sama." Jawab Mom.
No, something change. I know it.
"Ada yang berbeda. Bukan Ali, dia belum berangkat ke Magelang sana untuk mengejar ambisinya jadi polisi (tebakanku tetap: adikku itu nanti akan jadi polisi konyol.) Hmm, teve. Ya, Mom enggak pernah nonton gosip."
"Tentu aku nonton gosip." Jawab Mom.
Aku menggelang. Mom tidak pernah sempat menonton acara gosip pagi-pagi. Ia terlalu sibuk dengan persiapan warung dan sarapan kami.
Lalu Mom memberiku tatapan aneh. Kau tahu, tatapan tajam dengan sedikit senyuman yang terlalu terlihat. Tapi kau tahu itu adalah senyuman.
"Are you, okay?" Aku bertanya kepada Mom.
"Well, I don't know. What do you think? Am I okay?" Tanya Mom balik. I hate it when she's doing that.
"I don't know either. It's what you feel." Balasku. Aku tak perlu menebak apa yang orang rasakan.
"Alright, Mom merasakan banyak hal. Senang dan semangat karena Ali akan kuliah. Sedikit gugup juga karena ini kali pertama aku membuat anakku kuliah. I don't know what to say to him, you know. Apa Mom harus bilang belajar yang baik? Well I know he's good at it dan enggak perlu bilang itu lagi. Atau Mom harusnya bilang jaga diri baik-baik, nak! No... dia juga sangat mampu menjaga dirinya dengan baik. Atau Mom mungkin bilang lakukan apapun yang kau sukai, I support you. Ya, itu lebih baik. Tapi, di sisi lain, Mom juga sedih karena itu artinya setelah Ali pergi, hanya kita berdua di sini. Mom tahu kau benci sama Mom..."
"Mom..." aku memotong pembicaraan Mom. Tapi Mom terus bicara.
"It's okay. You can tell me. It's my fault. I'm a bad mom. Aku enggak bisa ngasih hal yang sama ke kamu dulu. Aku enggak adil memperlakukan kalian berdua..."
"Stop it, Mom..." Aku masih berusah membuat Mom diam.
"Aku enggak sadar melakukan itu and I feel bad about that. But, you know, I'm just a mom with two kids and no husband. Selling food for money, too busy to make sure that my two kids have something to eat on this fucking table every single day. Raising you until this big, made you graduating from high school, I'm sorry for not making you to college...."
"Mom, please!"
"I feel the guilt not supporting your dreams, so that makes me support my other child's dreams. Helping him to be what he wants. Making sure that I won't mess that up again."
"What is it, Mom?"
"I have money, at least now. I worked so hard for that. I'm making him to college simply because that is something right to do. I was unable to do the same thing for you. It was not fair for you, I know. But it's not fair for me too if you said that I choose all of these shit. So tell me, am I doing something wrong, kid?" Mom menatap mataku tajam. Wajahnya memerah.
"You missed the point." Balasku.
"What I missed? Tell me!" Desak Mom.
"You wanna hear me, now?"
"God damn it! Can you just tell what you feel without.. without making it so complicated and just pill it out!"
"I have to go!" Aku bangkit dan balik ke kamar meninggalkan Mom di dapur.
"Leave! That's your thing. Leaving everything, blaming everyone ---that's a good rhyme--- and it's-never-be-your-fault. Always like that."
Tak berapa lama aku keluar dari kamar dan bersiap untuk berangkat kerja. Aku tak selera lagi untuk sarapan. Aku masih melihat Mom di dapur.
"Aku enggak pernah bilang aku menyalahkan Mom atas apa yang terjadi padaku. Aku hanya berharap Mom melihat sesuatu dariku yang bisa Mom percayai." Aku bilang itu dari tempatku berdiri kepada Mom. "Salam buat Ali. Aku berangkat kerja sekarang."
Aku pun pergi dengan kepala pening penuh suntuk.
Aku tahu Mom tak paham apa yang terjadi. Baginya ini hanya soal aku cemburu karena Ali kuliah. Aku bukan remaja lagi, dan lagi pula ini sama sekali bukan tentang itu. Pertengkaran ini masih berlanjut. What a bad way to start Monday.
Aku terus mengendarai motorku ke arah perpustakaan. Jalanan didominasi kendaraan anak-anak sekolah, ada juga yang diantar orang tuanya. Di sebelah kanan jalan, Samudra Hindia membentang luas. Aku kadang merasa geli ketika memikirkan bahwa daratan paling dekat di ujung samudra ini adalah Madagaskar. Apa aku berlayar ke Madagaskar saja biar suntuk ini hilang? I know it's silly, mengingat jaraknya sangat jauh. Bekerja seharian di perpustakaan akan menjadi distraksi satu-satunya yang paling masuk akal. Kayak aku punya pilihan lain saja.
Setelah sampai di halaman perpustakaan, yang kulihat adalah hal aneh. Pak Jaya, atasanku dan satu-satunya manusia selain aku di perpustakaan ini, sedang berdiri menatapi berdus-dus buku. Ia melambaikan tangan kepadaku. Senyuman yang tak enak juga tak lupa ia sunggingkan. Sudah dua kali kudapati senyuman begitu pagi ini.
"Buku baru, pak?" Itu yang terlintas di benakku. Aku cukup kaget karena sudah bertahun-tahun perpustakaan ini tak menerima buku baru dari kecamatan.
Pak Jaya menggeleng.
"Perpustakaan ini resmi ditutup mulai hari ini." Komentar Pak Jaya dengan singkat dan padat.
"Kok, bisa, Pak?"
"Bagi mereka ini hanya buang-buang anggaran." Jawab Pak Jaya.
Aku tahu dia sedih. Karena hanya inilah yang ia punya. Tapi, aku juga sedih, karena hanya ini yang aku punya. Ini pekerjaanku.
"Bapak akan kerja di kantor camat. Untuk sementara hanya ini yang bisa bapak kasih." Pak Jaya memberikanku amplop. Aku tahu amplop itu pasti isinya uang. Tapi yang kubutuhkan adalah kejelasan pekerjaanku, bukan amplop berisi uang itu. "Kamu silakan pulang." Lanjut Pak Jaya.
"Terus pekerjaanku?" Aku tentu berhak menanyakan itu. Walau aku hanya sebatas pegawai dan bukan tenaga honorer, tentu nasibku harus jelas. Pak Jaya masih enak sebab dia PNS.
"Jangan buat ini sulit anak muda. Bapak cuma menjalankan tugas. Dan tak ada pekerjaan untukmu di kantor camat." Ujar Pak Jaya.
Begitu saja. Dan Pak Jaya pun meninggalkanku. Ia berjalan ke arah mobil kijangnya.
"Kau jobless, bang?" Suara yang amat kukenal terdengar dari arah belakang. Aku tak mau mendengar suara itu setelah aku jobless. Aku menoleh dan benar saja itu adalah suara Ali. "I'm sorry to hear that, aku cuma mau pamitan dan wow, I don't know what to say..." lanjutnya dengan muka datar.
"Don't say a word and don't tell Mom!" Kubilang
Ali mengangguk.
"Kau berangkat sekarang?"
Ali mengangguk lagi.
"Come here!"
Ali pun mendekat. Kupeluk adikku itu. Pusat semesta Mom. Pusat semesta keluarga kami.
"Be good!"
Ali mengangguk. Lalu Ali pun bertanya.
"What are you gonna do?"
Aku memberinya tatapan tajam sudah-kubilang-jangan-berkomentar-apa-apa! "I'll figure it out." Jawabku.
Ali pun mengangguk.
"You can help Mom at warung. You know, full time. You're jobless. You don't have choice." Lanjut Ali.
Aku hanya menatapnya dengan tajam.
"Alright. No more words. It's your life." Ali sudah sadar kalau aku tak butuh komentarnya.
Dia pun pamit dan kembali ke rumah dan bersiap untuk hidup barunya. Dan aku ke salon Daniella dan tak tahu mau berbuat apa dengan hidup baruku sebagai seorang pengangguran.
[Lanjut membaca episode tiga]
Comments