Queer Talk: Jadi Homo yang Waras


Setiap individu LGBTQ+ tentu punya cerita sendiri-sendiri tentang apa yang mereka hadapi dalam keseharian terkait dengan orientasi seksual mereka. Apalagi di negeri ini, di mana gender ketiga seolah tidak mendapat tempat. Ujung-ujungnya banyak orang yang salah persepsi dan menimbulkan efek domino yang cukup menakutkan.

Berikut ini saya akan membagikan beberapa pengalaman saya ketika berurusan dengan orientasi seksual saya sendiri.

Saya tentu tidak akan melupakan bagaimana akhirnya saya melela kepada kedua orangtua setahun lalu dan semua beban serta ketakutan yang bertahun-tahun membebani hilang sudah.

Saya beruntung dan bersyukur, pengalaman menjadi diri sendiri ini relatif mulus jika dibandingkan dengan teman-teman LGBTQ+ yang lain. Ada banyak dari komunitas ini yang harus berjuang lebih untuk menjadi demikian.

Dan kisahku tentu tiada apa-apanya dibanding mereka. Tetapi, aku hanya ingin berbagi pengalaman, terutama kepada teman-teman yang tengah berjibaku dengan pencarian jati diri dan pengakuan keluarga. Karena aku tahu betul, perjalanan itu amatlah sepi. Karena sering, kita takut untuk berbicara. Kita takut dengan tanggapan dan anggapan orang. Sebab, menjadi tidak heteroseksual di negeri ini adalah mimpi buruk. Itulah yang setidaknya kurasakan.

Untuk menjaga kewarasan, aku menuliskan apapun yang kurasakan dalam buku harian. Kebiasaan ini mulai kulakukan sejak kelas IX dan terus berlanjut hingga SMA. Aku menulis apa saja di buku harian itu. Tak melulu soal pergulatanku dengan seksualitas ini.

Namun, beberapa teman ketika aku kelas XI dan tinggal di asrama, mengambil dan membaca buku harianku. Aku ingat betul, ada tiga buku harianku saat itu di asrama dan dua hilang.

Singkat ceritanya, mereka yang baca membangunkanku di tengah malam dan aku "disidang." Itu adalah pengalaman yang sangat menakutkan. Sampai hari ini aku masih merinding ketika mengingat itu. Tak ada kekerasan fisik yang kualami. Tapi, aku dihujani nasihat, ayat, hingga pertanyaan dan pernyataan yang amat menyudutkan. Aku tak tahu apa-apa sebab waktu itu aku juga tengah mencari jawaban. Aku meminta maaf kepada mereka. Ya, waktu itu aku meminta maaf kepada orang lain karena orientasi seksualku.

Waktu itu aku merasa amat hina karena merasa berbeda. Aku ingat, saban sore aku akan mengasingkan diri di sungai belakang sekolah. Di sana aku duduk di bebatuan dan meratapi diri. Pada malam hari, aku menangis menjelang tidur. Sejak saat itu aku tak pernah menulis di buku harian lagi hingga empat tahun kemudian.

Dengan mengabaikan mereka yang melanggar privasiku dengan membaca buku harian itu, kejadian yang kualami bisa jadi karena disebabkan beberapa hal. Kurangnya informasi baik bagi mereka maupun saya, faktor anutan, dan kasih.

Benar, bisa jadi karena kasih mereka, karena hubungan pertemanan dan sesama penghuni asrama waktu itu amat dekat. Aku anggaplah karena kasih dan ingin menolongku. Walau kupikir tidak tepat dengan melakukan itu karena menjadi diri sendiri adalah hak dasar. Apa yang mereka lakukan dan kualami itu adalah efek domino dari tidak jelasnya posisi LGBTQ+ di negeri ini.

LGBTQ+ memang dimasukkan dalam kelompok minoritas, kalau tidak salah dibawah perlindungan atau lebih tepatnya pembinaan kementrian sosial. Tapi tidak ada satu produk undang-undang pun yang melindungi kelompok LGBTQ+. Walau secara umum undang-undang kita menjamin keselamatan semua warga negara, tetapi tanpa jaminan perlindungan khusus, pintu diskriminasi, kekerasan, persekusi, segala mimpi buruk amatlah mudah dialami oleh kelompok ini. Tak hanya saya, terbukti dari survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation, LGBTQ+ adalah kelompok yang paling dibenci di Indonesia. SMRC juga merilis hasil survei yang menyatakan sebanyak 41 persen orang Indonesia menolak hak hidup LGBTQ+.

Baru-baru ini, Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat juga melakukan tindakan represif terhadap kelompok LGBTQ+ dengan menerbitkan surat edaran agar penghotbah di masjid menyuarakan penyimpangan LGBTQ+. Hal seperti ini membuka jalan yang lebih lebar akan munculnya persekusi yang sudah dialami kian oleh komunitas. Sebut saja misalnya, ketika FPI menggerebek 13 orang yang diduga melakukan pesta seks sesama jenis dua tahun lalu. Persekusi juga dilakukan oleh pihak kepolisian, seperti dilansir dari tirto. Sekali lagi, bisa jadi ini adalah efek domino dari sikap mendua negeri ini pada kelompok LGBTQ+.

Penting untuk menyebarluaskan adanya hal lain diluar heteroseksual. Pun, di level sekolah. Sebab, jika informasi ini tersampaikan maka akan banyak sekali anak-anak yang dicap bencong atau lesbi terselamatkan dari perundungan, depresi, kekerasan, putus sekolah, hingga bunuh diri. Jika saja mereka mendapatkan informasi, mungkin mereka tak mengadiliku malam itu. Jika saja aku mendapatkan informasi mungkin aku bisa membela diri.

Faktor anutan, di Islam diganjar dosa besar. Aku juga masih ingat ketika kelas XII, aku sempat sangat khawatir ketika tahu akan segera masuk ke bab dosa besar. Homoseksual masuk dalam kategori itu. Dan satu kelas pasti akan membahas itu juga. Aku tak bisa tidur nyenyak di malam harinya. Sempat terpikir untuk pura-pura sakit saja, tapi ada ujian mata pelajaran lain hari itu. Guruku waktu itu cukup bijak sebetulnya. Ia tidak terlalu lama membahas hal itu.

Perundungan semacam ini juga dialami oleh yang lainnya. Termasuk saat di sekolah.

Seorang teman punya adik gay yang baru saja lulus sma. Saat sekolah, ia kerap dirundung oleh teman-temannya. Paling sering secara lisan. Puncaknya adalah ketika ibunya kerap mendapati noda saus di saku seragam sekolah adiknya. Setelah ditanyai, terungkaplah bahwa ketika di kantin sekolah, adiknya itu sering dirundung. Tangannya dipegang, kantung seragamnya diisi saus cabai. Orangtuanya melapor ke pihak sekolah dan ditindaklanjuti.

Dan ini membuat banyak di antara komunitas tak menyelesaikan pendidikan dasarnya. Mereka lebih memilih untuk keluar dan bekerja untuk memudahkan aktualisasi diri. Sebab, di rumah tak nyaman dan di sekolah pun sama. Akhirnya hanya bisa bekerja di sektor-sektor yang terbatas.

Kalau ditanyai satu-satu, pasti semua kelompok LGBTQ+ pernah dirundung di sekolah. Namun, ada juga yang berhasil melaluinya. Paling banyak dengan cara sembunyi-sembunyi.

Pengalamanku, saat SMP aku ikut main bola walaupun tak suka dan tak cakap. Waktu SMA ikut klub futsal dan bola sekolah walaupun sebagai tim medis. Memilih kegiatan yang maskulin menjadi pilihan agar tersamarkan. Menurutku, hal ini penting untuk bertahan dan menjaga kewarasan. Sebab, waktu itu aku juga belum bisa menerima diriku.

Menurutku, hal terdekat yang bisa dilakukan adalah negera hadir untuk menjamin hidup semua warganya. Dan menghapus produk undang-undang yang cukup mendiskriminasi LGBTQ+. Contoh pada skala nasional adalah UU Pornografi.

Kalau kutulis, orientasi seksual adalah hak otonom diri. Mungkin ada yang berucap liberal. Orang takut kali pada liberalisme. Toh, kehidupan modern yang kita nikmati hari ini adalah produk dari liberalisme itu sendiri. Soal liberalisme ini akan kutulis di artikel lain.

Lalu, mulailah untuk memasukkan literasi soal LGBTQ+ yang berisi informasi berimbang. Kalau tak mau dii pendidilan dasar, masukkan di perguruan tinggi. Aku yakin bisa dilakukan, walaupun kenyataannya masih banyak orang di negeri ini yang tak paham soal seks, konon lagi seksualitas, gender dan seterusnya. Tapi bisa dan pasti bisa. Agar makin banyak orang yang pemikirannya logis di negeri ini dan tak melulu dibodohi yang munafik-munafik itu.

Untuk sekarang, saat semua itu belum terjadi, kepada siapapun di luar sana yang merasa bukan heteroseksual dan tengah berjuang untuk dirinya, jangan takut. Kamu tidak sendirian. Semesta akan membawamu pada lingkaran pertemanan yang bisa mendukungmu sebagai manusia dan kita sama-sama berharap agar suatu saat nanti, negeri ini bisa adil. Bertahanlah.

Comments