Sebelum Malam Beranjak Pergi
![]() |
Ilustrasi oleh Anahit Aloyan |
Bob terbangun dalam posisi telungkup dan setengah telanjang setelah alarmnya meraung-raung lebih dari semenit. Malam sepertinya telah tiba sebab azan magrib sedang dikumandangkan, entah dari mesjid yang mana.
Ia tak lekas bangun, diraihnya ponsel dan melihat tumpukan pemberitahuan pelbagai pesan dari banyak aplikasi. Kotak masuk di surel tak ada yang penting, pesan di banyak aplikasi perpesanan juga tak ada yang urgen selain teman yang menanyakan keberadaan Bob tadi siang. Mereka ingin mengajaknya nongkrong di kedai kopi baru entah di bagian kota yang mana. Kemudian Bob membuka ragam media sosial dan tak ada yang cukup penting untuk segera direspon. Bob bangkit dari tempat tidur dan menjerang air panas di teko listriknya.
Bob tak segera ke kamar mandi. Ia mengambil sebuah kursi dan duduk di depan meja kamarnya. Ia mengambil sebuah buku dan membacanya sepintas, lalu mengabil buku lain dan membacanya sepintas, menyalakan rokok namun segera dipadamkan walau baru tiga kali hisap, lalu meraih ponsel di tempat tidurnya dan tenggelam di sana, tapi hanya sebentar. Bob memeriksa air panasnya namun belum juga mendidih. Bob pergi ke kamar mandi dan buang air besar sambil merokok dan memainkan ponsel. Bob bukan bingung, tapi tidak tahu mau melakukan apa terlebih dahulu. Tak ada hal penting yang mengharuskannya bergegas.
Bob menuangkan enam sendok teh kopi ke dalam coffee plunger-nya dan setengah sendok teh gula ke dalam mug kecil. Lalu menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam coffee plunger dan mendiamkannya tiga menit. Coffee plunger dan mug tadi diletakkan ke atas meja. Ia lalu mandi, selesai tak lebih dari dua menit. Bob menggosokkan deodoran di dua ketiaknya, menyemprotkan parfum ke badannnya, memoles sedikit moisturizer ke wajahnya, memakai kaos dan celana pendek menyemprotkan kembali parfum ke bajunya, memoles wajahnya dengan bedak tipis, lalu duduk di kursi di depan mejanya dan menuangkan kopi dari coffee plunger ke dalam mug dan menyalakan laptop. Bob belum tahu harus melakukan apa. Bob menyalakan ponselnya lagi, siapa tahu ada teman yang mengajaknya untuk bertemu sekarang, dan rupanya tak ada. Bob lantas berselancar di dunia maya.
Tiba-tiba layar ponselnya berkedip. Ada sebuah pesan yang baru saja masuk. Bob membaca pesan itu lalu membalasnya, “Ok.”
***
Letak kedai kopi itu tepat di tengah-tengah sebuah komplek ruko di salah satu area strategis di pusat kota. Bob hadir lebih awal dari waktu pertemuan yang ditawarkan orang akan ditemuinya. Ia lebih suka memilih sendiri untuk duduk di mana. Biasanya di area merokok.
Bob tak berharap banyak sebetulnya. Tapi ia cukup penasaran sebab tak biasa ada yang mengajaknya nongkrong terlebih dahulu dan berkenalan begini. Kenyataan yang didapati Bob biasanya tegas dan langsung ke arah sana. Kali ini benar-benar berbeda. Hanya mengajak bertemu di kedai kopi A di pusat kota tanpa narasi lain dan visual apapun.
Selang beberapa lama seorang pria muda keturunan Tionghoa melangkah masuk dan duduk di sudut lain kedai kopi. Bob dapat melihat dengan jelas ke sana karena posisi mereka berhadap-hadapan. Sesekali mereka bersitatap, lalu larut dalam diam. Masih tersisa dua puluh menit dari waktu pertemuan mereka, Bob memesan segelas kopi hitam Toraja. Dari tempatnya, Bob dapat mendengar pelayan kedai kopi itu mengulang pesanan pria muda Tionghoa tadi, segelas kopi hitam Mandailing.
***
Suasana hati Tjipto buruk, sebab dua kontrak kerja dibatalkan hari ini. Kenyataan yang tak enak, apalagi dua kontrak sekaligus. Hari ini ia juga menerima draf laporan arus kas penjualan harian yang buruk. Bukan soal penjualannya, sebab Tjipto bahkan tak mengerti apa yang tertulis di sana, tapi susunan laporan itu yang bahkan tak mengikuti aturan manapun. Padahal tak biasanya ia menerima laporan dalam bentuk buruk begitu.
Tjipto geram. Ia menyesal telah memberi izin kepada staf yang mengurusi laporan ini untuk pulang lebih cepat satu jam tadi. Ia mengirimkan draf laporan itu kepada bawahannya, dan membubuhkan pesan untuk memperbaikinya dan segera mengirimkannya kembali dalam waktu satu jam. Selang satu menit, Tjipto menerima balasan di surelnya. “Baik, pak.”
Tjipto dengan sigap membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Namun, telepon kantor berdering. Penelepon adalah stafnya yang tak becus mengurus laporan arus kas hari ini. Ia meminta maaf dan berjanji akan segera mengirimkan perbaikannya.
Tjipto tak langsung bergegas pulang. Ia meraih ponsel di saku kemejanya dan membuka satu aplikasi kencan buta. Ia tak betul-betul ingin kencan sebetulnya. Selama ini ia juga tidak pernah berkencan lebih jauh dengan orang-orang yang ia jumpai dari aplikasi itu. Tjipto hanya merasa membutuhkan hiburan, pengusir penat malam ini.
Tjipto mengirim satu pesan berisi ajakan bertemu di Kedai kopi Kiddo di tengah kota pukul delapan malam secara acak dan dibalas dengan cepat, “Ok.”
Masi tersisa waktu lima puluh menit, Tjipto masih bisa mandi dan tak akan terlambat. Ia akan hadir lebih awal paling tidak dua puluh menit dari waktu yang ia janjikan. Tjipto ingin melihat seperti apa orang yang akan ia temui nanti. Ia ingin kejutan. Oleh sebab itu ia tak memberikan banyak tempat untuk narasi dan visual pembuka.
***
Akram tak kuasa menunda waktu sedetikpun. Ia ingin lekas bertemu kekasihnya yang sudah jauh-jauh datang dari luar kota. Kata kekasihnya, ia menginap di kontrakan sepupunya yang bekerja sebagai pramusaji di Kedai Kopi Kiddo, satu kedai kopi berkelas di tengah kota. Sepupunya itu sedang shift malam. Akram dan kekasihnya akan punya waktu berduaan paling tidak tujuh jam sebelum sepupu kekasinya itu pulang.
Di sisi lain, Akram kadung berjanji dengan seseorang yang baru dikenalnya dari aplikasi pencari jodoh. Mereka akan bertemu malam nanti setelah seseorang itu pulang kerja pukul sepuluh malam. Katanya ia bekerja sebagai barista. Akram menyukai percakapannya dengan teman barunya itu. Lagi pula, Akram tak punya kegiatan lain malam itu setelah mengencani kekasihnya hingga pukul sepuluh malam.
Akram telah menyelesaikan pekerjaanya, walaupun ia tak yakin betul dengan hasil pekerjaannya hari ini, dan mendapatkan izin pulang kantor lebih cepat dari bosnya. Namun, belum lagi ia bertemu dengan kekasihnya, sebuah surel masuk ke ponselnya dan ia membaca sebuah pesan dari bosnya untuk memperbaiki pekerjaannya. Akram tak punya banyak pilihan. Ia harus mendahulukan perintah itu atau ia akan mendapatkan masalah di kantor. Akram menghubungi kekasihnya dan mejelaskan apa yang terjadi. Kekasihnya paham.
***
Ponsel Bella berdering. Ia tak segera mengangkatnya. Ia melihat seorang pemuda memasuki kedai dan mengambil tempat duduk di area merokok. Bella mengambil daftar menu dan berjalan menuju meja pemuda itu. Namun, ponselnya kembali berdering. Layar ponselnya memampang nama sepupu perempuannya yang tengah menginap di kontrakannya. Bella meminta tolong temannya untuk melayani pemuda tadi dan bergegas menerima panggilan itu.
Sepupunya menanyakan pukul berapa Bella akan pulang ke rumah. Bella menjawab pukul sepuluh malam ia sudah selesai dengan kedai kopi, dan kemungkinan akan sampai pukul sebelas malam di kontrakan karena ada janji makan malam sesudahnya dengan temannya. Sepupunya paham.
Setelah panggilan itu selesai, Bella kembali bekerja. Seorang pemuda Tionghoa baru saja duduk di satu sudut kedai di area merokok. Bella bergegas menghampiri tamunya dan mencatat pesanannya. Kopi Mandailing, sahut pemuda itu dan dibalas dengan permintaan maaf karena kopi itu sudah habis. Pemuda itu akhirnya memasan Kopi Toraja.
***
Kopi pesanan Tjipto sudah tersaji di meja. Ia memberi tahu kepada orang yang akan bertemu dengannya kalau ia sudah di kedai kopi. Setelah pesan itu terkirim, ia menyeruput kopinya dan mendapati pemuda yang duduk berjarak beberapa meja di hadapannya tengah mengamatinya. Walau tak kentara, tapi Tjipto tahu ia sedang dilirik. Sebuah pesan masuk, stafnya baru saja mengirim revisi laporan arus kas penjualan tadi. Tjipto belum berselera memeriksanya. Pesan lain masuk, dari orang yang akan dijumpainya. Orang itu mengatakan kalau ia juga sudah sampai di kedai kopi. Orang itu memakai kaos dan sweater hitam.
Tjipto menatap ke arah pintu masuk dan tak mendapati sosok yang dicarinya. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke bagian lain kedai dan mendapati sosok yang mirip dengan ciri-ciri orag yang akan dijumpainya. Pemuda yang duduk di hadapannya tadi.
Tjipto beranjak ke meja pemuda itu dan memuai percakapan, “sepertinya kamu yang memesan Kopi Mandailing terakhir hari ini.”
Bob terkejut, “Maaf, kamu orangnya?”
***
Akram pamit kepada kekasihnya. Mereka sudah cukup menuntaskan rindu dan berahi yang selama ini diganjal jarak. Ia bergegas ke sebuah warung makan pinggir jalan untuk menemui kenalan barunya. Akram sudah sangat hafal wajah perempuan itu. Ia akan mudah mengenalinya pun jika berpapasan di tempat lain.
Tak lama setelah Akram sampai, perempuan itu pun tiba.
“Bella! Di sini!” seru Akram.
Bella lalu menoleh dan beranjak ke arah lelaki yang memanggilnya, “Kamu orangnya?”
“Bella! Di sini!” seru Akram.
Bella lalu menoleh dan beranjak ke arah lelaki yang memanggilnya, “Kamu orangnya?”
***
Malam itu Bob mengajak Tjipto mampir ke rumahnya dan memintanya untuk menginap bila perlu. Tjipto setuju untuk mampir tapi tidak untuk menginap. Ia harus tetap pulang, tak peduli pukul berapapun nanti urusan mereka berdua tuntas. Bob tak mau memaksa.
“Kapan-kapan jumpa lagi, ya!” seru Bob.
“Tentu saja. Kamu harus membelikanku Kopi Mandaling. Kamu berhutang padaku.”
“I will, I will.”
“Thanks, Bob.”
“Not at all, Tjip.”
***
Bella pun tak dapat berlama-lama bersama Akram. Ia berdalih memiliki tamu yang sedang menginap di rumahnya. Ia berjanji pulang pukul sebelas malam. Dan ini sudah pukul dua malam. Sudah cukup molor dari waktu seharusnya. Akram menawarkan untuk mengantar Bella, namun ditolak. Setelah keduanya mengenakan pakaian, Akram mengantar Bella keluar. Di depan rumahnya sudah parkir sebuah taksi.
“Terimakasih,” ucap Bella.
Namun tak langsung dibalas Akram. Ia sedang termenung. Bella mengibaskan tanga kanannya di depan wajah Akram, “Thank you.”
“Oiya, sama-sama,” jawab Akram.
“What is it?”
“Enggak ada. Tadi aku cuma merasa akrab dengan beberapa kejadian. Seperti sebuah kebetulan. Sudahlah, kamu hati-hati”
“Kita semua terhubung, jadi wajar kalau ada kebetulan. Walaupun istilah kebetulan tak tepat. Oiya, aku pasti hati-hati, kok,” tutup Bella dan segera ia menjauh bersama taksi yang membawanya pergi.
***
Pukul tengah tiga malam, Beti membukakan pintu untuk Bella. Ia sudah tertidur dan tak ingin menanyakan mengapa Bella terlambat pulang. Itu bukan urusannya. Namun Bella meminta maaf dan berkata kalau temannya curhat panjang lebar. Bella melepaskan cardigannya dan menyisakan mini shirt di sana.
“Curhat atau lo ML, itu bekas cupangan kayaknya baru, deh,” goda Beti.
“Curhat atau lo ML, itu bekas cupangan kayaknya baru, deh,” goda Beti.
“Apaan sih, lo. Lucu banget, deh. Lo ngapain seharian?”
“Pacarku tadi sempat mampir sebentar.”
“Wow, kalian ML di sebelah mana? Kayaknya weekend besok gue harus bersh-bersih rumah, nih.”
“Babi!”
Comments