Menjual Pulau
Ridho Nopriansyah
“Langit, temui
tamu itu,” pintaPak Pak Saroha -atasanku- sembari menunjuk pendek ke
belakangku. “Dia akan menjadi target selanjutnya. Jangan sampai lepas, atau
kamu akan menyesal. Ini kesempatan terakhirmu” jelas itu terdengar seperti
sebuah ancaman.
“Ingat, semua
angka-angkanya sudah jelas. Harus dapat. Paham?” Pak Saroha kembali memberi
arahan kasar -seperti biasa- sambil memukul map berisi lembaran berkas ke
dadaku. Aku hanya manggut dan mengkutuknya dalam hati. “Sepertinya Pak Saroha
harus menyicip bogem mentahku,”.
Sejak dua hari
lalu, Pak Pak Saroha telah mengirimkan surel berisi lampiran berkas yang sama
dengan apa yang kupegang sekarang. Tak lupa tulisan yang intinya harus
menguasai materi pada berkas. Tetap dengan nada memaksa dan ancaman pada
ujungnya. Kalau tidak ingat zaman sekarang sulit cari kerja, aku sangat ingin resign dari tempat gila ini.
Dengan dada
membuncah, perlahan kaki ini kulangkahkan ke arah dua pria dengan setelan jas
hitam yang ditunjuk Pak Saroha. Keduanya sama-sama tambun. Dari kepalanya yang
botak di tengah dan penampang kulit mukanya, kutaksir umurnya di atas 45 tahun.
“Selamat pagi ...,”
kalimatku terpotong dan aku langsung menjabat tangan mereka satu persatu, mulai
dari pria tambun, botak dengan kumis tebal , lalu ke pria tambun, botak dengan
bekas kumis tipis bekas dicukur.
“Emm, Jhonny,”
ungkap pria tambun, botak berkumis menyambut juluran tanganku. “Dan beliau
Han,” ia menunjuk rekannya yang berkumis tipis.
“Baik, maaf membuat
Anda menunggu lama, saya Langit, mari ke ruangan saya,” dengan menyungging
sedikit senyum aku memandu keduanya ke arah lift menuju ruangan pribadiku di
lantai tujuh.
“Bisa kita mulai
pembicaraanya?” Jhonny sepertinya buru-buru sekali.
“Maaf, tunggu
sampai kita tiba di ruangan saya,” aku menjawab dengan tenang. Saya sudah
terlatih untuk mengahadapi situasi seperti ini. Angka empat pada tombol lift yang
menyala. “Tiga lantai lagi, sabar,” kini Han ikut berbicara.
“Apa yang bisa
anda tawarkan?” langsung kutanya pada intinya.
“Rupanya benar
apa yang saya dengar dari orang. Bahwa di sini, semuanya berjalan cepat. Tanpa
tedeng aling-aling,” sepertinya Jhonny lebih menguasai suasana dibandingkan
Han. Dan kelihatannya Jhonny juga lebih bodoh daripada Han.
“Langsung saja.
Apa yang anda mau, dan berapa keuntungan yang bisa kami dapatkan?”Aku tak
menggubris celotehannya untuk menimbulkan kesan bahwa mereka yang menjilat.Aku
menyandarkan punggung ke badan kursi dan mengapitkan ujung kelima jari tangan
ke perutku.
“Dua jutaDolar
Amerika untuk pembelian Pulau Kecil,” Jhonny sepertinya terpancing untuk tidak
berbasa basi pula. Biasanya orang seperti dia akan memuntahkan cerita-cerita manis
lengkap dengan janji akan memberimu ini atau memabawamu ke sana.
Sudah bisa
kutebak, dan seperti skenario klasik milik Pak Saroha, angka yang mereka
tawarkan tak serta merta langsung diterima. Aku masih ingat, saat pertama
menduduki posisi ini, Pak Saroha mendoktrinku, “Inilah gunanya kau kuasai
materi mereka. Susah-susah kudapatkan untuk bisa kau patahkan di hadapan mata
mereka,”. Begitulah ceritanya.
“Apa kamu pikir
aku bodoh. Dua puluh juta dolar pun belum tentu pulau kaya itu akan kami
lepaskan,” aku sedikit memberi penekanan pada intonasi suaraku.
“Pulau kaya?
Jangan main-main dengan saya anak muda. Pulau itu tidak memiliki potensi
berlimpah. Masih untung saya bayar dua juta dolar,” nada suara Jhonny meninggi.
Ia keberatan dengan jawabanku yang jelas tak memihak penawarannya.
“Kamu pikir, saya
mengada-ada? Pulau ini memiliki kandungan mineral paling penting hari ini,” Aku
menggantung ucapanku.
Benar saja,
Jhonny kian terpantik. “Mineral apa, minyak bumi. Anda yang mengada-ada, Pulau
Kecil tak menyimpan cadangan minyak bumi seliterpun,”
“Anda benar, tapi
Pulau Kecil memiliki emas, dan anda pasti sudah tahu itu,” sedikit lagi, anda
akan kuseret ke pusaran-tersa menerima- tuan-tuan.
Seketika ekspresi
Han berubah, sepertinya ia menyadari sesuatu. “Selamat datang dalam permainan
ini, Cina,” aku mengulum senyum, sebentar saja. Saya yakin mereka berdua tidak
sempat melihatnya.
“Emas? Lucu
sekali, lalu Anda kira saya akan percaya,” Jhonny semakin panas. Dan bagiku, ia
jelas mempertontonkan kebodohannya.
Kini Han angkat
bicara. “Maksud anda dengan emas, Pulau Kecil menghasilkan emas?” aku sengaja
tertawa kecil. Mencoba memposisikan diri sebagai penguasa keadaan kembali.
“Baik tuan-tuan,
izinkan saya memberi anda sedikit kuliah di pagi ini,” aku beranjak dari kursi
dan langsung menyalakan proyektor di sudut ruangan. Semuanya sudah kupersiapkan
dan sejauh ini berjalan lancar. “Tuan-tuan, tanpa mengurangi rasa hormat saya,
lihat kemari,”
Aku mulai
menjelaskan secara detil tentu dengan bahasa ilmiah sederhana dan membubuhkan
majas hiperbola di sana-sini. “Kami telah melakukan penelitian jangka panjang
untuk mengungkap potensi tersembunyi Pulau Kecil,”
“Secara ilmiah?”
Jhonny memotong kuliahku.
Aku menarik napas
-seolah dalam- “Tentu saja Jhonny,”
Kembali
kulanjutkan usaha mendongkrak harga ini. “Kami teliti dengan tiga metode
pencarian mineral. Metode magnet, gravitasi, dan radiometri. Semuanya
menggunakan teknologi canggih; pesawat, satelit, para ahli. Namun, metode
magnet tak sukses mengungkap potensi Pulau Kecil,”
“Sebab tak ada
tarikan terhadap bidang magnet?” Han
bertanya, jelas ia memastikan.
“Betul, metode
gravitasi dan radiometri mengungkapkan kenyataan mencengangkan. Radiasi gamma
yang dihasilkan saat sistem radiometri dinyalakan merujuk emas sebagai potensi
terkubur Pulau Kecil,” semakin menarik melanjutkan penjelasan sederhana ini.
“Baik, tentu saya
akan percaya apabila ada laporan resmi terkait hal tadi,” Han mulai menyelidik.
Sepertinya ia sudah masuk dalam permainan ini.
“Tentu saja, kami
pemerintah punya segala yang anda butuhkan, regulasi, badan hukum, akses
eksklusif, semuanya. Anda bisa lihat di sini,” aku menyodorkan berkas dan
meyakinkan kedua pria tambun dan botak ini.
Keduanya tam
berbincang pelan dalam bahasa mandarin. “Nǐ
quèdìng zhège juédìng ma?” (Apa kamu yakin dengan keputusan ini?) Jhonny
menanyakannya kepada Han. “Yakin,” Han menjawab
mantap.
“Baiklah, kami
putuskan membuka penawaran 50 juta Dolar Amerika. Harga yang sesuai bukan
untuk pulau kaya yang belum diolah,”
Jhonny melipat kedua tangannya. Napasnya memburu perlahan.
“Satu milyar Dolar
Amerika, atau tidak sama sekali,”seluruh tubuhku bergetar saat mengatakannya.
Bukan hanya karena nominalnya yang fantastis, tapi juga konsekuensinya kelak.
Jika bukan karena Pak Saroha dan pekerjaan ini, saya akan meninggalkan ruangan
ini.
Mata kedua tuan
Cina itu membulat, Jhonny bahkan berdiri dan mencat-mencat.
Tanpa pikir
panjang, aku langsung melanjutkan kuliahku. “Pulau Kecil masuk dalam zona Barat
mineral radioaktif di Indonesia dengan tingkat urutan keyakinan mineral nyaris
DSP. Artinya...,”
Han memotong
penjelasanku. “Artinya Pulau Kecil mengandung uranium,” Nada suara Han menurun. Ia kembali tersentak. Kali ini
-entah disengaja ataiu refleks- ia menampar keras meja kerjaku.
“Betul Han. Laur Ella dan Jalur Timah, semua
kandungannya adalah uranium. Secara geologi, Pulau Kecil berada di jalur
tonalit Mesozoic Schwaner. Mineralisasibentuk stock werk dan urat dalam fraktur
sekistositas dan batuan breksi sesar menyatu dengan sulfida...,”
“Mineralisasipada
singkapan dengan kadar U yang tinggi, asosiasi sulfida dan monazit.
Mineralisasi tidak beraturan,kontrol tektonik,material granitik, dan lamprofir. Gǒu shǐ!
(Sial !)” Han mampu melanjutkan apa yang akan kukatakan dengan sempurna. Dia terlihat
begitu terpukul dengan kenyataan ini.Dan jelas sekali, Han bukan orang bodoh soal teori geologi.
“Tepat
sekali Han. Penawaran terakhir, satu
milyar Dolar Amerika, atau tinggalkan ruangan saya segera,”sebetulnya aku
panik. Apa Han dan Jhonny mau membeli
Pulau Kecil atau akan benar-benar meninggalkan ruangan kerja ini. Dan menghantarkanku
pada gerbang pengangguran.
“Waktu saya
terbatas Tuan-tuan,” aku mencoba mengintimidasi mereka.
Han dan
Jhonny terlibat perbincangan lama. Keduanya bahkan pindah ke sudut lain
ruangan. Ini benar-benar gila. Dari mana
Pak Saroha berhasil mendapatkan data-data ilmiah ini. Menyusun beragam
data untuk meyakinkan tuan-tuan macam
Jhonny dan Han. Sudah lama Pak Saroha membodoh-bodohi orang seperti ini.
Dan ujung-ujungnya selalu aman.“Kekuatan pemerintahan,” begitu Pak Saroha menyebutnya.
Lalu, keduanya
mendekat. Kali ini Han yang angkat
bicara. “Saya takjub dengan apa yang anda presentasikan, ini betul-betul di
luar dugaan. Tapi maaf, kami betul-betul tidak sanggup membeli Pulau Kecil itu,”
dari nada biacara Han,sepertinya ia
berat hati mengatakannya. Begitupun aku, bayangan amuk Pak Saroha dan pengangguran hadir seketika.
“Tapi, saya akan
hubungi rekan saya. Ho. Sepertinya dia
akan tertarik dengan ini. Permisi,” Han
dan Jhonny seketika meninggalkan saya
yang mematung.
Comments