Buronku
@DhoKudo
Dipandangi
kulit tangannya, keduanya memutih, pucat seperti mayat. Seolah-olah tak
ada darah yang mengalir di bawah situ. Sekejap saja kedua tangan itu
menanggalkan pakaian dan celana yang melekat. Kini ia telanjang bulat.
Ia menarik kaos bertuliskan Wanted is Free dan celana jeans di lipatan paling atas lemarinya.
Sebelum
mengenakannya, ia berjalan ke arah cermin besar. Ia bisa melihat
pantulan seluruh tubuhnya. Ia teliti satu per satu; telapak kaki, betis,
paha, penis, perut, dada, bulu ketiak, lengan, wajah penuh brewok,
rambut sebahu, dan mata. Semuanya pucat, menandakan tak ada gairah
kehidupan. Matanya juga kosong, tembus saja ke dalamnya.
***
“Target
lepas. Semua lini segera bergerak maju. Kepung lokasi. Jangan lolos
lagi,” seorang kepala polisi menyalak dari kegelapan. Radio di tangannya
kuat-kuat digenggam. Suaranya timbul lalu tenggelam.
Malam
itu, Kampung Ramai Makmur gempar. Belasan pemudanya digiring ke mobil
patroli. Ada yang kakinya lumpuh terkena tembakan senjata api, ada yang
wajahnya babak belur nyaris tak berbentuk. Ada juga yang mati.
Polisi-polisi itu melakukan apapun untuk meringkus pemuda yang kedapatan
main-main dengan ganja. Target utama polisi, sang bandar.
Hans
berlari kencang ke luar kampung. Napasnya sudah satu-satu saat desing
timah panas menyambar telinganya. Ia ngeri sendiri. Sementara salakan
polisi yang mengejarnya semakin nyaring di belakang.
Hans
merasa tak kuat lagi berlari. Ia mulai berpikir untuk menyerahkan
dirinya saja, toh teman-temannya juga sudah banyak yang tertangkap.
Seketika
itu juga bayangan jeruji penjara menghantamnya. Polisi dengan senjata
api, kurungan bertahun-tahun, ia juga takut dihukum mati. Baru-baru ini
ia menonton berita di televisi: laki-laki asal suatu negeri di Afrika
dihukum mati karena menyelundupkan narkoba.
“Berhenti kau, Anjing!”
Tak pelak lagi itu pasti teriakan polisi.
Hans mempercepat larinya, ia merasakan paru-parunya nyeri, seakan hendak meledak. Belum lagi degup jantungnya yang bekerja kelewat
batas. Kepalanya semakin berat, nanar pandangannya menyulitkan ia
melihat arah. Ia berlari sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya.
Buk buk buk
Hans tersungkur, tak dapat merasakan apapun. Semuanya gelap.
***
Pelan-pelan
matanya membuka. Gelaplah yang ditangkap pupil mata Hans terakhir
kalinya. Hingga cahaya matahari yang tiba-tiba banyak itu jadi
menyilaukan. Hans meraba pelan bekas hantaman beton sisi selokan di
kepala, ada bercak merah rupanya.
Setelah
melihat sekitar, sempat terbersit niat untuk pulang ke rumah. Namun
urung. Takut-takut polisi tengah menunggu di sana. Hans berpikir keras
mencari jalan keluar dan cara sembunyi dari warga kampung yang lain. Ia
tak mau dirinya diteriaki warga yang sanak saudaranya juga ditahan.
Saat itulah ia teringat Jintan, pelacur langganannya. Dengan terseok dan mengendap-endap, Hans jalan ke rumah Jintan.
***
Jintan
menerima Hans di kediamannya dengan lapang dada dan dada terbuka. Ia
sudah mendengar kabar penggerebekan polisi dan sempat berpikir nasib
lelakinya.
“Bandar ganja ini bisa lolos juga rupanya,” bisik Jintan.
***
Hans sembunyi di rumah Jintan selama seminggu. Selama itu pula ia melihat langsung Jintan bekerja esek-esek,
sebelum akhirnya istri Hans, Vero, menjemputnya di sebuah pusat
perbelanjaan. Tak mungkin ia menampakkan diri di lokalisasi kediaman
Jintan.
***
Vero
membawa Hans ke sebuah ruangan pengap berukuran empat kali tujuh meter.
Ada kasur, lemari, meja rias, televisi, lemari pendingin, microwave, perangkat komputer terkoneksi jaringan internet. Namun tak ada cahaya matahari yang mampu menembusnya.
Vero
meninggalkan Hans di situ. Setelah mengunci pintu dari luar, Vero
berbalik dan menaiki tangga menuju sebuah lubang kecil seperti katup di
atas. Ia mendorong katup itu kuat-kuat. Kemudian melompat keluar.
Meninggalkan ruang rahasia di bawah tanah itu. Lantas keluar dari
ruangan bekas kandang kuda. Tanah di bawah kandang itulah persembunyian
Hans. Sesekali Vero mengunjungi Hans untuk menambah stok makanan,
menyuplai ganja dan menuntaskan berahinya.
Vero
tak dapat menemani Hans. Ia takut kalau persembunyian suaminya
diketahui warga, lebih-lebih polisi. Ia melarang dua putranya mendekati
bekas kandang kuda. Dari sanalah Hans mengendalikan imperium bisnis
ganjanya.
***
Suatu
pagi Vero mengunjungi Hans. Ia berlari-lari kecil dari pintu belakang
rumah, terus menuruni tangga. Kemudian ia membuka kunci pintu dan
menemui Hans yang sudah siap dengan kaos bertuliskan Wanted is Free.
Ia pandangi wajah suaminya yang lama tak melihat matahari. Wajah itu
seperti mayat, pucat dan lembek. Pun bagian-bagian tubuhnya yang lain.
Untuk pertama kali dalam empat tahun terakhir, muka Vero sumringah.
Tiba-tiba
saja air mata Vero jatuh, ia bergerak perlahan hingga menubruk badan
suaminya. Walau ia bingung, Hans mendekapnya dalam. Tangis keduanya
pecah.
“Sebentar lagi kamu bebas, Sayang. Jangan khawatir. Aku sudah urus. Polisi tak akan menangkapmu,” bisik Vero di sela isaknya.
Keduanya
melangkah keluar ruang bawah tanah dan meniti tangga. Hans merasa
seperti tengah berjalan di sebuah terowongan. Ada titik-titik cahaya
menerobos sela-sela katup. Matanya mulai bereaksi. Vero menyuruhnya
tetap menutup mata sampai keduanya keluar dari bekas kandang kuda.
Perasaan Hans berkecamuk.
Matanya
masih ditutup. Hans bisa merasakan cahaya matahari mencubit kulitnya.
Ia berhenti di depan bekas kandang kuda dan meresapi hangat matahari
sebanyak-banyaknya. Vero melepas gamitannya di lengan Hans. Ia ingin
memberikan jeda untuk suaminya menikmati kebebasannya.
Hans
membuka kedua matanya. Silau. Lalu ia menutupnya kembali. Ia belum
terbiasa lagi dengan intensitas cahaya sebanyak itu. Vero betul-betul
membiarkan Hans sendiri. Dari belakang, Vero melihat rapuh dan bahagia
meletup-letup dari tubuh Hans. Sekali lagi ia menyeka tangisnya.
Suamiku, kini kau bebas.
Vero
merogoh ponsel di saku celananya. Mendengar dering ponsel, Hans menoleh
ke arah Vero yang menyambutnya dengan senyuman. Kemudian Hans kembali
menikmati cahaya mataharinya.
“Halo, jangan lupa janji kita nanti sore, Sayang,” suara dari ponselnya.
“Aku tak akan lupa, Pak. Aku akan datang ke hotel itu.”
“Bagus, atau suamimu segera kutangkap. Hukuman mati sedang menunggunya.”
“Akan aku turuti semua ingin Bapak.”
“Seharusnya begitu. Sudah dulu, saya harus pergi. Ada banyak penjahat yang harus ditangkap. Selamat pagi, Sayang.”
“Selamat pagi, Pak,” desis Vero pelan.
Vero menghela napas, lalu beranjak ke arah Hans dan menggamit lengan suaminya itu. Ia tak ingin melepaskannya.
“Mari jumpai Ben dan Louis. Malam ini kita pesta. Nanti sore aku belanja sebentar ya, Sayang.”
Comments